Willem A. Makaliwe: Target Inflasi atau Nilai Tukar?
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Kenaikan suku bunga sebagai perangkat kebijakan moneter digunakan untuk mengendalikan inflasi atau menciptakan paritas suku bunga riil dengan negara lain. Pada satu sisi, saat ini inflasi berada dalam kendali, bahkan di bawah 4% per tahun. Pada sisi lain, investor portofolio yang peduli atas perbedaan suku bunga riil semestinya sudah tidak berpengaruh seperti pada saat awal nilai tukar terdepresiasi. Karena itu, kenaikan suku bunga dengan target menjaga/menahan nilai tukar menjadi pertanyaan.
Kenaikan suku bunga juga akan mengetatkan ekonomi sehingga dapat mengganggu batas bawah target inflasi. Implikasinya, mengakibatkan ekonomi menjadi stagnan. Dalam bahasa yang berbeda, tindakan disinflasi yang terus-menerus dapat mengantar pada fluktuasi output yang tidak diinginkan atau tingkat pengangguran yang dapat meningkat.
“Kebijakan makroekonomi memiliki dua target besar, yaitu pertumbuhan output (dikenal juga dengan pertumbuhan ekonomi) dan pengendalian inflasi. Perkembangan referensi kemudian memunculkan varian pada kedua target ini yang bersifat struktural, seperti pembangunan infrastruktur, pengembangan institutional (penciptaan rule of the game) dan penguatan kompetensi SDM dengan penekanan pada pendidikan dan penguasaan teknologi,” tutur Willem A. Makaliwe dalam rilis tulisannya di koran Harian Kompas, (18/9/2018).
Melihat kebijakan moneter tadi, target Bank Indonesia sebagai otoritas moneter adalah pencapaian kestabilan nilai rupiah. Target ini mengandung dua aspek, yaitu terhadap barang dan jasa (indikator inflasi) serta terhadap valuta asing (indikator nilai tukar). Namun, belum tentu terjadi sebaliknya, yaitu target nilai tukar akan menghasilkan pencapaian target inflasi.
Target kebijakan moneter yang ditetapkan bank sentral di sejumlah negara ialah pencapaian satu target. Target inflasi atau sebenarnya lebih tepat disebut sebagai target disinflasi (inflasi yang lebih rendah daripada tahun sebelumnya) sering kali menjadi suatu komitmen. Keunggulan target inflasi terletak pada kemampuannya untuk fokus pada persoalan domestik, terukur, dan mudah diobservasi publik.
Target inflasi digunakan banyak negara terutama karena memengaruhi berbagi aspek makroekonomi, seperti inflasi yang tinggi dalam menurunkan daya beli masyarakat, kenaikan biaya transaksi, dan alokasi sumber daya yang tak efisien. Meski demikian, target inflasi juga memiliki kelemahan, seperti jika terdapat ketidakdisiplinan birokrasi, suatu negera yang defisit anggaran secara terus-menerus dapat mengakibatkan pembiayaan melalui pencetekan uang.
Sebaliknya, target nilai tukar digunakan jika keunggulan target ini lebih besar dibandingkan dengan kelemahan dari target inflasi di atas. Penentuan nilai tukar diimplementasikan dengan mengaitkan inflasi domestik dan inflasi dari negara yang menjadi acuan inflasi.
Penurunan inflasi pada negara acuan akan memaksa penurunan inflasi pada negara domestik. “Jika tidak, nilai tukar domestik akan melemah. Komitmen mencegah gagalnya target nilai tukar merupakan basis untuk mempertahankan kepercayaan pasar atas target nilai tukar. Hanya saja, konsekuensi target nilai tukar terletak pada kebijakan moneter menjadi tak efektif,” jelas Willem A. Makaliwe.
Terkait fluktuasi dan pelemahan nilai tukar, tentu saja kebijakan moneter bukan solusi tunggal. Salah satu akar masalah beberapa tahun terakhir terletak pada sektor riil, yaitu defisit transaksi berjalan. Tren fluktuatif sejak 2004 dan defisit sejak 2012, kondisi transaksi berjalan masih dihibur oleh neraca perdagangan yang surplus. Namun, saat ini neraca perdagangan pun berfluktuasi.
Karena itu, kenaikan suku bunga acuan menjadi 5,5% oleh BI mengundang pertanyaan. Bukankah target inflasi sudah berada dalam koridor, dan pertumbuhan ekonomi berada pada rentang 5,1-5,2 persen? upaya ini dapat terganggu dengan upaya menenangkan gejolak depresiasi rupiah melalui kenaikan suku bunga.
“Padahal, kebijakan moneter untuk merespons pergerakan nilai tukar hanya dimungkinkan jika bertujuan untuk pencapaian target kebijakan makroekonomi,” tutupnya. (Des)
Sumber: Koran Harian Kompas. Edisi 18 September 2018. Kolom Opini Hal.7