Pada saat tulisan ini dibuat, rupiah sudah menembus batas psikologisnya, 13.000 Rp/USD. Sebuah level yang tentunya membuat cemas karena krisis moneter di tahun 1998 yang belum lekang dari memori. Melihat data, level depresiasi rupiah saat ini merupakan yang kedua terburuk sepanjang sejarah republik, namun yang membedakannya adalah kondisi fundamental yang menopang perekonomian Indonesia masih jauh lebih baik dibanding episode krisis terdahulu.
“Hasil stress test dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menunjukkan bahwa rupiah yang sudah menyentuh level 13.000/USD belum berdampak signifikan bagi sektor keuangan”
Coba tengok data cadangan devisa kita yang telah menyentuh 115 miliar USD yang setara dengan kemampuan 7 bulan impor. Belum lagi deflasi yang terjadi selama bulan januari dan februari 2015 serta IHSG yang terus merangkak naik. Hasilstress test dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menunjukkan bahwa rupiah yang sudah menyentuh level 13.000/USD belum berdampak signifikan bagi sektor keuangan.
Rupiah memang terdepresiasi cukup dalam terhadap USD, namun mengalami apresiasi pada beberapa mata uang utama dunia seperti misalnya Yen dan Dolar Australia. Namun fakta menyejukkan ini tidak lantas bisa membuat pemerintah kehilangan kewaspadaannya. Coba saja ingat betapa jumawanya pemerintah pada tahun 1995 dan 1996. Untuk ukuran pada saat itu, pemerintah dengan lantangnya mengklaim bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih sangat siap. Hal tersebut menyebabkan pemerintah abai mencegah potensi krisis. Meminjam perkataan Profesor Iwan Jaya Azis dalam sebuah diskusi, “volatilitas adalah sebuah kepastian”, dimana bisa kita interpretasikan bahwa krisis itu suatu hal yang mendekati pasti.
“Coba saja ingat betapa jumawanya pemerintah pada tahun 1995 dan 1996. Untuk ukuran pada saat itu, pemerintah dengan lantangnya mengklaim bahwa kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih sangat siap”
Celakanya, pemerintah malahan membuat pernyataan-pernyataan yang justru menimbulkan sinyalemen negatif ke pasar dus membuat rupiah berpotensi menukik lebih dalam. Melihat data, sesungguhnya tren depresiasi rupiah yang kita hadapi sekarang merupakan buah dari kegagapan struktural serta abainya pemerintah dalam melihat gejala-gejala pemburukan. Memang benar bahwa tekanan eksternal juga memiliki peran untuk menekan tren depresiasi ini, salah satu yang paling signifikan tentunya isu mengenai berakhirnya proses stimulus moneter di Amerika Serikat (tapering off) menyusul perkembangan positif dari angka pengangguran yang berkurang dan inflasi yang mereda. Tetapi, faktor eksternal berada diluar ruang kontrol pemerintah, sehingga jawabannya adalah dari sisi penguatan internal, sesuatu yang tampaknya luput cukup lama dari perhatian pemerintah. Defisit akun semasa yang mulai kelihatan sejak tahun 2012 merupakan salah satu faktor yang berkontribusi cukup signifikan terhadap pemburukan nilai rupiah dewasa ini. Buruknya performa ekspor ditenggarai merupakan biang keladinya. Ekspor yang berkinerja buruk tentu merupakan imbas dari terlalu bergantungnya Indonesia terhadap ekspor komoditas. Tentunya kita harus mafhum bahwa ekspor komoditas yang miskin nilai tambah tidak bisa dijadikan pegangan di jangka panjang. Lantas jika kita sudah paham bahwa ekspor produk-produk yang miskin nilai tambah ini tidak dapat dijadikan tempat bersandar, mengapa tidak kita coba beralih ke barang-barang yang memiliki nilai tambah? Disinilah kelihatan abainya pemerintah. Nilai tambah dalam sebuah produk tidak akan bisa diciptakan tanpa adanya proses penguatan industri. Celakanya, selepas krisis terdahulu kita seakan terlena oleh ekspor komoditas yang memang meningkat secara signifikan sebagai akibat melemahnya nilai tukar rupiah.
