Ari Kuncoro : Cakrawala RI 2019- 2024
Guru Besar dan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Latar belakang panggung yang menampilkan pasangan Presiden-Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang terpasang di acara Visi Indonesia di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Minggu (14/7/2019). Acara ini dihadiri ribuan relawan dan pimpinan partai politik pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin.
Pidato Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada 14 Juli 2019 mengingatkan kami ke masa-masa mengikuti pendidikan pasca-sarjana ekonomi di awal 1990-an di Providence, Rhode Island, Amerika Serikat.
Pada masa itu, mendahului perkembangan teknologi yang sekarang disebut Industri 4.0, mulai diperkenalkan konsep-konsep perencanaan modern yang melihat ke depan (“forward-looking”).
Hipotesa ekspektasi rasional (Lucas, 1972) yang kemudian memenangkan Nobel tahun 1995, mengubah asumsi dari pelaku-pelaku ekonomi yang pasif menjadi pelaku-pelaku ekonomi aktif yang pola pikir (mindset) dan tingkah lakunya dapat memengaruhi apakah suatu kebijakan pemerintah sukses atau tidak.
Hipotesa perfect-foresight yang merupakan suatu varian dari hipotesa ekspektasi rasional, mengilhami bahwa kesuksesan di masa depan tergantung dari apakah sang pelaku (agent) mempunyai keyakinan bahwa yang dilakukannya akan sukses. Dengan demikian, berpikir positif menjadi syarat penting untuk keberhasilan di masa depan.
Ada lima program kerja/sasaran prioritas dalam pidato Presiden RI itu yaitu mempercepat dan melanjutkan pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia (SDM), mengundang investasi seluas-luasnya untuk menciptakan lapangan kerja, reformasi struktural dan pola pikir ( mindset), serta penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang fokus dan tepat sasaran. Dan sebagai prasyarat utama keteguhan dan kekokohan yang mencakup ideologi Pancasila, Persatuan dan Kesatuan Bangsa dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dengan demikian, berpikir positif menjadi syarat penting untuk keberhasilan di masa depan.
Ideologi Pancasila, Persatuan dan Kesatuan Bangsa dan Bhinneka Tunggal Ika adalah perekat (necessary condition) yang merupakan modal sosial dalam menciptakan ruang untuk belajar (learning), menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi (adapting) dan mencari solusi untuk menuju ke kemajuan (making choices and progressing).
Empat sasaran yang pertama memiliki kaitan dengan konsep pertumbuhan endogen yang dicetuskan Romer (1989) yang kemudian mendapatkan hadiah Nobel tahun 2018. Model ini merupakan modifikasi dari model Solow (1956). Kata endogen di sini memiliki makna bahwa faktor-faktor yang memengaruhi pembangunan dapat dikendalikan atau dapat dibuat kebijakannya, berlawanan dengan kata eksternal yang mempunyai implikasi berada di luar kendali pembuat kebijakan.
Model Solow sesuai dengan zamannya, menyimpulkan bahwa stok modal fisik per kapita menjelaskan mengapa ada negara yang makmur dan negara miskin. Bagi Indonesia, periode 2014-2019 merupakan masa penguatan modal fisik infrastruktur dalam negeri untuk meningkatkan daya saing.
Selain meningkatkan produktivitas nasional, tujuan dari pemupukan modal fisik infrastruktur ini adalah untuk memperbaiki persepsi para pemodal tentang posisi daya saing di antara negara-negara di dunia. Investasi fisik baru membuahkan hasil dalam jangka panjang sehingga prospek keekonomian ke depan menjadi pertimbangan utama.
Proyek-proyek infrastruktur yang akan datang ditekankan untuk menciptakan interkonektivitas dengan infrastruktur tulang punggung (backbone) yang telah selesai. Menghubungkan beberapa aglomerasi ekonomi, untuk menciptakan pertumbuhan inklusif.
Bagi Indonesia, periode 2014-2019 merupakan masa penguatan modal fisik infrastruktur dalam negeri untuk meningkatkan daya saing.
Mencari sumber-sumber pertumbuhan baru
Pengembangan SDM merupakan pengembangan lebih lanjut dari model Solow menjadi model pertumbuhan endogen. Untuk pendidikan vokasi diperlukan kurikulum yang memberikan kecakapan dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan teknologi. Di sini, konsep lulusan siap jadi sudah bergeser menjadi siap beradaptasi.
