RESHAPING, SHARPENING, & BUMN OUTLOOK 2016
- Hasil benchmarking BUMN terhadap BUMN di kawasan ASEAN: daya saing BUMN Indonesia masih kalah, sehingga BUMN harus sigap menjawab tantangan ASEAN Market Integration 2015.
- Tantangan internal BUMN di tingkat pemangku kepentingan terletak pada penyelarasan perundangan yang melingkupi gerak bisnis BUMN, terutama yang bersifat birokratif dan penilaian kinerja perusahaan-perusahaan BUMN.
Laporan audit BPK 2014, menunjukkan bahwa nilai jual (apakah ini aset atau nilai kapitalisasi pasar?) 121 BUMN senilai Rp 1.997 trilyun. Dari nilai sebesar itu, hampir 90% disumbangkan oleh 25 BUMN. Kondisi ini menunjukkan pareto condition. Total aset BUMN pada 2014 mencapai sekitar Rp 4.579 triliun, namun kemampuan BUMN dalam menciptakan laba relatif rendah, yakni sekitar Rp 219 triliun.
Angka-angka di atas menunjukkan kemampunan BUMN dalam pengelolaan aset (produktivitas) dan menciptakan laba masih relatif rendah. Lembaga Management Universitas Indonesia (LM UI) menemukan bahwa Super Holding Company (SHC) Temasek yang membawahi 15 major investment companies masih lebih superior dibandingkan 20 BUMN yang sudah listed di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal yang sama ketika BUMN listed companies dibandingkan dengan Khazanah Nasional yang membawahi 24 major investment companies (diluar Petronas).
Secara absolut, total revenue Temasek mencapai US$61 milyar dan Khazanah sekitar US$2,26 milyar. Sementara itu 20 BUMN Tbk sekitar US$ 39 milyar. Dilihat dari indikator profit margin Khazanah berada di urutan pertama sebesar 40,4% dari total pendapatan, Temasek sebesar 19,48%, sedangkan 20 BUMN Tbk hanya 15,57%.
Apabila analisa diperdalam pada sembilan (9) kelompok industri, BUMN Tbk yang relatif memiliki daya saing lebih tinggi hanya industri telekomunikasi.
Sektor-sektor unggulan lain mencakup perbankan, properti, dan transportasi udara Indonesia yang dikelola BUMN masih kalah bersaing dari Temasek. Meskipun bukan alasan untuk berkecil hati, BUMN pada sektor-sektor tersebut bersaing cukup berimbang terhadap Khazanah. Kesulitan dalam pengelolaan BUMN, sehingga memiliki daya saing rendah diduga karena banyaknya peraturan/UU yang mengekang kecepatan pengambilan keputusan dalam bisnis yang sangat dinamis.
Pengelolaan bisnis BUMN jauh lebih ketat dibandingkan bisnis yang dikelola oleh swasta. Bisnis yang dikelola secara swasta, hanya diatur oleh UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, dan UU Sektoral. Sementara itu, pengelolaan BUMN bukan saja harus patuh pada ketiga UU tersebut, tetapi juga pada UU tentang Keuangan Negara dan beberapa peraturan lain yang mengatur tentang: privatisasi BUMN, PMN, penggabungan dan peleburan BUMN, Ā serta ketentuan kementerian teknis yang melingkupinya.
Problem lain yang menjadi menjadi gangguan atas kinerja BUMN adalah dualisme yang dihadapi top executive BUMN terkait status BUMN sebagai aset negara yang dipisahkan (UU Kekayaan Negara) namun terkait juga dengan UU Tipikor. Sudah terjadi beberapa kasus dimana kebijakan bisnis perusahaan (business policy) dipidanakan sehingga membuat banyak Direksi BUMN āketakutanā dan akhirnya memutus kan tidak melakukan corporate actions yang signifikan. Tidak heran jika ada istilah, menjadi eksekutif di perusahaan BUMN perlu ekstra kerja keras tetapi tetap serba hati-hati.
Benchmark yang dilakukan LM FEUI di Khazanah dan Temasek menunjukkan bahwa kemandirian pengelolaan SHC cukup menentukan dalam keberhasilan perusahaan.
- Pada Khazanah: Prinsip GCG diterapkan secara optimal. Chairman Khazanah bertanggungjawab langsung kepada Perdana Menteri sehingga intervensi pihak lain terutama dari kalangan politik dapat diminimalisir.
- Pada Temasek: Pemerintah berperan sebagi regulator dan melepaskan sepenuhnya pengelolaan bisnis kepada Group Temasek. Bahkan di internal Temasek Holding pun pendelegasian wewenang kepada anak perusahaan (subsidiary) sangat jelas.
Sebagai contoh, rencana investasi anak perusahaan seperti Singapore Airlines tidak memerlukan persetujuan Holding Temasek, apalagi dari pemerintah dan parlemen. Kontrol Pemerintah terhadap Temasek dilakukan dalam pemilihan dan penempatan orang dalam posisi pimpinan (CEO) di Temasek Group.
Apakah mungkin BUMN sebagai cikal bakal Indonesia Inc dapat direalisir di Indonesia dan mampu menyamai kinerja Temasek atau Khazanah? Potensinya tentu sangat besar.
Pertamina dan PLN sudah tercatat pada Fortune Global 500 tahun 2014 pada urutan ke 123 dan 477. Total aset keseluruhan BUMN pada akhir 2013 mencapai lebih dari Rp 4.000 trilyun. Aset ini belum seluruhnya diutilisasi secara optimal karena sinergi BUMN belum dijalankan secara optimal.
Sebagi ilustrasi, berdasarkan laporan SCI 2014, potensi seluruh BUMN Logistik hampir mencapai Rp 153 trilyun dan mencakup BUMN transportasi (darat, laut, udara), pergudangan, kawasan industri, pelabuhan, bandara, serta pengelola jalan tol. Potensi BUMN sektor logistik adalah karena kepemilikan infrastruktur, fasilitas dan layanan (pergudangan, transportasi, depo peti kemas). Apabila potensi sinergi dapat diimplementasikan maka penurunan biaya logistik nasional bisa diwujudkan sehingga daya saing ekonomi dapat ditingkatkan.
Tentu masih banyak potensi lain yang bisa dikembangkan. Demikian pula tantangan yang harus dihadapi pada tahun 2016 terutama dengan telah digulirkannya ASEAN Market Integration 2015.
Beberapa strategi baru harus dikembangkan BUMN, termasuk kemungkinan ekspansi dengan go regional maupun pengoptimalan alternative pendanaan melalui Ā instrument di pasar modal. Studi BCG (2014) menunjukkan perusahaan di Malaysia dan Singapura adalah yang paling siap menghadapi pasar integrasi ASEAN 2015, sementara perusahaan di Indonesia menunjukkan sebaliknya. BUMN dapat mengambil peran aktif sebagai motor perekonomian bangsa dan berkiprah lebih kompetitif, minimal sebagai jagoan di wilayah ASEAN.
Seminar Reshaping, Sharpening & BUMN Outlok 2016 yang diselenggarakan Lembaga Management FEB UIĀ diharapkan bisa memberikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan daya saing BUMN kedepan, terutama memasuki era keterbukaan ekonomi kawasan.
Ā