Penganggur Muda dan Solusinya
Kompas, 22 Oktober 2015
Jika “muda” didefinisikan sebagai kelompok umur 15-24 tahun, data BPS mengungkap fenomena menarik tentang penganggur usia muda.
HANDINING
Pada 2014 tercatat ada 4,5 juta penganggur muda di Indonesia atau 62 persen dari total penganggur. Artinya, hampir dua pertiga penganggur di pasar kerja merupakan penganggur berusia muda.
Perlu dicatat, definisi Badan Pusat Statistik (BPS) tentang penganggur meliputi mereka yang: (1) kegiatan utamanya mencari pekerjaan, (2) mempersiapkan usaha, (3) tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan (4) sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja. Sebenarnya definisi tersebut tidak sejalan dengan apa yang tertera di buku-buku teks demografi yang menganggap penganggur hanya mereka yang tidak bekerja dan sedang aktif mencari pekerjaan. Namun, kenyataannya batasan itulah yang digunakan dalam statistik resmi pemerintah.
Permintaan-penawaran
Dalam analisis ketenagakerjaan, yang disebut sisi permintaan adalah dunia usaha yang menggunakan tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi dalam menghasilkan output. Sebesar apa pun keinginan orang untuk bekerja, kalau tidak ada yang butuh jasanya, orang tersebut tak akan bisa bekerja, kecuali kalau mau jadi pengusaha.
Dari sisi permintaan, pemuda banyak yang menganggur disebabkan rendahnya minat para pengusaha untuk mempekerjakan mereka. Rendahnya minat itu kemungkinan besar disebabkan minimnya pengalaman para pencari kerja usia muda.
Minimnya pengalaman kerja menjadi salah satu kunci. Data BPS menunjukkan, 70 persen dari penganggur muda belum pernah bekerja sebelumnya. Sebagai perbandingan, untuk penganggur usia lain (bukan pemuda), hanya 32 persen yang tidak punya pengalaman bekerja sebelumnya.
Padahal, pengalaman tersebut banyak dijadikan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi pelamar kerja. Hasil studi Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika pada 2014 menunjukkan, 83 persen lowongan kerja yang dipublikasikan di media massa mensyaratkan pelamar memiliki pengalaman kerja. Jelas tidak banyak pencari kerja muda yang memenuhi persyaratan ini.
Kebijakan upah minimum juga berperan pada rendahnya permintaan terhadap angkatan kerja usia muda. Di mata pengusaha, mayoritas lulusan sekolah di jenjang apa pun secara umum dianggap tidak siap bekerja. Selalu diperlukan pelatihan untuk membuat mereka benar-benar bisa bekerja dan itu bukan tidak ada biayanya. Dalam kondisi demikian, merekrut angkatan kerja yang baru lulus (fresh graduate) merupakan langkah yang mahal.
Akibatnya, angkatan kerja usia muda dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama pahit: bekerja apa saja dengan upah berapa saja atau jadi penganggur. Hal itu dibuktikan oleh kenyataan sekitar 61 persen pekerja usia muda berpenghasilan kurang dari Rp 800.000 per bulan atau bahkan tidak menerima upah sama sekali (Wirawan, 2014).
Masalah penganggur usia muda tidak hanya berawal dari sisi permintaan. Sumber masalah juga ada di sisi penawaran atau tenaga kerja itu sendiri. Mayoritas pemuda tidak aktif di pasar kerja. Secara keseluruhan, dari 43,5 juta penduduk usia 15-24 tahun pada 2014, hanya 20,1 juta orang yang aktif di pasar kerja. Dalam istilah teknis, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) untuk pemuda 46 persen. Angka tersebut jauh di bawah TPAK kelompok usia lain yang mencapai 73 persen.
Angka tersebut menunjukkan, meskipun bagian terbesar penganggur, penganggur muda bukan merupakan gambaran umum pemuda. Sebagian besar pemuda ada di luar pasar kerja. Hal itu mudah dimengerti karena banyak di antara mereka yang masih bersekolah (38 persen). Tak sedikit juga (12 persen) yang harus mengurus rumah tangga sehingga tidak dapat aktif di pasar kerja. Di antara pemuda yang aktif di pasar kerja, 78 persen bekerja. Angka itu jauh di bawah employment rate untuk kelompok umur lain yang mencapai 97 persen. Apa yang bisa kita tangkap dari angka-angka tersebut?