Untuk perguruan tinggi, yang dibutuhkan adalah kurikulum yang membangkitkan kemampuan berpikir terbuka yang mencakup berpikir kreatif, berpikir kritis dan berpikir empiris. Berpikir kreatif adalah untuk menemukan solusi-solusi baru. Berpikir kritis adalah memilih alternatif solusi yang paling relevan. Berpikir empiris adalah mengimplementasikan rancangan solusi-solusi tersebut.
Data dari Indeks Talenta Global tahun 2019 menunjukkan bahwa dari 59 negara yang disurvei, Indonesia menduduki peringkat ke-54 untuk kecakapan bisnis yang mencakup kemampuan akuntansi, komunikasi, keuangan, manajemen, pemasaran dan penjualan. Peringkat ini ada di bawah negara-negara tetangga di ASEAN seperti Vietnam (41), Thailand (43), Filipina (44) dan Malaysia (46).
Untuk teknologi, yang terdiri dari jaringan komputer, basis data (database), interaksi antara manusia dan komputer (HCI), sistem operasi, rekayasa keamanan jaringan dan rekayasa perangkat lunak, Indonesia menduduki tempat ke-54, sedikit di bawah Vietnam (52) dan masih di atas Filipina (55).
Peringkat ini konsisten dengan PISA (survei kemampuan murid SD) di mana Indonesia menduduki tempat ke-62 untuk membaca, matematika dan sains dari 69 negara yang disurvei. Kelemahan dari pendidikan dasar tampaknya diteruskan ke jenjang yang lebih tinggi sampai akhirnya memasuki lapangan kerja. Perlu ada perbaikan yang menyeluruh untuk kurikulum dari tingkat dasar, menengah sampai pendidikan tinggi termasuk vokasi.
Untuk perguruan tinggi, yang dibutuhkan adalah kurikulum yang membangkitkan kemampuan berpikir terbuka yang mencakup berpikir kreatif, berpikir kritis dan berpikir empiris.
Saat ini, angka prestasi akademis lebih menunjukkan kemampuan menghafal materi yang diberikan, dibandingkan kemampuan analisis dan mencari pemecahan masalah.
Kegiatan belajar lebih mengasah kemampuan individu, ketimbang kerja sama dan koordinasi dalam kelompok. Khusus untuk vokasi, komposisi kurikulum 75 dibanding 25 untuk mata ajar umum versus mata ajar produktif perlu dibalik menjadi 25 versus 75.
Dalam konteks pertumbuhan endogen, perekonomian dibagi menjadi dua sektor. Yang pertama, memproduksi barang-barang dan jasa-jasa konvensional. Namun, untuk mencari sumber-sumber pertumbuhan baru diperlukan sektor penelitian dan pengembangan (litbang atau R&D) yang juga menghasilkan inovasi sebagai produk tidak berwujud.
Inovasi akan menghasilkan pertumbuhan yang tetap jika sifat dari litbang adalah memberikan hasil dengan kelipatan yang menurun (decreasing return to scale), yang mengandalkan pergeseran selera konsumen dan bonus demografi.
Contoh dari sumber-sumber pertumbuhan baru dari inovasi jenis ini adalah arsitektur, desain, kesenian visual (film dan lain-lain), pemasaran produk pertanian organik melalui market place, pariwisata, musik, kuliner, fesyen dan media digital.
Bidang-bidang ini dapat ditemukan di sektor pertanian, manufaktur maupun jasa-jasa umum, yang menurut taksiran konservatif sekitar 19 persen dari PDB. Bidang-bidang ini secara konsisten selalu tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 1 sampai 2 persen per tahun. Sampai saat ini Indonesia tampaknya masih dalam tahapan ini.
Pertumbuhan yang meningkat akan terjadi jika litbang memberikan hasil dengan kelipatan yang kian meningkat sesuai dengan peningkatan skala (increasing return to scale). Sifat ini terjadi untuk bidang-bidang Industri 4.5 dan 5.0 seperti kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), teknologi robot, terapi gen, analisis big data dan sistem pelayanan kesehatan jarak jauh (remote).
