Dwelling Time, Lagi
Koran SINDO
Kamis, 25 Juni 2015 − 09:45 WIB
Tim Indonesia jadi juara dunia menembak dalam ajang Australian Army Skill at Arms Meeting di Australia pada 23 Mei lalu. Tim kita yang diwakili TNI Angkatan Darat (AD) mampu menyabet 30 medali emas–dari 50 medali emas yang diperebutkan pada ajang tersebut.
Kebanggaan membuncah. Bukan saja karena tim kita mampu menang telak, tetapi yang dikalahkan pun tim-tim hebat. Di antaranya tim dari Amerika Serikat, Inggris, dan tuan rumah Australia. Lalu, hebatnya lagi, senjata yang digunakan tim kita adalah buatan dalam negeri.
Buatan PT Pindad dari pabriknya yang berlokasi di Malang, Jawa Timur. Banyak gurauan yang muncul selepas kemenangan tersebut. Katanya, tim kita menang justru karena saat pelatihan jumlah pelurunya dibatasi. ”Mesti hemat, peluru mahal,” kata pelatihnya.
Akibatnya setiap peluru yang ditembakkan mesti kena ke sasaran. Kalau tidak kena, bakal dihukum. Ini berbeda dengan tim-tim dari negara lain yang tidak menghadapi masalah biaya. Jumlah peluru mereka tidak dibatasi dan boleh menembak sesukanya. Akibatnya malah banyak peluru yang tidak kena sasaran.
Asal Tembak
Fenomena asal tembak yang menghambur- hamburkan peluru dan tidak kena sasaran ini terjadi di mana-mana. Bukan hanya di ajang kejuaraan menembak. Ia ada di ajang politik, bisnis, termasuk juga di pemerintahan. Salah satu contohnya adalah ketika Presiden Joko Widodo marahmarah akibat masih lamanya dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok.
Semua pihak yang merasa punya kuasa, punya kepentingan, dan punya ”banyak peluru” melontarkan tembakan ke mana-mana. Alhasil, kebanyakan meleset. Misalnya, tembakan yang dilontarkan anggota DPR ke Menteri BUMNRiniSoemarno. Diabilang, pernyataan Menteri Rini bahwa lamanya dwelling time merupakan tanggung jawab banyak pihak merupakan sikap pemimpin yang lari dari amanah, mau cari aman.
Katanya, mestinya Rini menjadi orang yang paling bertanggung jawab karena dia Menteri BUMN. Dia bahkan menyebut Menteri Rini bingung untuk menemukan akar masalahnya atau sengaja menutupnutupi ketidakmampuan Direktur Utama PT Pelindo II, RJ Lino. Saya tersenyum. Apa urusannya kasus dwelling time yang sangat teknis dengan Menteri BUMN. Urusan dwelling time sudahsangat teknisdanmelibatkan banyak instansi. Jadi memang tak mungkin ditangani hanya oleh seorang Menteri BUMN. Baiklah, supaya jelas, untuk kesekian kalinya saya ingin mengulang tentang apa itu dwelling time. Menurut definisi World Bank (2011), dwelling time adalah waktu yang dihitung mulai dari suatu petikemas (kontainer) dibongkar dan diangkat (unloading ) dari kapal sampai petikemas tersebut meninggalkan terminal pelabuhan melalui pintu utama.
Proses yang menentukan lamanya dwelling time di pelabuhan terbagi atas tiga tahap, yakni pre-clearance, customs clearance, dan post-clearance. Tiap tahap ada ”penguasanya”. Pre-clearance adalah proses peletakan petikemas di tempat penimbunan sementara (TPS) di pelabuhan dan penyiapan dokumen pemberitahuan impor barang (PIB).
Adapun customs clearance adalah proses pemeriksaan fisik petikemas (khusus untuk jalur merah), lalu verifikasi dokumen-dokumen oleh Bea Cukai dan pengeluaran surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB). Sementara kegiatan postclearance adalah saat petikemas diangkut ke luar kawasan pelabuhan dan pihak pemilik petikemas melakukan pembayaran ke operator pelabuhan.
