Tarif Tinggi AS, Sebuah Permainan Tanpa Ada Pemenang
Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI
KONTAN – (21/4/2025) Untuk mengurangi defisit perdagangan, Amerika Serikat (AS) mengenakan tarif tinggi kepada puluhan negara mitra dagangnya di hari pembebasan 3 April 2025. Skenarionya, dengan tarif tinggi, harga produk impor di AS menjadi mahal, tidak laku, dan hilang pasarnya.
Kebijakan proteksionis terbesar sejak tahun 1930-an ini bertentangan dengan prinsip comparative advantage David Ricardo dua abad lalu yang melandasi perdagangan internasional. Tak ayal bursa global pun porak poranda dan perekonomian dunia semakin penuh ketidakpastian.
Wajar jika AS berkepentingan membenahi defisit perdagangannya. Tahun 2024 lalu, defisit dagang AS dengan 92 negara menembus US$ 1,2 triliun. China surplus US$ 295 miliar, Uni Eropa US$ 236 miliar, Meksiko US$ 172 miliar, dan Vietnam US$ 124 miliar.
Indonesia sendiri berada di peringkat 15 terbesar dengan surplus US$ 18 miliar. Sejatinya, surplus yang dialami banyak negara terhadap AS bukan semata akibat kebijakan dagang atau tarif negara-negara itu terhadap barang-barang AS, melainkan hasil dari keunggulan komparatif mereka. Kita tidak luput, terkena tarif 32% dan berada di peringkat ke-16.
Menariknya, tarif yang diklaim sebagai balasan (resiprokal), sebenarnya dihitung dari rasio besarnya defisit dagang AS dengan masing-masing negara dibagi impor AS dari negara itu. Ini bukan tarif yang dikenakan negara-negara itu terhadap produk AS. Penyebutan tarif resiprokal tidak tepat.
Mengklaim ini sebagai pembebasan juga ngawur karena yang justru akan terjadi adalah harga barang-barang impor di AS akan melesat dan inflasi tinggi tak dapat dielakkan.
Tarif akan menggeser (shift) kurva penawaran ke kiri. Akan terbentuk keseimbangan baru pada harga yang lebih tinggi dan kuantitas yang lebih sedikit. Seberapa besar kenaikan harga yang terjadi tergantung seberapa besar importir di AS akan meneruskan (pass through) kenaikan tarif itu ke konsumennya, seluruhnya atau tidak.
Sebelum importir di AS memutuskan pass through ini, dia akan meminta eksportir dari negara mitra dagang untuk menurunkan harga jual dalam dolar AS. Eksportir diharapkan bersedia memangkas keuntungannya atau menyerap sebagian tarif ini.
Jadi, selain negosiasi antarnegara, eksportir dan importir akan berunding agar omset penjualan barang tidak terdampak signifikan. Jika saja eksportir bersedia menurunkan harga 5% dan importir menanggung 5%, tarif yang diteruskan ke konsumen menjadi 22%, tidak seluruh 32%.
Berapa besar penurunan kuantitas yang akan terjadi mengikuti kenaikan harga 22%, akibat tarif 32%, tergantung pada elastisitas demand produk itu di AS. Jika demand elastis, peningkatan harga akan menyebabkan penurunan signifikan kuantitas.
Sebaliknya, jika permintaan inelastis, sebagian besar konsumen dalam jangka pendek akan tetap membeli meskipun harga naik.
Faktor yang menentukan elastisitas demand sebuah barang adalah jangka waktu, ketersediaan barang substitusi, jenis barang (kebutuhan pokok atau sekunder), dan proporsi pengeluaran untuk barang itu.
Penjelasannya, dalam jangka pendek permintaan barang yang bersifat kebutuhan pokok yang tidak ada substitusinya bersifat inelastis. Konsumen dengan sangat terpaksa akan tetap membeli, apakah untuk dikonsumsi atau digunakan dalam proses produksi barang lain.
Itu sebabnya produk-produk China yang tidak ada substitusinya di AS atau dari negara lain seperti elektronik, super konduktor, dan microchips dikecualikan dari tarif tinggi karena akan sangat merugikan industri dan memberatkan konsumen di AS jika dipaksakan.
Namun, dalam jangka menengah, barang substitusi sangat mungkin akan tersedia, sehingga kurva permintaan menjadi elastis. Barang impor yang harganya naik drastis karena kena tarif tinggi akan dihindari saat sudah ada substitusi.
Untuk barang sekunder apalagi yang mempunyai banyak substitusi, konsumen tidak menunggu lama. Mereka akan menunda pembelian barang itu atau beralih dari barang-barang impor yang mahal ke produk substitusi.
Faktor penentu elastisitas berikutnya adalah proporsi pengeluaran. Jika belanja untuk sebuah barang mengambil proporsi besar dari pengeluaran konsumen, maka permintaan akan lebih elastis. Untuk barang-barang yang bernilai kecil, kenaikan puluhan persen tidak terasa berat di kantong konsumen.
Dengan AS dan setiap negara mitra dagangnya memiliki beberapa strategi, kita harus memandang ini sebagai sebuah gim. Retaliasi tidak akan menguntungkan siapa-siapa.
Indonesia sebaiknya tidak menghadapi kebijakan AS sendirian, tetapi bersatu dengan 8 negara ASEAN lain, sehingga menjadi lebih kuat. Liberalisme sedang mempertontonkan paradoksnya. AS, pelopor perdagangan bebas kini justru meninggalkannya.
Berbeda dengan banyak negara yang menempuh jalur negosiasi, China melawan. Keduanya saling gertak menaikkan tarif. Hingga Tiongkok mematok 125% dan AS terakhir di angka 245%. Untuk negara-negara lain, Donald Trump menjilat ludahnya sendiri, dengan menunda pengenaan tarif selama 90 hari.
Siapa yang akan memenangkan perang tarif AS-China ini? Dalam game theory, ini bukan sebuah permainan zero-sum game yang ada pemenang dan pecundangnya. Perang tarif AS-China adalah gim tanpa nash equilibrium dan dikhawatirkan akan memicu ”perang nuklir” ekonomi jika tidak ada titik temu.
Dengan tarif di atas 100%, praktis tidak akan ada perdagangan barang antar kedua negara itu. Layaknya sebuah perang, keduanya akan sama-sama kalah.
Tarif tinggi akan mendorong inflasi dan membebani konsumen sehingga kehidupan ke depan tidak akan sama lagi. AS akan kesulitan mencari barang substitusi baik dari domestik maupun dari negara lain.
Namun, China juga tidak kurang susah mencari pengganti AS untuk pasar produknya. AS adalah pasar terbesar ekspor dunia.
Sumber: Koran Kontan. Edisi: 21 April 2025. Rubrik Wake Up Call.