Sri Rahayu Hijrah Hati: Keraguan Masih Mengelilingi Implementasi Hukum Halal di Indonesia
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia ditambah dengan kelas menengahnya yang sedang tumbuh, menjadikan Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat utama di pasar halal internasional.
Undang-undang Halal No. 33/2014 secara khusus mensyaratkan semua produk yang dapat dikonsumsi, seperti makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik, produk kimia, produk biologi, produk rekayasa genetika atau barang lainnya yang dapat digunakan oleh manusia, didistribusikan dan diperdagangkan di Indonesia untuk mendapatkan sertifikasi halal pada 17 Oktober 2019.
“Undang-undang mengamanatkan bahwa pemerintah membentuk Badan Sertifikasi Halal (BPJPH) tidak lebih dari tiga tahun setelah pemberlakuan undang-undang dan menerbitkan peraturan pelaksanaan dua tahun setelah pemberlakuan undang-undang,” tutur Sri Rahayu Hijrah Hati dalam rilis tulisannya di koran TheJakartaPost, pada (9/11/2018).
BPJPH dibentuk pada bulan Oktober 2017 untuk mengawasi proses sertifikasi halal, yang sebelumnya ditangani sepenuhnya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, tidak ada satupun peraturan pelaksana yang dikeluarkan sampai sekarang. Menurut undang-undang itu, peraturan itu seharusnya dikeluarkan paling lambat pertengahan Oktober 2018.
Menurut Kementerian Agama, peraturan pelaksana masih dalam tahap finalisasi, menunggu persetujuan awal dari kementerian terkait lainnya. Ketiadaan peraturan pelaksana telah menimbulkan beberapa pertanyaan tentang keseriusan pemerintah dalam menegakkan UU Halal. Salah satu pertanyaan terkait dengan keberadaan Lembaga Inspeksi Halal (LPH) yang memiliki hak untuk mengeluarkan atau memperpanjang sertifikasi halal sebelum dan sesudah 2019.
Berdasarkan undang-undang, perusahaan diminta untuk mengajukan permohonan sertifikasi halal melalui BPJH. Tanpa peraturan pelaksana, bisnis akan dibiarkan dalam kebingungan dan akan menganggap bahwa tidak ada badan yang mampu mengeluarkan sertifikat. Namun, perlu dicatat kepada pelaku bisnis karena undang-undang itu belum efektif, MUI masih memegang hak untuk mengeluarkan sertifikat halal di Indonesia.
Selain itu, terkait dengan definisi produk dalam Pasal 1 undang-undang. Para pelaku bisnis mempertanyakan apakah kalimat ‘atau barang apa pun yang dapat digunakan dan diterapkan oleh manusia’ mungkin juga termasuk produk dan layanan non-makanan dan non-minuman, seperti perangkat medis.
“Manufaktur farmasi juga telah bertanya apakah hukum halal akan diterapkan pada produk akhir saja atau untuk bahan baku karena banyak manufaktur juga harus mendapatkan sertifikasi halal sebelum impor bahan baku,” jelasnya.
Sementara itu, apakah produk non-halal dilarang masuk atau diperdagangkan di Indonesia. Kontradiksi antara Pasal 4 undang-undang yang menetapkan bahwa ‘produk yang masuk atau didistribusikan atau diperdagangkan di Indonesia harus disertifikasi sebagai halal’ dan Pasal 26, yang memungkinkan untuk masuk dan distribusi produk non-halal asalkan mereka menanggung informasi non-halal pada label mereka dan telah menimbulkan kebingungan di antara bisnis pemain.
“Hal tersebut dipertegas pada pasal 4 dan 26 UU yang menyatakan bahwa label halal dan non-halal adalah wajib setelah Oktober 2019,” imbaunya.
Undang-Undang Halal juga memberi peluang bagi pemerintah dan setiap komunitas untuk mendirikan LPH. Salah satu persyaratan untuk pendirian LPH adalah memiliki auditor halal yang telah disertifikasi oleh MUI. Hingga saat ini, BPJPH dan MUI masih belum menetapkan standar akreditasi LPH dan sertifikasi untuk auditor halal.
Jumlah auditor halal dan LPH yang terbatas menimbulkan pertanyaan lain mengenai apakah akan ada implementasi bertahap dari Hukum Halal untuk kategori produk tertentu setelah tahun 2019. Sebelumnya, pemerintah setuju untuk menerapkan implementasi bertahap terhadap Undang-undang halal, karena kesulitan dalam mempersiapkan semua industri dan kesiapan BPJPH. Gagasan itu ditolak, karena akan mengesampingkan hukum. Dengan demikian, UU Halal akan berlaku sepenuhnya pada bulan Oktober 2019. Ini menjadikan produk lokal dan impor yang beredar di Indonesia nantinya wajib memiliki sertifikasi halal.
“Sebagai negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), pemerintah Indonesia harus mematuhi Technical Barrier to Trade (TBT). Pada 2016, Brasil menantang kebijakan sertifikasi halal Indonesia dan mengajukan keluhan terhadap Indonesia ke WTO. Pada akhirnya, Brasil memenangkan sengketa terhadap Indonesia, karena larangan yang diberlakukan oleh Indonesia terhadap Brasil dianggap melanggar kesepakatan dan perjanjian WTO,” tambahnya.
Berdasarkan pembahasan di atas, pemerintah diminta untuk mempercepat penerbitan peraturan pelaksanaan untuk mengatasi isu-isu tersebut sehingga pemerintah tidak akan kehilangan kesempatan untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat halal internasional dan untuk mewujudkan niat mulia untuk melindungi konsumen Muslim. “Ini benar-benar memproyeksikan peran dan kehadiran negara dalam menyediakan layanan, perlindungan, dan jaminan bagi semua orang Indonesia termasuk masyarakat Muslim sebagai populasi utama di negara ini,” tutupnya. (Des)
Sumber: Koran ThejakartaPost. Edisi Jumat, 9 November 2018