Robert A Simanjuntak PaparkanĀ Pengelolaan Utang Pemerintah
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Diskursus soal utang pemerintah sering muncul di ruang publik dan menjadi sorotan berbagai media di negeri ini. Apalagi dalam enam bulan terakhir. Ingar-bingar kontestasi politik tampaknya membuat isu-isu seputar utang semakin seksi untuk diangkat ke permukaan dan dipolitisasi.
Satu pertanyaan yang selalu diperdebatkan adalah: apakah utang pemerintah saat ini ada dalam koridor yang bisa dipertanggungjawabkan? Apakah aman?
Memang harus diakui bahwa utang pemerintah meningkat relatif cepat dalam empat tahun terakhir dengan jumlah saat ini berkisar 1,7 kali lipat dibandingkan dengan 2014. Meski demikian, sama seperti yang saya garis bawahi dalam artikel di harian ini satu setengah tahun lalu (āUtang yang Menambal Defisitā, Kompas, 11/9/2017), utang pemerintah kita tidak pada posisi yang mengkhawatirkan. Mengapa?
Berikut beberapa alasan yang intinya saya sarikan dari Seri Analisis Makroekonomi Triwulan 1-2019, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).
Pertama, sebagian besar utang pemerintah ada dalam mata uang domestik. Pada akhir kuartal III-2018, tercatat bahwa utang dalam mata uang asing Rp 1.873 triliun, sementara utang dalam mata uang rupiah mencapai Rp 2.544 triliun atau 58 persen dari keseluruhan.
Dibandingkan dengan 2014, porsi utang dalam mata uang asing turun sedikit dari 43 persen menjadi 42 persen. Padahal, sejak akhir tahun 2014 sampai 2018, rupiah terdepresiasi 20 persen. Hal ini menunjukkan bahwa utang Indonesia dikelola dengan baik sehingga dapat bertahan terhadap fluktuasi mata uang. Ini juga mencerminkan adanya upaya yang disiplin dalam memitigasi risiko nilai tukar dan meredam dampak guncangan eksternal terhadap utang luar negeri.
Kedua, terkait dengan butir di atas, maka utang pemerintah dalam rupiah adalah sekitar 58 persen. Hampir 40 persen dari utang rupiah ini dimiliki asing. Artinya, pemerintah relatif lebih bergantung pada kreditor eksternal daripada domestik. Dengan demikian, aliran keluar modal portofolio yang mendadak dapat menimbulkan guncangan nilai tukar, seperti yang terjadi pada periode 2013-2015 dan tahun 2018.
Namun, sejak 2014 porsi kreditor asing dari keseluruhan utang Pemerintah Indonesia relatif tidak berubah. Bahkan, dalam setahun terakhir, pemerintah berhasil menurunkan porsi tersebut dari 62 persen pada 2017 menjadi 60 persen pada 2018.
Jangka panjang dan investasi produktif
Ketiga, meskipun sejak 2014 nominal utang meningkat cukup pesat, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan 15 tahun lalu. Bahkan, dalam 10 tahun terakhir pemerintah bisa menjaga agar rasio utang tersebut di bawah 30 persen. Relatif jauh lebih rendah daripada negara-negara sekelas seperti Thailand (42 persen), Malaysia (55 persen), Vietnam (58 persen), atau Brasil (88 persen). Ini mencerminkan disiplin fiskal yang ketat karena jauh di bawah batas maksimum 60 persen yang diperbolehkan oleh UU Keuangan Negara.
Berbarengan dengan prinsip kehatihatian itu, pemanfaatan dana utang sejak 2015 banyak ditujukan pada investasi yang bersifat produktif, seperti proyekproyek infrastruktur. Utang yang produktif diharapkan bisa menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Efeknya tentu diharapkan bisa terjadi dalam waktu yang tidak lama. Di sisi lain, belanja masa lalu yang cenderung konsumtif, seperti subsidi bahan bakar minyak, dikurangi secara drastis.
