Buddi Wibowo: Menjaga Stabilitas Nilai Tukar Rupiah dan Pembangunan Pasar Utang Demi Memikat Investor
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Belakangan ini kurs rupiah terhadap dollar AS yang sempat merosot memberikan sinyal keras bahwa adanya masalah pada struktur ekonomi kita. Salah satu penyebabnya ialah besarnya aliran dana ke luar negeri dalam bentuk valas karena besarnya utang korporasi Indonesia dalam denominasi non rupiah. Korporasi terpaksa berutang dalam denominasi non rupiah karena pasar utang domestik masih terlalu kecil.
Di negara berkembang Asia, pasar surat utang korporasi di Indonesia dapat dikategorikan sangat tertinggal (BIS, 2006) jika perbandingannya adalah PDB. Berdasarkan data Asian Bond Online (ADB) menunjukkan bahwa rasio nilai pasar utang korporasi terhadap GDP di Indonesia hanya 2,21%. Bandingkan dengan rasio pasar utang korporasi di Malaysia sudah mencapai 40%. Bahkan di Korea Selatan, rasio itu sudah menembus angka 90%. Melihat kondisi tersebut, perlu segera diidentifikasi faktor penghambat perkembangan surat utang korporasi di Indonesia.
Pasar surat utang korporasi yang berkembang baik dapat mencegah terulangnya permasalahan currency dan maturity mismatches yang menyebabkan banyak perusahaan dan bank bangkrut secara bersamaan. Studi World Bank (2016) menunjukkan semakin seimbang peran surat utang korporasi dibandingkan dengan kredit bank, ekonomi dapat tumbuh lebih pesat dan risiko sistematik pada sektor finansial dapat lebih dikendalikan dan bisa juga menciptakan market discipline salah satunya pelaporan keuangan yang lebih akurat dan tepat waktu.
“Lembaga keuangan dunia seperti IMF dan World Bank juga mendorong pembangunan pasar surat utang domestik yang kuat di setiap negara berkembang. Semua pihak concern terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian yang terancam karena pincangnya sumber pendanaan domestik karena ketertinggalan perkembangan pasar surat utang domestik,” tutur Buddi Wibowo dalam rilis tulisannya di koran Kontan, (27/11/2018).
Peran pasar surat utang korporasi yang lebih kuat juga dapat mengawasi aktivitas perbankan dalam penentuan bunga dan penyaluran kredit ke sektor yang lebih produktif. Pasar surat utang bukanlah kompetitor bagi perbankan melainkan komplementer karena surat utang memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal panjang tenor, besar pinjaman, dan fleksibilitas diubah menjadi kepemilikan saham debitur.
“Surat utang korporasi diharapkan dapat diakses bukan saja oleh perusahaan konglomerat besar namun juga perusahaan kecil dan menengah. Sehingga dapat menjadi salah satu sumber pendanaan yang dapat diandalkan untuk menstimulasi investasi dan pertumbuhan ekonomi yang semakin merata,” jelasnya.
Negara berkembang di Asia saat ini memiliki kebutuhan pendanaan proyek infrastruktur yang besar. Proyek itu memiliki efek multiplier yang besar ke berbagai industri pendukung. Karena itu tersedianya sumber pendanaan yang sesuai dan tepat sangat dibutuhkan oleh berbagai perusahaan yang ada di negara berkembang Asia. Kerjasama antar negara ASEAN dan negara Asia lainnya telah menghasilkan beberapa inisiatif dalam rangka memperkuat koordinasi dan kerjasama untuk membangun surat utang korporasi di negara masing-masing.
Pengembangan surat utang korporasi domestik yang appropriate di Indonesia sudah sangat mendesak. Namun tahap pembangunannya perlu dipersiapkan dengan hati-hati. Pembangunan institusi dan regulatory framework yang bertujuan untuk mengembangkan pasar surat utang korporasi harus diimplementasikan secara bertahap namun konsisten.
Korea termasuk negara yang sangat liberal terhadap investor asing. Namun kesediaan investor asing untuk masuk ke dalam local currency bond market sangat dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar dan kondisi makroekonomi secara umum. “Inilah yang harus dipelajari oleh Indonesia dalam menarik investor asing dengan cara menjaga stabilitas nilai tukar dan kondisi makroekonomi,” tutupnya. (Des)
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Selasa, 27 November 2018. Kolom Surat & Opini. Hal. 23