Santunan bagi Korban KM Sinar Bangun
Oleh: Ferdinandus Sentosa Nggao (Peneliti Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
DI tengah sukacita merayakan Lebaran tahun ini, kita dikejutkan berita tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba, Sumatra Utara (18/6). Tim SAR Gabungan menetapkan jumlah penumpang kapal itu mencapai 188 orang, dan sampai Kamis (28/6) baru 24 orang ditemukan, termasuk 3 orang meninggal.
Dua hari setelah kecelakaan maut itu, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa pemerintah menjamin adanya santunan bagi para korban. Pernyataan ini tentu bukan lip service apalagi hoaks, tetapi memiliki dasar hukum yang jelas. Negara memang harus hadir dalam memberikan perlindungan sosial bagi para korban. Indonesia sudah memiliki regulasi tentang pemberian santunan dalam konteks perlindungan sosial ini.
Dalam kasus KM Sinar Bangun, santunan diberikan dalam dua bentuk, yaitu bantuan sosial dan asuransi sosial. Dana bantuan sosial berasal dari APBN dan APBD. Karena itu, jumlahnya tergantung kemampuan keuangan pemerintah. Pemberian bantuan ini didahului oleh penetapan peristiwa kecelakaan sebagai bencana. Ada mekanisme tersendiri tentang penetapan sebagai bencana yang layak mendapat bantuan sosial dengan sederetan kriteria.
UU No 2/2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Pasal 69 ayat 1 menyebutkan bahwa pemerintah (pusat dan daerah) menyediakan santunan dukacita dan kecacatan bagi korban bencana. Ketentuan lebih lanjut tentang santunan ini diatur dalam PP No 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, khsusnya Pasal 25 dan 26. Santunan dukacita terdiri atas biaya pemakaman dan/atau uang duka. Santunan kecacatan diberikan kepada korban yang cacat mental dan/atau fisik.
Di samping itu, UU No 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan PP No 39/2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, juga memasukkan korban bencana sebagai kelompok prioritas dalam memberikan perlindungan sosial. Perlindungan sosial ini, antara lain, diberikan dalam bentuk bantuan sosial langsung berupa uang tunai melalui Kementerian Sosial.
Mengacu pada UU No 2/2007 dan UU No 11/2009, Kementerian Sosial mengeluarkan Peraturan Menteri Sosial (Permenson) No 1/2013 tentang Bantuan Sosial bagi Korban Bencana. Dalam Permensos ini (Pasal 5) disebutkan beberapa jenis bantuan langsung bagi korban bencana, salah satunya uang duka dan biaya pengobatan. Dalam kasus KM Sinar Bangun, Kemensos telah memutuskan memberikan santunan Rp2,5 juta per orang bagi korban yang selamat dan Rp15 juta per korban meninggal.
Bantuan sosial ini sebetulnya tidak spesifik untuk korban kecelakaan angkutan penumpang umum, tetapi untuk para korban bencana. Penyaluran santunan bagi korban juga hanya salah satu bagian dari upaya yang dilakukan. Namun, karena kecelakaan KM Sinar Bangun ini bisa dikategorikan bencana, para korban diberikan santunan.
Angkutan umum laut
Santunan bagi korban KM Sinar Bangun ini juga berasal dari program asuransi sosial berdasarkan UU No 33/1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang. UU ini mengatur pengelolaan dana santunan khusus bagi korban kecelakaan angkutan umum di darat, sungai/danau, feri/penyeberangan, laut, dan udara. Pengelolaannya menggunakan mekanisme asuransi, yakni dana dikumpulkan dari para penumpang melalui iuran wajib (IW).
Ketentuan rincinya diatur dalam PP No 17/1965 dan Peraturan Menteri Keuangan No 15/PMK.010/2017 terkait besaran santunan dan iuran. Dana ini dikelola BUMN, yaitu PT Jasa Raharja (persero).
Dalam konteks KM Sinar Bangun, ketentuan ini sejalan dengan UU No 17/2008 tentang Pelayaran dan PP No 20/2010 tentang Angkutan di Perairan. Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpangnya. Tanggung jawab ini termasuk kematian dan luka yang dialami penumpang yang diangkut.
Untuk itu, perusahaan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang dimaksud ialah UU No 33/1964 dan produk hukum turunannya.
UU No 33/1964 pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban penumpang. Setiap korban kecelakaan berhak mendapat santunan yang besarannya ditetapkan oleh menteri keuangan. Kementerian Keuangan tahun lalu menaikkan nilai santunan rata-rata sebesar 100% melalui PMK No 15/PMK.010/2017, yang berlaku sejak 1 Juni 2017.