“Celakanya, selepas krisis terdahulu kita seakan terlena oleh ekspor komoditas yang memang meningkat secara signifikan sebagai akibat melemahnya nilai tukar rupiah”
Ekonomi dibiarkan berjalan dengan Business as Usual sehingga proses industrialisasi menjadi terlupakan. Faktanya, Indonesia kini mengalami gejala de-industrialisasi yang cukup mengkhawatirkan. Jika porsi manufaktur terhadap PDB ditahun 2001 masih sebesar 29 persen, maka di tahun 2014 justru mencapai titik terendahnya yaitu sebesar 23 persen. De-industrialisasi ini terjadi sebagai akibat dari gagalnya proses pembangunan infrastruktur penopang Industri. Coba tengok, peringkat Logistic Performance Index (LPI) Indonesia masuk dalam kategori buruk (peringkat 59), dan di wilayah ASEAN harus berada di bawah Vietnam (peringkat 53), Filipina (peringkat 52), Thailand (peringkat 38), Malaysia (peringkat 29) dan Singapura (peringkat 1). Sebagai perbandingan, biaya ekspor perkontainer di Indonesia adalah sebesar 615 USD sementara di Singapura biayanya hanya sebesar 415 USD. Kongesti yang buruk di pelabuhan adalah salah satu sebab dari mahalnya biaya ekspor ini. Sementara itu, sebagai bahan perbandingan lagi di tahun 2013, Indonesia yang memiliki 16.000 pulau hanya memiliki 14.267 kapal (tankers, curah, kargo, kontainer) sementara Singapura yang ukurannya tidak lebih besar dari Jakarta memiliki 89.697 kapal. Buruknya logistik di Indonesia tentunya merupakan sebuah permasalahan struktural yang mesti dibenahi, jika tidak gejala pelambatan ekspor yang sudah berlangsung sejak tahun 2012 akan terus membebani perekonomian. Telah terjadi pembiaran, jika saja pemerintah serius membangun infrastruktur dari sejak awal, tentu episode de-industrialisasi bisa di reverse. Dengan industrialiasi, depresiasi rupiah tentu bisa diminimalisir secara internal.
Sehingga bisa kita lihat bahwa depresiasi rupiah sebenarnya merupakan sebuah symptoms dari permasalahan struktural.Symptoms ini memang bisa di obati dalam jangka pendek yaitu dengan kebijakan suku bunga. Suku bunga yang tinggi diharapkan dapat mencegah arus modal keluar sehingga depresiasi nilai tukar bisa mereda. Namun, tanpa adanya penanganan segera pada permasalahan mendasarnya, kemampuan suku bunga dalam meredam depresiasi semakin lama semakin berkurang. Hal ini ditandai oleh semakin kecilnya elastisitas suku bunga terhadap apresiasi nilai tukar. Dalam jangka panjang, suku bunga yang terlalu tinggi tentu akan semakin membebani perekonomian dan menghancurkan dunia usaha. Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah? Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Dalam jangka pendek, pemerintah bersama Bank Indonesia bisa fokus untuk mengatasi volatilitas dengan kebijakan suku bunga yang terukur.
“Telah terjadi pembiaran, jika saja pemerintah serius membangun infrastruktur dari sejak awal, tentu episode de-industrialisasi bisa di reverse. Dengan industrialiasi, depresiasi rupiah tentu bisa diminimalisir secara internal”
Berdasarkan perhitungan dari Research Intelligence Unit (RIU) FEB UI, rupiah bisa bouncing ke level 12.500 per USD jika terjadi kenaikan gradual dari BI rate sebesar 50 hingga 100 basis point. Hal ini tentu akan berdampak dalam jangka pendek dengan terkontraksinya pertumbuhan ekonomi. Dengan intervensi ini, maka pertumbuhan ekonomi diprediksi hanya akan tumbuh maksimal 5.2 persen. Namun hal ini perlu dilakukan dalam jangka pendek mengingat pertumbuhan ekonomi yang mendekati 6 persen berpotensi melebarkan deficit akun semasa.
Dalam jangka menengah, pemerintah bisa mencegah potensi krisis dengan menerapkan pajak proporsional terhadap portfolio investment. Semakin lama waktu jatuh temponya maka semakin rendah pajaknya dan sebaliknya untuk mencegahsudden capital reversal. Hal serupa telah berlaku di Korea Selatan. Sementara itu pemerintah sudah bisa memulai investasi pada pembangunan infrastruktur yang didanai oleh APBN dan juga melalui public private partnership, di mana efeknya diharapkan akan menguatkan fondasi ekonomi Indonesia di jangka panjang.