Ari Kuncoro : Resesi Tertunda di AS dan Perekonomian Indonesia
Apakah resesi di AS akan terjadi atau tidak itulah pertanyaannya. Kalimat ini adalah pelesetan dari ungkapan terkenal pujangga Inggris, William Shakespeare, to be or not to be that is the question. Hal ini adalah metafora dari kebingungan para ekonom kondang di AS dalam menginterpretasi data ekonomi AS.
Pada 3 Desember 2018, untuk pertama kalinya balas jasa surat berharga jangka pendek Pemerintah AS lebih tinggi daripada jangka panjang (inverted yield curve). Di masa lalu, situasi ini adalah pertanda bahwa resesi sudah dekat, terakhir kali terjadi pada 2007, satu tahun sebelum krisis keuangan global (global financial crisis) tahun 2008.
Para ekonom bertanya-tanya apakah resesi akan segera datang di AS pada 2019. Pendapat mereka terbelah jadi dua. Ekonom peraih Nobel, Paul Krugman, mewakili pihak yang pesimistis. Menurut dia, ada beberapa faktor yang memicu resesi di AS, di antaranya pelemahan ekonomi China, resesi di Eropa, serta gelembung (bubble) di pasar properti dan pasar saham AS. Di pasar saham, resesi juga dapat dipicu oleh pecahnya gelembung saham-saham teknologi. Ketakpastian juga meningkat dengan perselisihan terbuka antara Trump dan Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) yang kemudian diketahui masyarakat melalui cara Gedung Putih berkomunikasi publik lewat medsos.
Trump tampaknya masih berang dengan kenaikan suku bunga AS yang dianggap terlalu terburu-buru dan belum lama ini mengatakan produk domestik bruto AS akan naik seperti roket jika The Fed sekarang menurunkan suku bunga acuan. Sebelumnya bahkan mantan Gubernur Bank Sentral AS Janet Yellen mengatakan, yang diperlukan adalah penurunan suku acuan. Setelah itu The Fed tampak melunak (dovish). Dalam pertemuan 19 Maret 2019, The Fed memutuskan tak menaikkan suku bunga acuan. Pasar saham menyambut keputusan ini dengan euforia. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan S&P 500 terus meningkat tiga kali berturut-turut hingga pada 18 April 2019 hampir mencapai angka tertinggi dalam sejarah sebelum terjadi koreksi.
Berlawanan dengan pesimisme akan datangnya resesi, sektor riil AS terbukti tetap kuat. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2019 tercatat 3,2 persen di atas konsensus perkiraan pasar sebesar 2,2 persen. Angka pengangguran turun dari 4 persen pada Januari ke 3,8 persen pada Februari 2019 dan Maret 2019 tak berubah pada 3,8 persen. Pengeluaran konsumen pada Maret tumbuh 0,9 persen dari bulan sebelumnya, pertama kalinya dalam 10 tahun. Pada saat yang sama, inflasi inti tahunan tetap jinak-jinak saja pada tingkat 1,6 persen (yoy), pertama kali sejak September 2017. Kuatnya data makroekonomi AS membuat sebagian besar khalayak lebih optimistis, paling tidak resesi tak akan terjadi dalam waktu dekat. Survei yang dilakukan pada chief financial officer di AS menunjukkan, 84 persen dari mereka memperkirakan resesi baru akan terjadi triwulan I-2021.
Transmisi ke perekonomian dunia
Pada saat The Fed, Maret 2019, memutuskan untuk tak mengubah suku bunga acuannya, banyak orang memperkirakan sesuai dengan pakem buku teks ekonomi bahwa nilai tukar dollar AS akan melemah. Namun, di luar perkiraan kebijakan itu melalui efek pertumbuhan ekonomi (growth effect) malahan memperkuat data makroekonomi triwulanan AS, yang akhirnya mendorong penguatan dollar AS. Sebagai bonus, prospek perdamaian dagang China-AS juga turut memperkuat data makroekonomi di kedua negara tersebut.
Sekali lagi pemodal internasional menganggap AS sebagai safe haven dan melakukan rebalancing pada investasi portofolionya. Hal ini yang tecermin dari peningkatan harga-harga saham di AS. Dollar AS kembali menjadi idaman. Seiring dengan itu, indeks dollar AS telah meningkat 1,5 persen terhadap mata uang negara-negara lain.
Bagi perusahaan-perusahaan multinasional AS sebenarnya apresiasi nilai tukar ini merupakan sesuatu yang merugikan karena harga produk mereka akan lebih mahal dalam mata uang lokal. Perusahaan AS 3M (MMM) masuk dalam catatan sejarah Wall Street ketika harga sahamnya jatuh 13 persen dalam sehari setelah merevisi perkiraan keuntungan tahunannya. Dalam skala lebih kecil, beberapa perusahaan lain, di antaranya produsen suku cadang otomotif Rockwell, juga mengalami nasib sama sehingga membawa indeks S&P 500 sektor industri turun 2 persen. Di lain pihak, menguatnya dollar AS memperbaiki potensi ekspor negara-negara lain. China, misalnya, mencatat pertumbuhan 6,4 persen di triwulan I-2019, di atas perkiraan semula 6,0 persen.
