Ari Kuncoro Tanggapi Pembangunan Trans Sumatera
Delli Asterina ~ Humas FEB UI
Lima tahun akan datang, 2024, jalan tol Trans-Sumatera sepanjang 2.700 km ditargetkan sudah bisa dioperasikan. Jakarta ke Banda Aceh bisa menggunakan bus. Saat ini, ruas tol yang sudah selesai dibangun mencapai 180 km, termasuk 140 km Bakauheni-Lampung yang diresmikan Presiden Jokowi, Jumat (8/3/2019). Total investasi pembangunan Tol Trans Sumatera mencapai Rp 476 triliun.
Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Prof. Ari Kuncoro, Ph.D menjelaskan, pemerintah memang harus membuat jalan dulu agar mengundang ākeramaianā bukan menunggu āramaiā baru membuat jalan.
Untuk lebih mengetahui tentang proses pengerjaan Trans-Sumatera dan prospek Sumatera usai proyek Trans-Sumatera, para pemimpin redaksi nasional dan PT Hutama Karya (HK) menggelar diskusi setengah hari bertopik “Kupas Tuntas Trans-Sumatera, Nusantara Tanpa Jarak”.
Diskusi yang dibuka Presiden Direktur PT HK Bintang Perbowo menghadirkan empat pembicara, yakni Prof. Ari Kuncoro, Ph.D Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Herry Trisaputra Zuna, Direktur Perumusan Kebijakan dan Evaluasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Brahmantio Isdijoso, Direktur Pengelolaan Risiko Keuangan Negara, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan, dan Arif Budimanta, Wakil Ketua KEIN. PT HK adalah kontrakor pembangunan 2.700 km tol Trans-Sumatera sekaligus menjadi operator tol milik pemerintah itu selama 60 tahun.
āInfrastruktur transportasi yang bagus, menekan biaya distribusi dan logistik. Rendahnya inflasi Indonesia selama empat tahun terakhir, antara lain, dikontribusi oleh perbaikan infrastruktur transportasi. Kemajuan infrastruktur berperan penting dalam menekan angka kemiskinan dan penurunan tingkat kesenjangan ekonomi,ā ungkap Ari
Ari Kuncoro mengatakan pembangunan infrastruktur selama empat tahun terakhir sudah menunjukkan hasil yang signifikan. Inflasi rendah, angka kemiskinan menurun, kesenjangan dan ketimpangan ekonomi menurun. “Inilah infrastructurenomics yang selama ini tidak dilihat orang,” kata guru besar FEB UI itu.
Tingkat kemiskinan Indonesia turun dari 11,13% tahun 2015 menjadi 9,66% tahun 2018. Tingkat kesenjangan ekonomi yang diukur oleh rasio gini, turun dari 0,40 tahun 2016 ke 0,38 tahun 2018. Elastisitas tenaga kerja Indonesia meningkat dari 0,22 selama periode 2010-2014 ke 0,53 pada periode 2015-2017.
Dampak pembangunan infrastruktur, kata Ari, juga terlihat pada peningkatan daya saing Indonesia. Selama periode 2015-2018, indeks Indonesia untuk kemudahan berusaha (Index of Ease of Doing Business) melejit dari 106 ke 91. Pada tahun 2017, peringkat daya saing Indonesia meningkat dari 41 ke 36. Survei logistic performance index (LPI) tahun 2018 menunjukkan, peringkat Indonesia melonjak tujuh anak tangga ke peringkat 46 dari 160 negara, naik dari tahun 2014.
Peringkat LPI Indonesia masih kalah dibanding Singapura yang berada di urutan 7, Thailand urutan 32, bahkan Vietnam yang sudah di peringkat 39. Namun, capaian Indonesia saat ini, kata Ari, sudah cukup untuk memberikan kepercayaan diri kepada bangsa Indonesia bahwa: “Kita juga bisa!”
Di saat pertumbuhan ekonomi global melambat akibat perang dagang, isu Brexit, kenaikan suku bunga bank sentral AS, dan penguatan dolar AS atas mata uang emerging markets, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia, rata-rata 5% dalam empat tahun terakhir, sudah cukup bagus. “Bisa saja ekonomi ‘digas’ hingga 6-7%. Tapi, apakah itu tidak memicu imflasi tinggi dan membuat pertumbuhan ekonomi tidak berkelanjutan?” tanya Ari.
Selama empat tahun terakhir, kata Ari, tidak ada cerita rakyat Indonesia kesulitan bahan pangan dan sandang. Semua barang kebutuhan cukup tersedia. Itu semua disebabkan oleh inflasi yang rendah, yang antara lain dikontribusi kemajuan infrastruktur yang memungkinkan lancarnya pergerakan barang dan manusia.
“Bagi saya tidak ada ayam dan telur soal mana duluan, infrastruktur atau kegiatan ekonomi. Infrastruktur harus dibangun lebih dulu untuk menarik investasi dan menggerakkan ekonomi,” papar Ari. Pengalaman negara maju menunjukkan, kegiatan ekonomi akan mengikuti infrastruktur. Kemajuan AS, Jerman, Jepang, Korsel, dan Tiongkok menunjukkan hal itu.
Infrastruktur yang gencar dibangun empat tahun terakhir, demikian Ari, perlu diteruskan karena dampaknya sangat positif. Saat kondisi global membaik, infrastruktur yang sudah siap akan menunjang percepatan ekonomi nasional. Dia menilai langkah pemerintah membangun infrastruktur sudah tepat.
“Jika produknya bisa langsung diekspor ke luar negeri dari setiap pelabuhan di Sumatera, ekonomi pulau ini akan maju pesat,” kata Ari. Pada tahun 2018, kontribusi Sumatera terhadap PDB 21,58%. Anjloknya harga komoditas menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi Sumatera tahun 2018 hanya 4,54%, jauh di bawah laju pertumbuhan ekonomi nasional, 5,18%.
Hal ini menjelaskan mengapa pemerintah mengambil inisiatif memusatkan diri pada pemberian stimulus perekonomian melalui pembangunan infrastruktur yang mendorong permintaan masyarakat dan sekaligus menciptakan kapasitas produksi nasional. Ari menganggap kebijakan ekonomi yang sejauh ini dilakukan pemerintah sudah tepat.
Sumber : https://www.beritasatu.com/ekonomi/542033/tol-transsumatera-2700-km-mengapa-tidak-sejak-dulu