Pada hari Selasa, 17 Maret 2015, Lembaga Management Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengadakan acara pelumcuran buku KAI RECIPE – Perjalanan Transformasi Kereta Api Indonesia. Acara yang mengambil tempat di Gedung Pertemuan FEB UI di Kampus Salemba (Gd. MAKSI UI), dihadiri oleh Menteri Perhubungan RI, Ignasius Jonan, para petinggi BUMN di bidang perhubungan dan jajaran pimpinan Universitas Indonesia.
“Transformasi akan terus berjalan karena dunia akan terus berubah tanpa henti”, demikian Jonan selalu mengingatkan pentingnya untuk melanjutkan upaya perbaikan perusahaan secara berkelanjutan.
Buku KAI RECIPE, atau Resep Kereta Api Indonesia, adalah pengungkapan hasil kajian tentang keberhasilan perbaikan suatu badan usaha milik Negara. Badan usaha milik Negara yang selalu mengemban dua tugas yang terkesan kontradiktif: Melayani masyarakat di bidang transportasi dengan kualitas layanan terbaik dan harga yang terjangkau namun juga dituntut dapat menghasilkan keuntungan sebagai suatu badan usaha yang sehat. Bab demi bab buku KAI RECIPE menyajikan aspek-aspek pengelolaan kereta api, permasalahan dan kiat-kiat perbaikan-perbaikannya secara menyeluruh (transformasi).
KAI sudah ada sejak tahun 1864 di Indonesia, saat Indonesia masih dalam era kolonial. Moda transportasi kereta api yang awalnya melayani angkutan penumpang dan barang sepanjang 8000 km, sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di pulau Jawa dan Sumatera. Sampai dengan tahun 2009, KAI masih mengalami kerugian. Kerugian tersebut ditalangi oleh pemerintah, karena pemerintah adalah pemilik dan mempunyai tanggung jawab menyediakan pelayanan publik dalam bentuk alat transportasi public, yang di Indonesia diartikan sebagai jasa angkutan yang tarifnya terjangkau masyarakat luas. Sampai di sini persoalan sumber pendapatan perusahaan sudah menghadapi kendala karena harga satuan jasa yang ditawarkan ke pasar harus mengikuti kebijakan pemerintah. Hal ini kemudian teratasi karena masih terbuka celah untuk memupuk keuntungan dari diversifikasi jasa angkutan penumoang khusus (kelas bisnis, eksekutif dan pariwisata) dan jasa angkutan barang/industry. Pelayanan public cukup dipenuhi dengan angkutan penumpang kelas ekonomi yang tarifnya ditentukan untuk selalu murah (terjangkau bagi masyarakat) oleh pemerintah.
Permasalahan berikutnya adalah bagaimana mendongkrak pendapatan dengankondisi peralatan produksi yang ada saat itu? Lokomotif yang sering mogok, penumoang-penumpang gelap yang tidak membayar (membayar kepada oknum pegawai), kondisi stasiun yang jauh dari tertib, bersih atau aman, pegawai yang terkesan malas-malasan karena bergaji kecil, kecelakaan kereta yang masih sering terjadi, dan masih banyak kondisi buruk yang lain, terutama ketika jasa angkutan menghadapi puncak permintaan di musim liburan dan hari-hari raya. Jawabannya adalah pendapatan harus ditingkatkan, semua kondisi peralatan produksi dan unsur-unsur aktivitas harus berubah dan diperbaiki. Transformasi harus dilakukan. Tidak lagi bias melakukan perbaikan hanya sebagian-sebagian. Komitmen perbaikan ini harus datang dari pemilik perusahaan (pemerintah), pimpinan puncak dan seluruh jajaran manajemen. Selanjutnya adalah mengambil langkah yang paling sulit namun mungkin untuk dilakukan: Menyuntikkan dana segar ke dalam perusahaan untuk membiayai semua rencana-rencana perbaikan. Dana segar tidak mungkin lagi diperas dari pemilik (pemerintah), yang sudah selalu menjadi jarring pengaman. Dana segar akhirnya diperoleh dari pinjaman komersil bank, walaupun prosesnya sulit. Tentu saja sulit karena menyodorkan profil perusahaan yang sedang sakit. Sama sulitnya dengan menjual kapal yang kondisinya bocor dengan harga yang tinggi. Akhirnya tidak kurang dari 6 Triliyun rupiah dana dikucurkan dalam periode kurang dari empat tahun.