Jadi, angka dwelling time adalah hasil penjumlahan dari komponen pre-clearance , customs clearance , dan post-clearance tadi. Saya sepakat angka dwelling time kita memang keterlaluan. Masih 5,5 hari. Padahal, negaranegara tetangga kita sudah memangkasnya habis-habisan. Thailand memang masih 4 hari, tetapi Malaysia sudah 3 hari dan Singapura bahkan tinggal 1,5 hari.
Dua Langkah
Saya tahu persis bahwa PT Pelindo II atau kini lebih dikenal dengan sebutan Indonesia Port Company (IPC) sudah melakukan kajian soal ini. Bahkan mereka melibatkan konsultan internasional seperti McKinsey. Mereka paham bahwa 60% dari waktu dwelling time ada di proses preclearance. Jadi petanya sudah jelas sekali.
Makanya tak mengherankan kalau Dirut PT Pelindo II, RJ Lino, mengatakan kasihan Presiden Joko Widodo hanya disuguhi sebuah sandiwara besar oleh kementerian dan lembaga saat melakukan peninjauan di Pelabuhan Tanjung Priok. Bahkan Lino sendiri sudah lama bekerja keras mengatasi aneka masalah tadi.
Nah masalah yang masih tersisa itu ada di kepitan para pemangku kepentingan yang sepertinya sengaja memanfaatkan kesempatan atau pura-pura tak mengerti. Jangan lupa, kalau bukan soal mental tak mau melayani, hampir pasti di sana ada soal bagibagi rezeki. Kita kembali ke IPC. Dari studi yang mereka biayai, ada dua langkah yang sudah direkomendasikan IPC untuk memangkas waktu dwelling time.
Pertama , menerapkan tarif progresif untuk biaya sewa lahan penitipan kontainer di TPS. Selama ini tarif sewa lahan di sana memang terbilang murah. Ada yang tarifnya hanya Rp2.200 per meter kubik. Ini bahkan lebih murah dibandingkan dengan tarif parkir di mal-mal Jakarta yang mencapai Rp5.000 untuk sekali masuk dan Rp4.000 untuk setiap jamnya. Langkah pertama ini sudah dilakukan IPC sejak Januari 2014, tetapi itu belum cukup.
Mereka sudah menaikkan tarif sewanya. Masih ada langkah kedua yang harus dilakukan, yakni membenahi tata kelola pengurusan dokumen impor. Langkah inilah yang lumayan rumit karena melibatkan 16 kementerian dan instansi. Jadi kalau yang diimpor adalah produkproduk pertanian mesti berurusan dengan Kementerian Pertanian.
Kalau yang diimpor produk-produk industri, urusannya dengan Kementerian Perindustrian. Kalau yang diimpor produk-produk berbau teknologi informasi (TI), urusannya dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Begitu seterusnya. Dengan begitu banyak instansi yang terlibat, koordinasi pasti jadi persoalan utama. Di negara kita, Anda tahu bukan kalau sudah bicara soal koordinasi urusannya pasti ruwet dan lamanya minta ampun.
Bukan semata-mata masalahnya memang ruwet, tetapi lebih pada sulitnya meredam ego sektoral dan kepentingan. Bahkan yang tak kalah seram, di situ kadang kala ada juga mafianya. Kalau sudah begini jelas perlu dobrakan. Tiap kementerian atau instansi mesti dipaksa untuk menetapkan service level-nya.
Misalnya, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memproses dokumen impor dari jenis barang berada di bawah kewenangannya. Semuanya dengan asumsi dokumen lengkap. Satu jam? Dua jam? Setengah hari? Atau satu hari? Semuanya harus jelas dan tertuang dalam kesepakatan tertulis. Bukan hanya lisan. Langkah kedua inilah yang sampai sekarang belum juga beres.
Dan masalah ini jelas bukan hanya tanggung jawab IPC atau Kementerian BUMN, tetapi pemerintah. Mudah-mudahan setelah shock therapy lewat marahmarahnya Presiden Jokowi, pemerintah kita betul-betul serius dalam mencari solusinya.
Sebab kalau tidak serius, saya khawatir ungkapan Milton Friedman, ekonom Amerika Serikat, menjadi benar, ”The government solution to a problem is usually as bad as the problem.” Mudah-mudahan tidak begitu. Jadi jangan pura-pura bodoh, lalu salah tembak pula. Kita perlu belajar agar terlihat pintar saat melakukan tembakan. Atau jangan-jangan, ah sudahlah. Saya tak ingin berburuk sangka.