Ari Kuncoro : Informalitas, Kelas Menengah dan Rasio Pajak di Indonesia
Setiap tahun menjadi rutinitas bagi setiap wajib pajak di Indonesia untuk menyerahkan SPT menjelang 31 Maret. Tidak terhindarkan akhirnya pembicaraan mulai menyinggung rasio pajak (perbandingan antara penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nominal. Rasio pajak atau tax ratio mengukur kemampuan negara untuk membiaya kegiatan penyelenggaraan negara dengan pajak. Meningkatkan rasio pajak tidaklah semudah seperti membalikkan tangan. Dalam konteks memaksimumkan utilitas sosial (Ramsey [1927]) mengonsepkan bagaimana penyelenggara negara mengoptimalkan tarif pajak dengan memperhatikan kondisi dari wajib pajak. Persamaan first order condition yang dihasilkan menyiratkan bahwa tarif pajak marginal (marginal tax rate) yang tidak menimbulkan distorsi adalah nol, yang berarti pajak dibayarkan sejaligus pada satu waktu atau lump-sum untuk setiap orang atau rumah tangga. Hasil ini sangat mengejutkan dan sangat counter-intuitive. Pajak lump-sum di mana semua orang membayar jumlah yang sama dipandang sangat tidak berkeadilan sehingga secara politik tidak mungkin kecuali hanya dalam bentuk user free charge seperti di jalan tol, pameran, bioskop dan sejenisnya.
Pandangan ini kemudian direinterprasikan kembali dengan tidak secara naif yaitu sistem perpajakan harus menyeimbangkan antara efisiensi dan keadilan (Mirrless [1971). Zero marginal tax rate kemudian dinterpretasikan bahwa warga negara dan unit usaha pada dasarnya menginginkan sistem perpajakan yang tidak rumit. Dalam model ini pemerintah akan memungut pajak dari masyarakat yang berpendapatan tinggi dan mentransfernya ke masyarakat yang kurang beruntung tanpa membuat mereka yang mempunyai kemampuan berpura-pura tidak mampu. Pengamatan menunjukan bahwa sistem perpajakan dibeberapa negara bergerak menuju penurunan tarif pajak dan penyeragaman tarif pada pemajakan barang-barang akhir (Mankiw et.al [2009]) yang merupakan reinterpretasi moderen dari Ramsey (1927) untuk mengoptimalkan penerimaan pajak. Reformasi pajak di tahun 2005 dan program pengampunan pajak di tahun 2017 merupakan usaha untuk menuju gambaran ideal ini.
Perkembangan Rasio Pajak
Data menunjukan bahwa dengan mengikutsertakan penerimaan dari SDA (Sumber Daya Alam) pada tahun 2012 akhir dari masa bonanza komoditas rasio pajak Indonesia mencapai 14 persen dari PDB. Rasio tersebut menurun menjadi 13.6 dan 13,1 persen pada tahun 2013 dan 2014 masa akhir dari boom komoditas. Pada tahun-tahun berikutnya adalah 11,6 persen (2015), 10,8 persen (2016), dan 10,8 persen (2017). Sementara itu untuk outlook 2018 sebesar 11, persen dan target APBN 2019 adalah 12,2 persen.
Komoditas ikut memperbaiki rasio pajak pada masa kelimpahan komoditas tapi hal ini adalah bersifat sementara. Adalah sangat riskan untuk menggantungkan diri pada komoditas sebagi sumber perpajakan mengingat harga komoditas sangat tergantung pada siklus perekonomian global. Sebelum tahun 1998 sewaktu Indonesia masih menjadi net exporter minyak bumi rasio pajak dengan SDA tidak pernah melebihi
10 persen. Pada tahun 1990 misalnya besaran rasio pajak adalah 6,72 persen. Angka ini meningkat menjadi 8,03 persen di tahun 1997. Kini tanpa SDA rasio pajak Indonesia berada pada kisaran 10 persen dari PDB.
Informalitas dan Kelas Menengah
Ada beberapa hal yang menjelaskan rasio pajak di atas diantaranya adalah masih besarnya porsi sektor informal dalam perekonomian, perilaku penghindaran pajak, sistem koleksi dan insentif. Perilaku untuk tetap berada di sektor informal merupakan cerminan perilaku menghindari resiko atau risk averse yang akut (Feder [1980], Spiegel et.al [2018]). Banyak rumah tangga pertanian, unit usaha mikro di sector manufaktur dan jasa yang tujuan utama adalah hanya untuk bertahan hidup (just to survive). Bagi mereka sektor formal adalah sesuatu yang asing bahkan menakutkan. Ketakutan terhadap siklus bisnis, beban regulasi dan hal-hal yang dipersepsikan sebagai bureaucratic harassment. Sebagai akibatnya mereka tetap berada di luar arus utama pendapatan nasional (national income circular flow).
Kebijakan-kebijakan seperti KUR (kredit Usaha Rakyat), sertifikasi tanah dan sejenisnya mempunyai peluang untuk meningkatkan kepercayaan diri untuk keluar dari sektor informal. Akan tetapi hal ini sering membutuhkan role model yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Sebagai contoh Desa Sembalun di kaki Gunung Rinjani Lombok merupakan sentra produksi bawang putih. Yang menarik yang menjadi agen perubahan adalah seorang wanita yang berprofesi sebagai pedagang pengumpul dan sekaligus petani. Wanita ini yang memberikan informasi pasar dan cara bercocok kepada petani lain yang semuanya adalah laki-laki. Hasilnya secara perlahan sentra produksi bawang putih ini mulai pulih kembali dan pada saatnya nanti akan menjadi pembayar pajak.
Prinsip membuka identitas diri sendiri secara sukarela (revealed preference) sangat penting dalam insentif pajak. Penyelenggara negara harus dapat merancang sistim insentif supaya wajib pajak tetap membayar pajak sesuai dengan kemampuannya. Insentif ini tidak harus selalu dalam bentuk finansial tetapi dapat juga berbentuk pelayananan kesehatan, pengurusan pensiun/jaminan hari tua dan sejenisnya. Penghargaan yang diberikan kepada pembayar pajak terbesar di Indonesia merupakan contoh dari aplikasi prinsip ini. Kita juga sudah sering mendengar insentif yang diberikan dalam bentuk tax holiday bagi pengusaha tetapi bagaimana dengan warga negara biasa kelas menengah apakah perlu diberi insentif? Amerika serikat adalah contoh negara yang menggunakan tax refund yang membuat membayar pajak menjadi sesuatu yang menyenangkan. Tahun ini terjadi kegeraman nasional terhadap Presiden Trump ketika rata-rata tax refund menurun dari 2135 menjadi 1949 dolar AS yang menunjukan bahwa insentif ini cukup efektif terhadap kelas menengah. Apalagi Indonesia yang menurut BPS sudah mencapai pendapatan per kapita rata-rata 3927 dolar AS per tahun sudah termasuk negara berpendapatan menengah atas. Selain tetap melalui perbaikan administrasi dan kajian terhadap biaya fiskalnya, contoh- contoh di atas memberikan potensi penggunaan insentif bagi kelas menengah yang jumlahnya semakin besar di Indonesia.
Sumber : Harian Kompas 19/03/2019