Selasa (28/4/2015), Menteri Keuangan RI, Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro, menilai bahwa perkembangan keuangan syariah sudah cukup dalam. Hal tersebut ditandai dengan hampir semua instrumen dalam bank konvensional memiliki versi syariah seperti perbankan, asuransi, pembiayaan, reksadana, obligasi, hingga saham. Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Bambang saat menjadi pembicara dalam Forum Ekonomi Keuangan Syariah 2015 (FREKS 2015) bertajuk “Menata Sistem Keuangan Syariah Nasional yang Kokoh, Stabil, dan Inklusif” di Balai Sidang Universitas Indonesia (UI), Depok.
Bambang menyebut bahwa market share dari perbankan syariah masih berada di angka 5 persen. Menurutnya, hal tersebut menjadi tantangan yang besar untuk menjadikan aset perbankan syariah bisa melampaui angka 5 persen, “Ini menjadi semacam angka keramat yang susah dilewati. Ketika dari titik 0 hingga 4 persen, kenaikannya cukup mulus. Namun, saat melompat ke angka di atas 5 persen, ini lebih sulit,” paparnya.
Menurutnya, perbankan syariah perlu melakukan evaluasi di industrinya, mencari penyebab mengapa market share-nya masih jauh dibandingkan bank konvensional. Namun, ia menilai, penyebab tersebut terjadi dari masalah daya saing dan kenyamanan dari investor (penabung), salah satunya adalah tentang cost of fund.
“Masih belum muncul keyakinan dari masyarakat bahwa melakukan kredit dari bank syariah bisa mendapatkan cost of fundyang murah karena persaingan di sektor real semakin ketat, tidak hanya domestik, tetapi juga asing. Bahkan, cost of fund bank syariah secara umum lebih rendah dari bank konvensional,” tuturnya.
Selain itu, Bambang menilai bahwa kenyamanan dalam menabung juga menjadi faktor lain bagi investor untuk memilih sebuah bank. Investor bahkan juga akan menghitung reliabilitas bank syariah, terutama pada tingkat return.
Ia menambahkan, “Tampaknya, bank syariah masih berat untuk bersaing dengan bank konvensional. Sebagai contoh, kalau kita ke ATM, kita lihat saja mana bank yang punya antrean paling panjang, maka itulah bank yang diminati. Paling diminati bukan punya latar belakang tertentu, tapi soal pelayanan, return, dan juga masalah reputasi.”
Namun, Bambang menyebutkan bahwa pemerintah akan mendorong industri perbankan syariah dengan berkomitmen menciptakan equal playing field antara syariah dan konvensional. Kemudian, pemerintah juga akan mengeluarkan peraturan perundangan untuk mendukung industri keuangan syariah. Instrumen-instrumen obligasi syariah pun telah diterbitkan yang bertujuan untuk menambah opsi portofolio investasi industri keuangan syariah dan masyarakat.
“Artinya, industri perbankan syariah harus ada inovasi dan bisa menyentuh kepentingan masyarakat banyak. Jangan sampai masyarakat berpikir bahwa return dari bank syariah rendah, tetapi peminjamannya rumit,” tegas Bambang.
Selain itu, dorongan lainnya adalah bahwa kebijakan fiskal pemerintah akan berusaha diharmonisasikan dengan jasa keuangan syariah demi menciptakan suasana yang kondusif bagi perekonomian. Namun, hal tersebut tetap dengan menjaga stabilitas sistem keuangan dan kesinambungan fiskal.
“Jangan lupakan tahun 1998. Dulu terbuai dengan pertumbuhan, tapi lupa jaga stabilitas. Jadi, jangan biarkan Malaysia merajalela dengan Islamic Finance-nya, dan hal tersebut harus menjadi instrumen penting di negara ini,” pungkas Bambang.
Penulis: Jumali Ariadinata