Global Network for Advanced Management (GNAM) Deans and Directors Meeting resmi dibuka tadi malam (20/04) di Bali. GNAM diprakarsai oleh Yale School of Management, yang kemudian mengajak satu sekolah bisnis terbaik dari negara-negara terpilih untuk bergabung dalam prakarsa ini. Saat ini telah ada 29 sekolah bisnis yang bergabung dengan GNAM, termasuk diataranya Yale, NUS, Berkeley Haas, IMD, Insead, LSE, ICS Hitotsubashi, HKUST, HEC Paris, IE, FGV EGADE, Sauder, ESMT, ANU, AIM dan Fudan. Indonesia diwakili oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB-UI).
Dalam diskusi di acara pembukaan tersebut, para Dekan business school dari seluruh dunia meminta FEB-UI untuk memberikan sharing tentang bagaimana Indonesia bisa memiliki resiliensi yang tinggi terhadap krisis keuangan global yang tengah terjadi.
Julia Von Maltzan Pechace, Dekan FGV EGADE dari Brazil, secara khusus menanyakan pengalaman Indonesia dalam mengelola intervensi politik yang begitu kuat dalam proses penanganan krisis. Brazil sendiri saat ini sedang menghadapi krisis politik yang kemungkinan bermuara pada krisis keuangan.
Sementara Murali Chandrashekaran, Dekan UBC Sauder School dari Kanada tertarik untuk mengetahui gaya leadership dan manajemen seperti apa yang dilakukan pemimpin Indonesia untuk mensinergikan semua kekuatan dan kepentingan yang ada untuk membantu Indonesia keluar dari krisis dan mempertahankan resiliensi tersebut.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Dekan FEB-UI Prof. Ari Kuncoro menjelaskan bahwa salah satu pilar utama resiliensi tersebut adalah koordinasi tim ekonomi yang solid. Indonesia beruntung memiliki tim ekonomi yang memiliki sejarah panjang koordinasi yang solid dalam mengelola kebijakan perekonomian. Dimulai dari era kepemimpinan Prof. Sumitro Djojohadikusumo, diteruskan oleh Prof. Widjojo Nitisastro, Prof. Ali Wardhana, Prof. Saleh Afiff, dan kemudian Prof. Dorodjatun Kuntjorojakti. Para ekonom tersebut memiliki leadership dan manajemen yang efektif dalam mengelola konflik dengan kelompok kepentingan yang terimbas oleh setiap kebijakan ekonomi yang dibuat.
Soliditas tim ekonomi ini diteruskan oleh kepemimpinan baru ekonom yang lebih muda, yaitu Sri Mulyani, Chatib Basri, dan kini Bambang Brodjonegoro serta Darmin Nasution. Keberlanjutan dan konsistensi pendekatan yang digunakan oleh para ekonom ini membuat grand design perekonomian Indonesia yang telah dirancang sejak jaman Prof. Sumitro Djojohadikusumo tetap bisa dijaga inklinasinya.
Prof. Dorodjatun Kuntjorojakti yang turut hadir dalam pertemuan tersebut menambahkan perlunya pengambil kebijakan ekonomi di negara berkembang (seperti Indonesia dan Brazil) untuk memahami perkembangan dan perilaku kekuatan politik yang ada. Pada kasus Indonesia, ada lima kekuatan politik utama: partai politik, militer, media, universitas, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pada masa kepemimpinannya sebagai Menko Perekonomian, Prof. Dorodjatun berhasil menyeimbangkan peran dari kelima kekuatan utama tersebut dalam setiap perancangan kebijakan ekonomi. Hasilnya Indonesia bisa keluar dari krisis ekonomi lebih cepat dengan resiliensi yang lebih kuat. Inilah leadership dan manajemen ala pengambil kebijakan perekonomian Indonesia yang bisa menjadi referensi bagi negara lain.
Edward ‘Ted’ Snyder, Dekan Yale School of Management, mengatakan bahwa pelajaran dari Indonesia ini sangat penting sekali bagi dunia. Krisis keuangan global yang terjadi saat ini telah memakan korban banyak negara, terutama negara berkembang. Salah satu sumber masalah yang terjadi di negara-negara tersebut adalah koordinasi dan leadership yang lemah dari para pengambil kebijakan ekonominya. Sumber yang lain adalah banyak posisi menteri bidang perekonomian di negara-negara tersebut yang diisi oleh politisi, pengusaha, maupun orang yang punya kepentingan dengan kekuasaan.
Ted Snyder menambahkan bahwa resiliensi yang dimiliki Indonesia terhadap krisis keuangan global menjadikan Indonesia menjadi negara yang sangat penting bagi dunia. Indonesia berkontribusi terhadap stabilitas global, serta semakin menunjukkan kekuatannya sebagai penyeimbang bagi model perekonomian yang dijalankan oleh China dan India.
Sementara itu Kristiana Raube, Dekan Haas School of Business UC Berkeley, memuji kontribusi positif para ekonom alumni UC Berkeley di Indonesia dalam menjaga resiliensi ekonomi. Sebutan Mafia Berkeley terhadap para ekonom tersebut seharusnya dimaknai sebagai sebuah koordinasi yang kuat dan solid antara satu generasi ekonom ke generasi ekonom lainnya. Indonesia dikatakan beruntung memiliki para teknokrat di bidang ekonomi yang selalu hadir menjadi penjaga terakhir arah pembangunan ekonomi secara konsisten. Privilege ini tidak dimiliki oleh sebagian besar negara berkembang lainnya, dimana kepentingan politik seringkali lebih mendominasi arah kebijakan perekonomian.
Harryadin Mahardika, Direktur MM FEB-UI, menutup dengan menggaris bawahi tiga hal penting yang bisa dijadikan rekomendasi kepada pemerintah. Pertama, pemerintahan Jokowi perlu tetap menjaga koordinasi yang solid antar tim ekonomi yang ada di dalam kabinet. Konsistensi dalam hal pendekatan, gaya kepemimpinan dan manajemen konflik menjadi kunci utama dalam menciptakan tim ekonomi yang solid. Kedua, pemerintah harus bisa menyeimbangkan peran dari kekuatan politik yang ada di tanah air, yaitu partai politik, militer, media, universitas dan LSM. Terakhir, pemerintah harus yakin dalam menjalankan grand design perekonomian nasional yang cetak birunya telah ada sejak awal orde baru.