Berbagai angka tersebut menunjukkan, salah satu penyebab tingginya angka pengangguran penduduk usia muda adalah pemuda mendapatkan tekanan untuk bekerja yang lebih rendah daripada kelompok umur yang lebih tua. Sistem kekeluargaan yang kuat memungkinkan penduduk muda tetap tinggal bersama keluarganya sambil mencari pekerjaan.
Pengaruh sisi penawaran juga terlihat jika dilakukan perbandingan angka pengangguran pemuda menurut jenjang pendidikan. Angka pengangguran pemuda berpendidikan menengah atau tinggi sekitar 17 persen, hampir dua kali lipat daripada angka untuk yang berpendidikan rendah (9 persen). Hal itu terjadi karena semakin tinggi pendidikan, orang semakin memilih-milih pekerjaan. Sebelum benar-benar memperoleh pekerjaan yang cocok, orang berpendidikan relatif tinggi lebih memilih jadi penganggur. Perlu diingat, pemuda yang berpendidikan relatif tinggi biasanya berasal dari keluarga dengan status ekonomi relatif baik sehingga mereka masih bisa hidup tanpa harus bekerja.
Solusi
Dari sisi penawaran, prioritas langkah justru pada upaya mendorong pemuda untuk bertahan di sekolah. Terjun ke pasar kerja hendaknya tidak menjadi prioritas utama karena dalam jangka panjang rendahnya pendidikan akan berimplikasi pada kesejahteraan mereka.
Bagi mereka yang memang tak punya pilihan lain selain terjun ke pasar kerja, angkatan kerja muda perlu didorong untuk mau bekerja apa saja tanpa terlalu berharap pada pekerjaan yang mapan. Pada tahap ini, yang terpenting memperoleh pengalaman kerja yang dapat digunakan sebagai bekal untuk memperoleh pekerjaan lebih baik.
Mendorong angkatan kerja muda menjadi wirausaha bukan tak boleh, tetapi tak realistis. Meski kadang terlihat mudah, sebenarnya tak benar-benar mudah jadi pengusaha. Jangan lupa, kualifikasi untuk menjadi pengusaha sebenarnya lebih tinggi daripada menjadi pekerja.
Untuk menjawab persoalan yang bersumber pada sisi permintaan, khususnya ketidakpercayaan pada kesiapan bekerja para pemuda, kualitas pendidikan perlu terus ditingkatkan dengan menambahkan aspek kecakapan hidup (life skills) di semua jenjang dan jenis pendidikan. Kecakapan hidup yang dimaksud bukan hanya berupa keterampilan kerja praktis, seperti menjahit, memasak, dan berkebun, melainkan lebih pada pengembangan karakter dan pemahaman tentang dunia kerja.
Kerja sama antara sekolah dan berbagai instansi serta dunia usaha juga perlu didorong dalam bentuk magang. Kebijakan upah juga perlu diperbaiki agar lebih “ramah” bagi angkatan kerja usia muda. Perlu dipertimbangkan langkah mengecualikan pekerja muda tanpa pengalaman dari kebijakan upah minimum. Artinya, pengusaha boleh membayar pekerja tanpa pengalaman di bawah upah minimum hingga batas waktu tertentu. Langkah itu dimaksudkan sebagai kompensasi biaya pelatihan yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk membuat mereka siap bekerja.
Hal itu perlu dilakukan untuk menciptakan insentif bagi dunia usaha agar mau menerima lebih banyak lulusan baru. Alternatif lain, tetap memasukkan pekerja muda dalam kerangka kebijakan upah minimum, tetapi pemerintah yang menanggung biaya pelatihan bagi fresh graduate agar siap bekerja. Kalau kedua alternatif itu tidak diambil, situasi di pasar kerja tidak akan berubah.
EDY PRIYONO
Peneliti pada Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika dan Dosen FEB UI