Ari Kuncoro: Perilaku Mengekspor dan Insentif Fiskal
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
Defisit neraca perdagangan bagi Indonesia merupakan gabungan masalah nilai tukar perdagangan (Term of Trade/TOT) dan produktivitas. Sejak November 2018, TOT Indonesia turun, sebagai cermin pelambatan pertumbukan ekonomi dunia karena perang dagang Amerika Serikat-China.
Neraca perdagangan Januari 2019 defisit 1,16 miliar dolar AS. Defisit terjadi karena penurunan ekspor lebih besar dari penurunan impor. Harga ekspor rata-rata turun sejak Juni 2017, sementara volume masih pada rata-ratanya. Penurunan harga pada saat volume tidak berubah menyebabkan nilai ekspor terus turun. Suatu fenomena bagi suatu negara yang mengandalkan komoditas untuk ekspor.
“Sementara, impor turun pada semua kelompok, yakni konsumsi, bahan baku/penolong dan barang modal. Penurunan terbesar terjadi pada kelompok barang-barang konsumsi. Pengendalian impor untuk memperbaiki neraca perdagangan mempunyai keterbatasan. Sebab, untuk mengekspor terutama manufaktur membutuhkan impor barang untuk industri, baik bahan baku/penolong maupun barang modal,” ucap Ari Kuncoro dalam rilis tulisannya di Koran Kompas (26/2/2019).
Hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ekspor manufaktur merupakan agregasi dari ratusan, bahkan ribuan perusahaan yang keluar dari zona nyaman, memproduksi untuk pasar ekspor.
Data Survei Industri menengah dan Besar dari BPS menunjukkan, bagi perusahaan manufaktur, mengekspor bukan pekerjaan mudah. Persentase perusahaan manufaktur yang mengekspor naik-turun. Pada 1991, sekitar 15% dari perusahaan di sektor manufaktur mengekspor. Pada 1996, angkanya menjadi 19%, tertinggi pada periode 1991-2015. Krisis moneter pada akhir 1998 menurunkan angka ini menjadi 16,5% sampai dengan tahun 2000.
“Akibatnya, pada 2010, perusahaan yang mengekspor hanya 13,2% dari jumlah perusahaan yang ada. Fenomena ini dikenal sebagai Penyakit Belanda (Dutch Disease) yang merujuk pada penemuan ladang gas di Laut Utara pada 1959, yang membuat sektor-sektor non-migas Belanda menciut akibat apresiasi gulden. Hal ini mengulangi yang terjadi di Indonesia pada 1970-an dan awal 1980-an, ketika harga minyak di pasar internasional meningkat berkali-kali lipat,” jelasnya.
Pemulihan mulai terlihat pada 2013 dan 2014, yakni berturut-turut menjadi 14,1% dan 17,3%. Akan tetapi, pelambatan perdagangan dunia akibat prospek (sekarang sudah menjadi kenyataan) perang dagang AS dan China, menurunkannya kembali menjadi sekitar 15% pada tahun-tahun berikutnya.
Dari Survei Industri Menengah dan Sedang BPS, tingkat keuntungan perusahaan sektor manufaktur tidak terlalu luar biasa, rata-rata di bawah 20 persen, bahkan untuk padat karya di bawah 15%. Tingkat keuntungan ini mungkin tidak memberikan marjin yang cukup untuk menyerap biaya dan risiko dalam penetrasi pasar ekspor.
“Timbul pertanyaan, apakah insentif fiskal dapat meningkatkan keinginan mengekspor? Simulasi dengan model probabilitas sederhana menunjukkan, jika tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan diturunkan dari 25% ke 20%, proporsi perusahaan yang mengekspor akan meningkat dari 15,6% menjadi sekitar 17,7% (dapat mendekati 20% jika memperhitungkan standar deviasi),” tambahnya.
Dengan asumsi jumlah total perusahaan manufaktur sebanyak 28.917 unit -seperti pada Survei Industri 2015-, maka penambahan eksportir manufaktur baru yang beralih dari non-eksportir murni cukup signifikan, yakni 1.276 perusahaan.
Tentu saja simulasi ini belum memperhitungkan biaya fiskal yang harus dikalkulasi dengan cermat. Untuk membantu meringankan biaya fiskal dan meningkatkan jumlah eksportir baru lebih banyak diperlukan juga perbaikan lingkungan usaha, seperti penurunan biaya logistik, perampingan prosedur perizinan, dan lain-lain.
“Peningakatan kualitas infrastruktur yang tercermin pada perbaikan Indeks Kemudahan Berusaha dan Indeks Kinerja Logistik diharapkan menambah jumlah eksportir pada tahun-tahun mendatang seiring prospek perdamaian dagang AS-China,” tutupnya. (Des)
Sumber: Koran Kompas. Edisi: Selasa, 26 Februari 2019. Rubrik Umum. Halaman 1 Bersambung ke-11.