Muhamad Chatib Basri: Empat Solusi Atasi Defisit Transaksi Berjalan Indonesia di Tahun yang Tidak Mudah
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Berdasarkan data dari Dana Moneter Internasional menunjukkan rasio tabungan domestik atau PDB saat ini hanya 32% – 33% dari PDB. Padahal, kebutuhan investasi ialah 36% – 37% dari PDB. Jika kita memaksakan ekonomi tumbuh sebesar 6%, ada selisih antara tabungan dan investasi. Selisih itu mencerminkan defisit dalam transaksi berjalan.
Dengan kata lain, jika kita memacu pertumbuhan ekonomi sampai 6%, defisit transaksi berjalan akan meningkat menjadi 4%. Lalu pasar keuangan akan menghukum kita dengan nilai tukar yang melemah dan pasar keuangan yang bergejolak. Artinya jika kita hanya fokus untuk menurunkan defisit transaksi berjalan dengan kebijakan stabilisasi, ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi ke depan akan terperangkap pada kisaran 5%.
“Defisit transaksi berjalan sebenarnya ialah sesuatu yang normal di dalam tahap awal pembangunan suatu negara, terutama negara berkembang. Alasannya sederhana misalnya untuk tumbuh, negara berkembang membutuhkan modal untuk berproduksi. Karena tak memiliki modal, mereka mengimpornya dari negara maju,” tutur Muhamad Chatib Basri dalam rilis tulisannya di Koran Media Indonesia, (24/12/2018).
Sebagian di antara kita mungkin lupa bahwa Singapura pernah mengalami defisit transaksi berjalan sampai 10% pada 1981 dan baru mulai menikmati surplus transaksi berjalan awal 1990-an. Tiongkok baru mulai mengalami surplus transaksi berjalan 1990-an. Korea Selatan sampai dengan pertengahan 1990-an masih mengalami defisit transaksi berjalan sekitar 5%. Selain itu, Vietnam yang sekarang banyak dipuji karena kinerja perekonomiannya, baru menikmati surplus transaksi berjalan 2011.
“Menjadi persoalan sebenarnya bukanlah defisit transaksi berjalan itu sendiri, melainkan pembiayaannya. Selama defisit transaksi berjalan dibiayai penanaman modal langsung di sektor yang berorientasi ekspor bukan portfolio, defisit transaksi berjalan bukan sebuah masalah,” jelasnya.
Maka dari itu, ada 4 solusi dalam mengatasi masalah tersebut, yaitu pertama lakukan pendalaman pasar dengan mendorong lebih banyak sumber pembiayaan dari investor lokal agar porsi pembiayaan eksternal menurun, berikan insentif agar BUMN, dana pensiun, asuransi, dana haji menempatkan investasinya dalam obligasi pemerintah dan sukuk, terapkan reserve Tobin Tax, dan ciptakan instrumen atau produk pasar keuangan agar orang atau eksportir Indonesia memiliki opsi untuk menempatkan investasi portofolio dalam mata uang mereka di Indonesia (on shore). “Ini akan meningkatkan pasokan dolar di dalam negeri,” tambahnya.
Kedua, meningkatkan produktivitas sehingga investasi meningkatkan hasil yang lebih tinggi. Misalnya dengan menurunkan ICOR menjadi 4 atau 5 sehingga untuk pertumbuhan ekonomi 6,5%, hanya dibutuhkan rasio investasi atau PDB sebesar 26% – 32%. Kita mampu mendorong pertumbuhan tanpa kuatir defisit neraca berjalan dengan fokus ke ekspor manufaktur kita dan meragamkan produk dan tujuan ekspor. Di sini dibutuhkan inovasi dan perbaikan kualitas SDM. Selain itu, tentunya menarik PMA dengan terus memperbaiki iklim investasi, termasuk UU Ketenagakerjaan.
Ketiga, keterbatasan ruang bagi fiskal dan moneter akan membuat pertumbuhan ekonomi tertahan. Satu-satunya harapan ialah konsumsi rumah tangga dan ekspor. Terkait ekspor, dengan penurunan harga minyak, batu bara, dan CPO mulai memukul ekspor kita. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Tiongkok juga membawa dampak terhadap pelemahan ekspor kita. “Kita tahu, 40% dari ekspor kita ke Tiongkok ialah batu bara dan CFO,” Imbaunya.
Keempat, salah satunya sumber pertumbuhan ekonomi yang tersisa yakni konsumsi rumah tangga. Kita tahu, saat ekonomi melambat kita butuh kebijakan kontrasiklus. Berfokus pada kelompok yang bisa memberikan pengungkit (multiplier) ekonomi paling tinggi bagi perekonomian. Selain itu, alokasi fiskal yang lebih banyak untuk PKH, padat karya tunai, bantuan langsung tunai akan membantu meningkat daya beli.
“Kita tak perlu selamanya pahit dan muram. Namun, 2019 memang bukan tahun yang mudah. Begitu banyak variabel yang di luar kendali kita. Ada risiko pertumbuhan ekonomi akan melambat di tahun depan. Tentu kita perlu bersiap diri mengantisipasi ini. Selamat tahun baru 2019,” tutupnya. (Des)
Sumber: Koran Media Indonesia. Edisi: Senin, 24 Desember 2018. Kolom Pakar. Hal. 9.