Keempat, dalam berutang pemerintah tampak mengutamakan pinjaman berjangka panjang. Ini strategi yang sangat penting dalam pengelolaan utang. Data akhir 2018 menunjukkan, dari total utang Rp 4.416 triliun, sebanyak Rp 4.296 triliun (97,3 persen) adalah utang berjangka panjang. Sisanya yang sekitar Rp 120 triliun (2,7 persen) adalah utang jangka pendek. Ini sejalan dengan pembangunan infrastruktur yang butuh waktu (time lag) sebelum memberikan dampak pada ekonomi. Dalam setahun terakhir, utang jangka panjang bertambah sekitar 14 persen, sementara utang jangka pendek turun 2 persen.
Beban pembayaran utang
Kelima, kita paham bahwa semakin besar jumlah utang semakin besar pula beban pembayaran bunga utang. Selain itu, beban bunga juga akan meningkat akibat kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah yang dipengaruhi kondisi pasar. Ini perlu diwaspadai pemerintah. Namun, data menunjukkan bahwa imbal hasil obligasi sejak 2013 terjaga stabil di tingkat rata-rata 7 persen. Kemudian, beban pembayaran bunga utang pun konstan di tingkat 10,8 persen dalam dua tahun terakhir.
Seiring dengan masuknya aliran modal portofolio sejak Oktober 2018, maka imbal hasil obligasi pemerintah diperkirakan akan turun sehingga beban pembayaran bunga utang pada 2019 pun akan berkurang.Ā Keenam, terkait utang jenis sekuritas yang tampak dominan dalam komposisi utang pemerintah. Berdasarkan catatan LPEM FEB UI, porsi utang jenis ini terhadap total utang mengalami kenaikan dari 68 persen pada kuartal III-2012 menjadi 81 persen pada kuartal III-2018. Kondisi ini pula yang menjadi salah satu sebab relatif tingginya beban bunga.
Disiplin fiskal
Besarnya porsi utang dalam bentuk surat berharga memang membuat utang kita agak rentan terhadap guncangan pasar global. Setiap kali guncangan global terjadi, bisa saja investor menjual aset dari negara berkembang (termasuk obligasi Pemerintah Indonesia) dan memindahkan uang mereka pada aset yang dianggap lebih aman.
Namun, situasi ini adalah konsekuensi logis dari status negara kita yang sudah naik kelas sehingga tidak lagi punya akses kepada pinjaman murah dari lembaga multilateral seperti pada masa lalu.
Kendati demikian, kondisi ini justru memunculkan dua hal yang positif. Pertama, pemerintah dipaksa untuk terus menjaga disiplin fiskal yang ketat setiap tahun. Sebab, kekeliruan dalam mengelola utang akan secara otomatis menyebabkan imbal hasil yang lebih tinggi sehingga pemegang obligasi pemerintah cenderung menjual obligasi mereka.Ā
Semakin baik disiplin fiskalāsemakin kredibel APBNāmaka peringkat kredit negara pun akan meningkat sehingga imbal hasil bisa menurun. Ini sudah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir dan seyogianya dilanjutkan terus. Kedua, pemerintah dapat menggunakan obligasi ini sebagai katalis untuk pendalaman pasar keuangan sehingga mampu menciptakan lebih banyak tabungan lewat instrumen yang aman.
Ketujuh, hal terakhir yang jarang sekali disentuh dalam perdebatan soal utang adalah aset atau kekayaan negara. Nilai kekayaan negara yang sudah diaudit pada akhir 2017 adalah sekitar Rp 5.400 triliun. Lebih besar daripada utang pemerintah. Bentuknya berupa aktiva tetap (fixed assets) dan investasi. Sebagian dari nilai aset tersebut berasal dari akumulasi belanja masa lalu yang dilakukan pemerintah. Nilai ini pada 2019 pasti lebih besar karena revaluasi aset masih belum selesai. Apalagi belanja infrastruktur dalam empat tahun terakhir sangat signifikan.
Jadi, belanja yang dilakukan pemerintah, termasuk yang didanai utang, tidak menguap begitu saja. Sebagian berubah menjadi aset negara. Jika aset-aset yang nilainya sangat besar ini bisa dimanfaatkan secara optimal, potensinya untuk menggerakkan ekonomi akan luar biasa. Kesimpulannya, utang pemerintah saat ini masih cukup aman. Pemerintah dan Bank Indonesia telah mengelolanya secara baik dan berhati-hati. Menyoroti dan memelototi utang pemerintah memang perlu dilakukan terus agar pengelolaannya semakin baik lagi di masa depan.
Sumber : Harian Kompas, 8 Maret 2019