Chatib Basri Kupas Dampak Perang Dagang Global Terhadap Ekonomi Indonesia dalam Kuliah Umum S-1 Ilmu Ekonomi FEB UI
Nino Eka Putra – Humas FEB UI
DEPOK, 14 Mei 2025 – Ketegangan perdagangan global antara Amerika Serikat dan Tiongkok bukan hanya isu dua negara, tetapi juga membawa dampak besar bagi negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini menjadi fokus utama dalam Kuliah Umum Introduction to Economics 2 yang diselenggarakan oleh program studi S-1 Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI), Rabu (14/5), dengan pembicara Dr. Muhamad Chatib Basri, Dosen FEB UI dan Ekonom Senior.
Dengan tema “The Impact of the Trade War in an Open Macroeconomic Context: The Case of Indonesia”, Chatib memaparkan bagaimana dinamika kebijakan fiskal dan tarif di AS, serta respons Tiongkok, telah memengaruhi kondisi makroekonomi global dan nasional. Kuliah ini dimoderatori oleh Dr. Femmy Roeslan, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI.
Stagflasi dan Ketidakseimbangan Global
Chatib menjelaskan bahwa pemotongan pajak di AS meningkatkan permintaan agregat (AD), output, dan harga, namun memperlebar defisit neraca perdagangan. Di sisi lain, tarif impor yang diterapkan AS menaikkan biaya produksi dan menekan penawaran agregat (AS), menciptakan kondisi stagflasi — inflasi tinggi dengan pertumbuhan ekonomi yang lemah.
Melalui model AD-AS dan IS-LM LM (Investment-Saving-Liquidity Preference-Money Supply), Chatib menunjukkan bahwa ekspansi fiskal mendorong kurva IS bergeser ke kanan, sementara inflasi akibat perang dagang menekan keseimbangan riil uang (M/P). Jika direspons dengan pengetatan moneter, kurva LM bergeser ke kiri, menyebabkan suku bunga naik dan pertumbuhan ekonomi menjadi tidak pasti.
Ketegangan Global dan Dampak ke Indonesia
Menggunakan pendekatan teori permainan Bayesian, Chatib menyoroti bagaimana ketidakpastian dalam kebijakan AS—apakah agresif atau kompromis—mempersulit respons strategis Tiongkok dan memperburuk stabilitas global. Tarif rata-rata AS melonjak hingga 22,5%, tertinggi sejak 1909, memicu pelarian modal ke aset aman dan menguatkan tren dedolarisasi.
Indonesia tak luput dari dampaknya. “Sektor-sektor ekspor andalan seperti elektronik dan industri padat karya mengalami penurunan pendapatan, yang berujung pada penurunan tenaga kerja, meningkatnya kredit bermasalah, dan tekanan terhadap APBN serta cadangan devisa,” jelas Chatib.
Nilai tukar rupiah melemah bahkan sebelum tarif diberlakukan, dengan sentimen negatif yang menyeret indeks pasar saham dan menggerus kepercayaan investor. Pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I 2025 tercatat paling rendah dalam tiga tahun terakhir.
Respons Indonesia dan Jalan ke Depan
Alih-alih melakukan retaliasi, Indonesia memilih jalur negosiasi dengan memperkuat perjanjian dagang, mendorong deregulasi, dan membuka pasar ekspor baru. Strategi ini, menurut Chatib, tetap relevan meski menghadapi tantangan global.
“Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, Indonesia harus fokus pada reformasi structural dengan meningkatkan produktivitas, kualitas sumber daya manusia, infrastruktur, tata kelola, serta sistem politik. Ini penting agar kita tidak mengalami ‘menjadi tua sebelum menjadi kaya’,” pungkas Chatib.