Namun, untuk mencari sumber-sumber pertumbuhan baru diperlukan sektor penelitian dan pengembangan (litbang atau R&D) yang juga menghasilkan inovasi sebagai produk tidak berwujud.
Menuju Birokrasi 5.0
Birokrasi pemerintah menjadi bagian sentral dari usaha-usaha untuk mencari sumber-sumber pertumbuhan baru dengan mengoptimalkan alokasi APBN. Idealnya birokrasi sebagai agen pembangunan adalah sebagai fasilitator dari proses tersebut. Akan tetapi sering kali birokrasi lebih menjadi pabrik peraturan sehingga perekonomian menjadi kelebihan beban regulasi atau over-regulated.
Permasalahannya kompleks, lebih dari sekadar motif mencari rente (Glaeser et al [2004]), Acemoglu et al [2005] dan d’ Agostino et al [2016]). Di sini, termasuk juga ego sektoral untuk menunjukkan eksistensi, sehingga menghasilkan regulasi yang overcompliance dan terlalu berbelit-belit dibandingkan dengan proses yang serupa di negara-negara lain yang menjadi pesaing.
Data Indeks Kinerja Logistik (LPI) antar negara dapat digunakan sebagai proxy beban regulasi tersebut. Secara umum peringkat LPI untuk Indonesia meningkat dari posisi ke-63 pada tahun 2016 ke posisi 45 untuk 2018. Berarti, dibandingkan negara-negara lain lompatan anak tangga ini cukup impresif.
Peningkatan peringkat ini di dorong oleh indeks infrastruktur yang meningkat dari 9,5 persen dari 2,65 ke 2,90 atau secara peringkat dari posisi ke 73 di tahun ke 54 pada 2018. Peningkatan kualitas infrastruktur menjelaskan mengapa peringkat timeliness juga naik cukup tajam dari posisi ke-51 ke peringkat 39.
Yang masih menjadi ganjalan adalah custom yang mewakili beban regulasi. Angka indeksnya tidak banyak bergerak, bahkan turun tipis dari 2,69 di 2016 menjadi 2,67 paa 2018. Yang menarik, dalam waktu yang sama peringkat custom di Indonesia mengalami peningkatan dari 69 ke 62. Berarti, ada negara-negara lain yang lebih memburuk dibanding Indonesia.
Beberapa pelajaran dari negara-negara lain menunjukkan bagaimana birokrasi digunakan sebagai fasilitator untuk meningkatkan ekspor. Dalam konteks Indonesia, hal ini dapat membantu negara untuk memecahkan masalah defisit neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalan yang sudah berlangsung bertahun-tahun.
Akan tetapi sering kali birokrasi lebih menjadi pabrik peraturan sehingga perekonomian menjadi kelebihan beban regulasi atau over-regulated.
Australia, misalnya, menggunakan nama DFAT untuk kementerian luar negerinya. DFA merupakan kependekan dari Department of Foreign Affairs. Huruf T di belakang adalah Trade.
Australia menggunakan kementerian luar negerinya membukakan jalan dan memberikan informasi peluang-peluang ekspor di negara-negara lain. Selain itu, melakukan lobi agar pengusaha-pengusahanya dapat berpartisipasi dalam rantai pasokan internasional.
Masih dalam rangka Birokrasi 5.0, informasi lain juga menunjukkan bahwa penggunaan basis data dari hasil pengindraan satelit terhadap intensitas cahaya pada malam hari dari lampu-lampu sudah digunakan untuk memantau kegiatan perekonomian di negara sendiri maupun negara-negara mitra dagangnya (Henderson et al [2012]).
Beberapa negara juga menggunakan data satelit untuk mengamati kapal-kapal tanker minyak mentah atau minyak sawit yang membuang sauh di depan pelabuhan tetapi tidak merapat untuk membongkar muatan, sebagai prediksi perkembangan harga-harga komoditas di masa depan.
Perubahan pola pikir menuju Birokrasi 5.0 mutlak dilakukan Indonesia, karena selain merupakan kebutuhan menghadapi lingkungan eksternal yang selalu berubah, juga untuk meningkatkan kewibawaan nasional di mata dunia.
Sumber : Harian Kompas 25 Juli 2019