Harga minyak
Harga minyak merupakan pedang bermata dua bagi pertumbuhan ekonomi AS dan dunia. Bagi negara-negara importir minyak neto, harga yang terlalu tinggi akan mengurangi pendapatan pengeluaran riil rumah tangga dan akhirnya melemahkan pertumbuhan ekonomi. Harga minyak yang terlalu rendah akan membuat negara-negara pengekspor minyak kehilangan pendapatan dan juga perusahaan-perusahaan minyak menjadi kerdil atau gulung tikar.
CEO British Petroleum (BP) pernah mengingatkan, harga minyak (West Texas Intermediate/WTI) yang pantas 50-62 dollar AS per barel. Harga sempat menuju titik terendah, sekitar 42 dollar AS untuk WTI dan 52 dollar AS untuk Brent pada Desember 2018, setelah ada berita pelambatan ekonomi China.
Keputusan OPEC pada 7 Desember 2018 untuk mengurangi pasokan dan juga tindakan Rusia untuk menurunkan produksinya sempat mendongkrak harga minyak Brent ke 62 dollar AS per barel dan 51 dollar AS per barel untuk WTI. Namun, akhirnya yang dapat mempertahankan harga minyak pada tingkat lebih tinggi adalah pertumbuhan ekonomi di AS dan prospek damai dagang AS-China. Sanksi ekonomi terhadap Venezuela dan keputusan AS untuk tak memperpanjang pengecualian (waiver) untuk negara-negara mitra dekat yang masih mengimpor minyak dari Iran membuat harga minyak mendapat support untuk memanjat ke tingkat lebih tinggi lagi. Harga WTI sempat sedikit di atas 66 dollar AS meski tidak sempat mencapai 67 dollar AS per barel pada 23 April 2019 karena terjadi koreksi.
Ironisnya, harga minyak juga yang mampu memperlambat pertumbuhan ekonomi dan memicu resesi di AS. Bagi Trump, agar perekonomian AS tumbuh sehat, harga minyak harus berada pada rentang yang tepat. Untuk itu ia meminta Arab Saudi dan negara-negara Teluk anggota OPEC mengisi kekosongan di pasar minyak sebagai akibat hilangnya pasokan dari Venezuela dan Iran.
Seperti halnya dalam setiap kolusi oligopoli selalu ada godaan bagi anggotanya untuk merebut pangsa pasar lewat menjual dengan harga lebih rendah (undercutting). Selain itu, harga minyak tinggi merupakan peluang bagi perusahaan-perusahaan AS penghasil minyak serpih (shale oil) untuk merebut pangsa pasar dari OPEC. Sebagai akibatnya, harga WTI turun kembali menjadi sekitar 63 dollar AS pada akhir April 2018. Situasi ini mengakibatkan harga minyak dunia berfluktuasi tajam dalam rentang waktu yang pendek.
Implikasi bagi Indonesia
Jalur transmisi dari resesi AS hampir selalu melalui neraca perdagangan, neraca berjalan, dan neraca modal. Dari pengamatan sepanjang 2018 berlainan dengan model ekonomi standar, untuk neraca modal selain efek suku bunga terdapat juga efek pertumbuhan negara- negara besar. Perang dagang AS-China menyebabkan modal jangka pendek bermigrasi mencari tempat parkir yang aman di AS dan memperlemah pertumbuhan ekspor Indonesia. Konsekuensinya, rupiah sempat melemah hingga Rp 15.200 per dollar AS.
Prospek resesi di AS menyebabkan pemodal internasional merealokasikan portofolionya kembali ke negara-negara yang prospektif, termasuk Indonesia, yang kemudian membantu penguatan rupiah ke sekitar Rp 14.000 per dollar AS. Setelah itu, data makroekonomi AS yang kuat dan prospek damai dagang menjadikan pemodal internasional melakukan relokasi kembali ke AS dan sekali lagi dollar AS menjadi mata uang yang dicari orang. Rupiah pun melemah lagi hingga Rp 14.200 per dollar AS.
Sisi positifnya, membaiknya kembali prospek ekonomi AS dan dunia juga memperbaiki prospek ekspor di Indonesia. Yang menarik dari surplus neraca perdagangan Indonesia Maret 2019 adalah ekspor dan impor sama-sama meningkat. Berlainan dengan surplus Februari saat ekspor dan impor menurun meski ekspor masih lebih besar dari impor. Kenaikan ekspor Maret terjadi karena ekspor pertambangan dan manufaktur yang masing-masing naik 31,08 dan 9,48 persen. Seperti biasa kenaikan ekspor dibarengi kenaikan impor bahan baku/penolong, yaitu 12,34 persen.
Tentu saja surplus sebesar ini tak cukup untuk menutup defisit neraca berjalan karena kelemahan di neraca jasa tetapi tetap merupakan angin segar karena sejak triwulan IV-2017 ekspor terus mengalami pelemahan. Sifat silih berganti (substitution) antara membaiknya ekspor bersih (net exports) dan arus modal bersih (net capital inflows) menunjukkan Indonesia masih harus bekerja keras untuk terlepas dari siklus resesi AS dan dunia dengan melakukan upgrading ekspor, memperkuat industri penghasil barang-barang input untuk industri hilir, dan memperkuat sektor jasa untuk dapat memperoleh devisa. Dari segi neraca modal untuk mengurangi ketergantungan berlebihan terhadap arus modal masuk jangka pendek, perlu dilakukan pendalaman pasar finansial domestik melalui peningkatan tabungan dalam negeri.
Ari Kuncoro Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisis Universitas Indonesia
Sumber : Harian Kompas, 10 Mei 2019