Ari Kuncoro: Hambatan Universitas dalam Merumuskan Kurikulum Baru
Dirjen Pembalajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kementerian Riset dan Teknologi Indonesia (Kemenristekdikti) menilai bahwa perguran tinggi kerap terlambat dalam merespons perkembangan industri. Banyak universitas, baik swasta maupun negeri yang melihat pendidikan hanya sebagai bisnis. Artinya, jika secara bisnis sudah menguntungkan, maka tidak perlu repot-repot lagi membentuk kurikulum baru.
Akibatnya, banyak lulusan universitas yang justru jeblok saat terjun ke dunia kerja, minim pengalaman atau dalam banyak kasus, ilmu yang dimiliki sudah tidak relevan dengan kebutuhan industri saat ini. Untuk memenuhi tuntutan industri atau dunia kerja yang berubah itu, perguruan tinggi harus mengintegrasikan literasi baru supaya lulusan siap untuk bersaing.
Setidaknya, ada tiga literasi baru yang dibutuhkan saat ini. Antara lain literasi data, literasi teknologi atau coding, dan literasi kemanusiaan. Literasi kemanusiaan menjadi satu bagian yang tidak boleh dilepaskan. Karena itu satu-satunya yang tidak bisa dilakukan mesin atau robot. Jiwa leadership dan komunikasi dengan simpati dan empati.
Langkah konkret yang dilakukan Belmawa Kemenristekdikti untuk mempersiapkan SDM berkualitas adalah dengan membentuk program seminar atau kursus dengan dunia usaha dan para pemangku kebijakan lain.
Menurut Dekan FEB UI, Ari Kuncoro mengatakan, langkah-langkah perumusan kurikulum baru di Indonesia terlalu ketat. Universitas tidak bebas untuk menentukan kurikulumnya sendiri. Misalnya kurikulum fintech, itu harus disetujui Senat Akademik, dan harus diakreditasi oleh Dikti (Kemenristekdikti) dan banyak hambatan birokrasi lainnya. Jadi kalaupun universitas ingin mendahului industri akan agak sulit. Itu kenapa kita terus jadi follower dan telat mulu.
Karena itu, untuk bisa menembus ‘batas-batas waktu’ dan bisa melahirkan lulusan-lulusan terbaik, UI menyiasatinya dengan memberikan satu mata pelajaran baru, yaitu manajemen tingkah laku. “Mata pelajaran ini khusus mempelajari perubahan tingkah laku konsumen atau manusia dalam kaitannya dengan teknologi dan perkembangan zaman,” ujar Ari Kuncoro dalam rilis tulisannya di mnctrijaya.com, Jumat (21/6/2019).
Mata pelajaran tersebut seumpama alat dan bahan memasak. Mahasiswa/i diberikan alat serta kondimen-kondimen penting untuk memasak makanannya sendiri. Sehingga ketika zaman berkembang dan kebutuhan industri berubah, mereka sudah siap untuk menghadapinya.
“Oleh karena itu, perguruan tinggi diharapkan bisa berlomba menjadi yang terbaik dengan menyesuaikan kurikulum pembelajar agar relevan dengan kebutuhan industri. Ini penting dilakukan supaya perguruan tinggi bisa tetap eksis,” tutupnya.
Sumber : http://mnctrijaya.com/news/detail/26875/langkah-lamban-perguruan-tinggi-merespons-perubahan-zaman