Selanjutnya, dana segar mulai dipakai: Dipakai untuk meningkatkan motivasi seluruh karyawan dan mendapatkan komitmen bersama untuk melakukan transformasi (untuk memacu motivasi dilakukan kenaikan gaji secara signifikan, tunjangan jerih payah dan tunjangan kinerja juga ditingkatkan setara dengan perusahaan-perusahaan ternama); dipakai untuk membenahi tata kelola perusahaan, termasuk di dalamnya system dan prosedur, standar kinerja, struktur organisasi, dan prilaku pelayanan; dana juga dipakai untuk membenahi kualitas pelayanan mulai dari saat pelanggan menunjukkan minatnya untuk menggunakan jasa sampai pelanggan mendapatkan jasa yang dibutuhkannya, hal ini termasuk dalam pembenahan operasi stasiun yang menjadi jauh lebih baik dan mirip terminal di bandara penerbangan (kondisi tidak tertib, tidak bersih, tidak nyaman, tidak aman dihilangkan, apapun penyebabnya); dana juga dipakai untuk membeli armada baru lokomotif, kereta dan gerbong dan perbaikan infrastruktur (standar-standar kepuasan pelanggan sebagai panduan perbaikan operasi dan fungsi-fungsi pendukungnya); intesifikasi penggunaan teknologi informasi juga menjadi andalan untuk mempercepat proses administrasi dan keakuratan pengendalian kegiatan perusahaan; dan yang tidak kalah penting, dana juga dipakai untuk merekrut tenaga-tenaga professional dari luar perusahaan untuk memperkuat personil yang disiapkan menjadi agen-agen perubahan.
Upaya perbaikan perusahaan bukan tidak menghadapi kendala.kendala terjadi baik secara eksternal maupun internal perusahaan. Kendala eksternal ketika stasiun harus dibersihkan dari pedagang-pedagang yang tidak berijin dan pihak-pihak yang menguasai asset perusahaan secara tidak sah, serta budaya penumpang yang harus diubah menjadi tertib baik di stasiun, di perjalanan dan di tempat tujuan; kendala internal ketika sementara pegawai termasuk kalangan manajemen sudah terlanjur merasa aman dengan budaya kerja sebelumnya sehingga menolak untuk berubah (untuk pegawai yang seperti ini disiapkan skema mutasi bidang kerja, mutasi lokasi kerja dan bahkan juga pension dini atau pemberhentian).
Perusahaan mulai menunjukkan kinerja membaik. Walaupun pendapatan terbesar diperoleh dari angkutan penumpang, penyumbang keuntungan yang utama adalah angkutan barang. Pola sumber pendapatan ini sama seperti industri kereta api di Negara-negara lain seperti di India dan China. Penyumbang keuntungan yang lain adalah angkutan penumpang dan operasi dari anak-anak perusahaan dan pemanfaatan asset non-kereta api yang dimiliki. Terkait dengan anak perusahaan, dua kontribusi utama mereka adalah bagian keuntungan untuk KAI dan penghematan biaya yang dilakukan.
Satu siklus perbaikan sudah terjadi, semua biaya perbaikan mulai terangsur oleh pendapatan perusahaan yang meningkat dan citra perusahaansemakin baik di mata pelanggan dan para pengamat bisnis. Manajemen mulai melihat target yang lebih besar yaitu jasa layanan angkutan yang lebih hebat (lebih kompetitif, lebih cepat dan lebih nyaman), termasuk untuk menjadi penyedia tenaga-tenaga berkualitas untuk operator-operator kereta api lain yang sedang dipupuk-kembangkan oleh pemerintah, seperti Mass Rapid Transit Jakarta (MRTJ), kereta api di Kalimantan dan kereta api di Sulawesi.
Harus diakui buku yang lebih mirip studi kasus ini, sangat jarang diterbitkan di Indonesia. Para penulis dan akademisi peneliti selalu terbentur kepada prinsip-prinsip kerahasiaan dari perusahaan yang menjadi target untuk ditelaah. Beruntung, PT Kereta Api Indonesia membuka diri terhadap kajian dan hasilnya dapat dimanfaatkan oleh klangan luas termasuk perusahaan-perusahaan (BUMN) di Indonesia.
Menurut DR. Toto Pranoto, Kepala Lembaga Management FEB UI, lembaga yang didukung dengan pengalaman lebih dari 50 tahun ini, bertekad untuk melanjutkan penerbitan-penerbitan buku semacam ini, dan selalu bersedia menyediakan jasa konsultasi untuk pembangunan dan khususnya perbaikan perusahaan-perusahaan Indonesia.