Dengan mengacu pada PMK ini, korban kecelakaan mendapat beberapa jenis santunan. Pertama, santunan kematian senilai Rp50 juta per penumpang yang diserahkan kepada ahli waris. Kedua, santunan catat tetap sebesar maksimal Rp50 juta. Realisasi tergantung pada jenis cacat yang dihitung berdasarkan persentase tertentu sebagaimana diatur secara rinci dalam PP No 17 Tahun 1965.
Ketiga, bagi korban yang memerlukan perawatan, mendapat penggantian biaya perawatan maksimal Rp20 juta, biaya ambulans maksimal Rp500 ribu, dan biaya pertolongan pertama pada kecelakaan maksimal Rp1 juta. Keempat, bila ada penumpang meninggal dan tidak mempunyai ahli waris, kepada pihak yang menyelenggarakan penguburan diberikan penggantian biaya penguburan sebesar Rp4 juta.
Kalau dilihat perkembangan 5 tahun terakhir, santunan korban kecelakaan angkutan umum laut yang disalurkan Jasa Raharja menurun sebesar 13,71%, dari Rp3,348 miliar (2013) menjadi Rp2,889 miliar (2017). Nilai klaim 2017 mengalami peningkatan jika dibanding 2016 yang mencapai Rp2,418 miliar. Kenaikan ini antara lain dipengaruhi kenaikan nilai santunan sesuai dengan PMK yang baru.
Jumlah santunan ini relatif kecil jika dibandingkan dengan total santunan yang disalurkan Jasa Raharja. Pada 2017, nilai santunannya mencapai 0,15% dari total santunan yang mencapai sekitar Rp1,9 triliun. Angkutan umum laut di sini mencakup angkutan danau, sungai, feri/penyeberangan dan laut. Dalam UU Pelayaran, kelompok ini disebut dengan angkutan perairan.
Iuran wajib
Dana santunan ini diperoleh melalui iuran wajib yang disebut iuran wajib kapal laut (IWKL). Setiap penumpang wajib membayar iuran yang melekat pada harga tiket. Iuran ini dikumpulkan oleh pemilik angkutan untuk disetorkan pada Jasa Raharja paling lambat tanggal 27 setiap bulan. IWKL dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu iuran wajib angkutan penumpang umum danau dan sungai serta iuran wajib angkutan umum feri/penyeberangan dan laut.
Dengan mengacu pada PMK No 15/PMK.010/2017, besar iuran wajib bagi penumpang angkutan umum di danau dan sungai dibagi dalam 2 kelompok berdasarkan harga tiket. Untuk harga sampai dengan Rp2.500 iurannya sebesar Rpl00, sedangkan untuk harga tiket di atas Rp2.500 iurannya sebesar Rp200. Untuk kasus KM Sinar Bangun besaran iuran wajib masuk ke kelompok angkutan danau dan sungai.
Iuran wajib angkutan umum feri/penyeberangan dan laut dikelompokkan menjadi 5 berdasarkan harga tiket: sampai dengan Rp2.500 (Rpl00), Rp2.500-Rp5.000 (Rp200), Rp5.000-Rp10.000 (Rp400), Rp10.000-Rp25.000(Rp800) dan tarif di atas Rp25.000 (Rp2.000). Besaran iuran ini berlaku sejak 2008 karena dalam PMK yang baru santunan dinaikkan tanpa kenaikan iuran.
Total pendapatan dari IWKL dalam 5 tahun terakhir meningkat sekitar 11,58%, dari Rp57,453 miliar (2013) menjadi Rp64,107 miliar (2017). Pendapatan IWKL mencapai sekitar 10% dari total pendapatan IW yang diterima Jasa Raharja.
Hal penting yang perlu diketahui, penyaluran santunan ini menganut prinsip no fault. Artinya, tidak mempertimbangkan kesalahan yang dilakukan pemilik kapal. Dalam kasus KM Sinar Bangun ini terdapat kesalahan seperti jumlah penumpang yang melebihi kapasitas dan tidak memiliki manifes. Walaupun demikian para korban tetap menerima santunan. Karena tidak ada manifest perlu ada penetapan tentang data korban.
Kendati menggunakan prinsip no fault, penegakan hukum tetap harus dijalankan terhadap pelanggaran yang dilakukan. Yang lebih penting, pengawasan terhadap kepatuhan pelayaran harus ditingkatkan. Manifest, misalnya, juga sangat dibutuhkan dalam menentukan jumlah iuran wajib. Tanpa manifest, penentuan jumlah iuran wajib sulit dilakukan sehingga berpeluang terjadi manipulasi data.
Artikel dimuat di koran cetak Media Indonesia edisi Sabtu, 30 Juni 2018.