Co-Payment Asuransi untuk Meredam Moral Hazard
Oleh: Prof. Dr. Budi Frensidy – Guru Besar FEB UI
KONTAN – (16/6/2025) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan Surat Edaran OJK No.7 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan yang berlaku mulai 1 Januari 2026. SE OJK ini menuai pro dan kontra karena ada klausul kewajiban pemegang polis untuk ikut menanggung klaim.
Melalui skema baru ini pemegang polis harus membayar 10% dari total pengajuan klaim. Batas maksimum Rp300.000 untuk rawat jalan dan maksimum Rp3 juta untuk rawat inap.
Praktik co-payment yang sudah lazim di banyak negara lain, tidak hanya di asuransi kesehatan, tetapi juga asuransi kerugian dan asuransi properti, segera diterapkan di Indonesia.
Komunitas konsumen langsung menolak. Ketentuan baru ini dinilai tidak adil, merugikan pemegang polis, dan terlalu berpihak pada industri asuransi tanpa melibatkan lembaga atau representasi konsumen.
Mereka mendesak OJK segera membatalkan atau mencabut SE OJK tersebut. Regulasi baru ini dipandang mereduksi hak-hak konsumen asuransi dan kontraproduktif dengan tugas pokok dan fungsi OJK dalam melindungi konsumen jasa keuangan di Indonesia.
Namun, kita juga perlu melihat angka premi dan klaim asuransi kesehatan yang terjadi di belakangan ini. Rasio klaim asuransi kesehatan lebih besar dari premi yang dibayarkan, yaitu 131,2% di 2023 dan 121,9% di 2024. Artinya, perusahaan asuransi mengalami kerugian atas produk asuransi kesehatan yang mereka jual.
Jika tidak ada produk lainnya yang menguntungkan, rata-rata perusahaan asuransi jiwa kita rugi dalam dua tahun terakhir. Bila terus terjadi, keberlangsungan industri ini dipertaruhkan.
Kerugian klaim di atas adalah kotor dan lebih besar lagi jika memasukkan biaya operasional. Mengatasi ini, perusahaan asuransi menaikkan premi secara signifikan. Terutama saat renewal asuransi kesehatan korporasi setiap tahun.
Wajar saja jika premi dinaikkan 10% hingga belasan persen di atas angka 31,2% dan 21,9% agar perusahaan asuransi bisa meraup laba, selain untuk antisipasi kenaikan biaya medis yang biasanya belasan persen. Tahun ini kenaikan biaya medis diperkirakan 13,6%.
Jika di tahun 2023 kenaikan rata-rata premi masih 16,6%, tahun lalu sudah 43%. Tidak sedikit yang menaikkan 50%. Mana ada perusahaan yang bersedia untuk terus merugi, termasuk perusahaan asuransi. Jika tidak percaya besar kenaikan premi ini, silakan tanya bagian SDM tempat Anda bekerja yang mengurus ini.
Mereka yang pro mengatakan, co-payment dapat mendorong pemegang polis lebih bijak menggunakan manfaat asuransi. Co-payment adalah bentuk kontrol agar layanan tidak disalahgunakan hingga terjadi overutilization. Co-payment akan membuat kenaikan tinggi premi ketika polis jatuh tempo tidak terjadi lagi dan premi asuransi kesehatan makin murah dan terjangkau.
Pengalaman saya ketika menjadi komite audit perusahaan asuransi jiwa tidak jauh berbeda. Klaim selalu di kisaran 100% atau lebih. Hanya pada periode Covid di tahun 2020 dan 2021, rasio klaim asuransi kesehatan turun drastis. Perusahaan dapat untung dari segmen ini, tapi rugi dari produk asuransi jiwa.
Tidak ada overklaim karena saat itu jarang orang berani ke rumah sakit jika tidak terpaksa. Namun, klaim asuransi jiwa membengkak karena Covid yang mematikan. Alhasil, bottom line laporan keuangan tetap saja minus alias rugi sepanjang enam tahun saya berada di perusahaan itu.
Idealnya, tarif premi yang dikenakan berbeda, berdasarkan umur dan tingkat risiko pemegang polis. Yang berumur membayar premi asuransi jiwa dan asuransi kesehatan yang lebih besar daripada yang lebih muda, karena mempunyai probabilitas lebih besar dalam pengajuan klaim. Karenanya, yang berisiko tinggi dalam biaya kesehatan, sepantasnya membayar asuransi kesehatan yang lebih mahal dibandingkan berisiko rendah karena mempunyai probabilitas klaim yang berbeda, meskipun berumur sama.
Realitanya, praktik ini sulit diterapkan terutama untuk asuransi kesehatan korporasi. Ini karena asimetri informasi. Konsumen sedapat mungkin akan menyembunyikan rekam medis buruk dirinya agar tidak dikenakan premi tinggi.
Jadi sederhananya, kita menghadapi dilema, yaitu tarif asuransi kesehatan yang terus dikerek naik setiap tahunnya oleh perusahaan asuransi agar mereka tidak rugi. Atau pembagian risiko (risk-sharing) sebesar 10% kepada pemegang polis untuk menangkal moral hazard.
Moral hazard dilakukan pemegang polis yang menggunakan asuransi dengan tidak bijak, hingga terjadi overklaim terutama untuk rawat jalan. Juga oleh pekerja medis serta rumah sakit yang sembarangan membebankan obat dan rawat inap yang tidak diperlukan pasien.
Dalam kondisi ekonomi sulit seperti saat ini, konsumen harus ikut menanggung biaya medis sebesar 10% tentu memberatkan. Tetapi tanpa skema ini, premi asuransi yang naik tinggi dari tahun ke tahun akan menyebabkan asuransi kesehatan komersial semakin tidak terjangkau. Sehingga masyarakat hanya dapat bertumpu pada Jaminan Kesehatan Nasional dari Badan Penyelenggara Jaminan (BPJS) Kesehatan. Ini akan semakin memberatkan BPJS dan juga pemerintah pada akhirnya. Apakah ini yang kita inginkan?
Korporasi sejatinya mempunyai alternatif lain untuk asuransi kesehatan pegawai mereka, yaitu self-insurance dengan atau tanpa co-payment.
Dengan skema ini, korporasi menanggung risiko kerugian sendiri. Premi yang mestinya dibayarkan ke perusahaan asuransi disetor dan dikelola dalam korporasi secara terpisah.
Semua biaya kesehatan yang timbul akan diambil dari dana ini. Setahu saya, sudah ada korporasi dan grup besar yang berhasil menjalankan. Fasilitas yang diterima para pegawai korporasi dapat lebih besar dan lebih fleksibel.
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 16 Juni 2025. Rubrik Wake Up Call. Halaman 4.