Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI Gelar Seminar Peluang dan Tantangan Dalam Mewujudkan Potensi Ekonomi Indonesia
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia mengadakan seminar yang bertajuk “Mewujudkan Potensi Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang” yang berlangsung di ruang PGN, Departemen IE, pada Selasa (2/10/2018).
Seminar ini dibuka oleh sambutan Teguh Dartanto, Ph.D., selaku Ketua Departemen Ilmu Ekonomi. Ia mengatakan dalam beberapa tahun terakhir, FEB UI berusaha untuk menyediakan pendidikan dan penelitian yang sangat baik. Hal ini sejalan dengan misi UI untuk menjadi universitas terkemuka serta visi FEB UI untuk menjadi pusat keunggulan pengajaran dan pembelajaran di Asia. Selain itu, kami juga bergerak maju untuk menciptakan lingkungan yang sangat baik untuk pendidikan dan penelitian serta memupuk pemimpin masa depan yang memiliki rasa tanggung jawab sosial dan kemampuan untuk mengatasi tantangan global.
“Seminar ini diharapkan dapat mempromosikan pemahaman ekonomi kita sendiri, keterlibatan internasional, merangsang jaringan di antara para sarjana nasional dan internasional. Seminar ini akan membahas buku terbaru yang diterbitkan oleh IMF dan fokusnya adalah tentang tantangan dan peluang dalam mewujudkan potensi ekonomi Indonesia,” tutur Teguh Dartanto.
Dalam seminar ini menghadirkan dua narasumber yang dimoderatori oleh Sugiharso Safuan, Ph.D., selaku Ketua Program Studi S-2 dan S-3 PPIE. Narasumber pertama, yaitu Luis E. Breuer selaku Kepala Divisi di Dana Moneter Internasional (Divisi Indonesia dan Filipina). Ia memaparkan bahwa Indonesia sedang menghadapi masalah perekonomian mengenai melemahnya harga nilai tukar rupiah terhadap dolar. Hal ini disebabkan karena The Fed (Bank Sentral) Amerika Serikat terus-menerus menaikan harga suku bunga.
Sementara itu, perdagangan internasional antar negara akan memiliki efek pada perekonomian Indonesia. “Saat ini perekonomian dunia terutama perekonomian Cina yang semakin besar dan hampir menguasai pasar. Maka dari itu, Cina dan Amerika akan mengadakan perang dagang dengan fluktuatif harga yang nantinya akan berefek ke Indonesia,” ucap Luis E. Breuer.
Narasumber kedua disampaikan oleh Dr. Muhammad Chatib Basri, S.E., M.Ec., selaku Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi FEB UI sekaligus Menteri Keuangan periode 2013-2014. Ia menyampaikan bahwa pada saat Asian Financial Crisis (AFC) tahun 1997 – 1998, sistem perbankan Indonesia begitu lemah. Kondisi tersebut diperparah dengan respon kebijakan moneter yang tidak tepat dan berujung pada bank runs (kondisi ketika masyarakat berbondong-bondong menarik uang dari bank dalam waktu bersamaan, sehingga bank kekurangan likuiditas) dan capital outflows (arus modal keluar, umumnya dalam bentuk portofolio).
Sementara itu, ketika Taper Tantrum (TT) terjadi, kepanikan lebih didasarkan pada kondisi neraca perdagangan yang defisit (current account deficit). Ketika The Fed menghentikan QE, respon cepat yang diambil Bank Indonesia selaku otoritas moneter Indonesia adalah dengan memotong suku bunga.
“Kemudian dari sisi fiskal, pemerintah juga melakukan stimulus fiskal (singkatnya, Indonesia merespon dengan melakukan kebijakan moneter dan fiskal ekspansif). Langkah tersebut terbukti efektif, sehingga dibandingkan Brasil, India, Turki, dan Afrika Selatan, Indonesia mampu keluar dari kategori FF lebih cepat,” tutur Chatib Basri.
Adapun faktor lain yang turut mendukung keberhasilan Indonesia dalam menghadapi GFC dan TT dibandingkan AFC adalah reformasi institusi di berbagai sektor sejak tahun 1998. Reformasi perbankan menjadi salah satu hal utama, di mana pemerintah berhasil menciptakan sistem regulasi perbankan yang penuh kehati-hatian (prudent), sehingga mengurangi kerentanan pada sektor perbankan.
Menurut Chatib Basri, kondisi perekonomian Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang jauh lebih baik dibandingkan pada tahun 1998. Meski demikian, kerentanan dalam sektor keuangan di Indonesia masih tetap ada, sebab pasar keuangan Indonesia didominasi oleh nonresident financing (pemegang sekuritas portofolio Indonesia terbesar berasal dari luar negeri, sehingga ketika terjadi shock seperti saat ini di mana The Fed perlahan meningkatkan suku bunganya, terdapat kerentanan capital outflows).
“Kondisi saat ini, di mana The Fed berangsur meningkatkan suku bunga, membuat perekonomian global berada dalam proses adjustment untuk mencapai keseimbangan baru (new normal). Sehingga kerentanan akan selalu terjadi ditandai dengan depresiasi rupiah selama proses adjustment masih berjalan. Ini bisa diprediksi kondisi new normal baru akan dicapai sekitar akhir tahun 2019,” tutup Chatib Basri. (Des)