Muhamad Chatib Basri: Musim Dingin atau Badai Salju?
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya pada pertemuan tahunan Dunia Moneter Internasional dan Bank Dunia di Bali, mengatakan musim dingin akan datang. Sama halnya dengan pidato Wakil Presiden AS, Mark Pence bahwa tidak hanya menyiratkan datangnya musim dingin, tetapi ia bahkan mengisyaratkan kemungkinan badai salju.
Padahal di sisi lain, proses normalisasi kebijakan moneter di AS akan berlanjut. Tekanan pada rupiah masih terus terjadi. Tahun ini, The Fed mungkin akan menaikkan bunga satu kali lagi dan tahun depan dua atau tiga kali lagi. Akhir tahun 2019 bunga The Fed mungkin akan mencapai 3,25% atau bahkan mencapai 3,5% tergantung tingkat inflasi dan defisit anggaran di AS.
“Artinya, kita harus bersiap akan tiga hal, yaitu nilai tukar rupiah yang melemah, tingkat bunga yang tinggi, dan tingkat inflasi yang merangkak naik. Dunia usaha ada dalam tekanan, dimana biaya produksi meningkat dan daya beli akan tertekan karena dampak kenaikan harga. Ini menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan melambat pada 2019 dan 2020,” kata Muhamad Chatib Basri dalam rilis tulisannya di Kompas.id, (26/10/2018).
Perang dagang AS-Cina membawa dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dunia. Negara yang memiliki keterkaitan perdagangan yang tinggi dengan perekonomian AS-Cina atau perekonomian dunia akan berdampak secara signifikan. Di sini kita bisa menduga dampak perang dagang terhadap Indonesia akan lebih kecil dibandingkan Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand.
Alasannya, karena porsi dari perdagangan Indonesia terhadap PDB hanya 30% dibandingkan dengan Singapura yang di atas 200%, atau Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang rasio perdagangannya terhadap PDB lebih dari 100%. Selain itu, dampak dari perang dagang pada perekonomian Indonesia akan terjadi melalui keterkaitan perdagangan Indonesia dengan Cina. Bersama dengan Filipina, Indonesia adalah pemasok penting untuk bahan mentah dan produk antara untuk Cina.
Lebih dari 40% ekspor Indonesia ke Cina adalah produk barang tambang, minyak goreng, dan kelapa sawit. “Pelemahan permintaan terhadap produk-produk di atas akan berpengaruh terhadap ekonomi kita. Sementara perlambatan ekonomi Cina juga memiliki dampak terhadap perlambatan ekonomi Jepang yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap ekspor Indonesia ke Jepang,” tambah dia.
Pada awal bulan ini, AS, Meksiko dan Kanada membuat perjanjian perdagangan yang dikenal dengan USMICA (United States, Mexico, Canada Agreement). Yang menarik di dalam perjanjian itu ada klausul 32,10 yang isinya ‘menghukum’ anggota USMICA yang melakukan perjanjian perdagangan dengan negara yang dianggap ‘non market economy’. Dengan kata lain, ini adalah sebuah usaha AS untuk membuat negara anggota USMICA menghindari perjanjian dagang dengan Cina.
Namun, persiapan yang harus dilakukan oleh Indonesia menghadapi ini, di antaranya memperbaiki iklim investasi, terutama di daerah, kita perlu merevisi UU Ketenagakerjaan. Undang-Undang yang kaku dengan sistem pesangon yang relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, membuat investor menghindari sektor padat karya, dan lebih memilih sektor sumber daya alam dan pasar modal.
Akibatnya, balas jasa buruh relatif terhadap pemilik modal menurun. Ini juga salah satu faktor yang menjelaskan mengapa pangsa sektor manufaktur khususnya padat karya terhadap PDB terus menurun. Sebaliknya, Vietnam menjadi lebih menarik untuk industri padat karya. Pengusaha kita juga lebih memilih pekerja kontrak dan informal.
Buruh bisa ditolong dengan memperhatikan tingkat upah riil, misalnya dengan membuat biaya hidup mereka menjadi lebih murah. Penyediaan rumah susun dengan harga terjangkau untuk buruh di sekitar pabrik dapat menekan pengeluaran mereka untuk tempat tinggal. Padahal, tanpa perbaikan UU ini, investor mungkin akan memilih Vietnam daripada Indonesia, karena Vietnam sudah mempersiapkan diri ikut Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang tentunya sudah memenuhi standar AS.
“Musim dingin, seperti kata Presiden Jokowi, akan datang bahkan mungkin badai salju. Mungkin akan panjang, kita harus punya baju hangat, persediaan yang baik dan cukup. Kita harus menjaga ritme, harus irit agar tak kehabisan stamina. Kita perlu bijak dan berani memilih di antara pilihan yang sulit. Tak bisa terus datang dengan kebijakan populis,” tutupnya. (Des)
Sumber: https://kompas.id/baca/opini/2018/10/26/musim-dingin-atau-badai-salju/