Resolusi Bank dan Mitigasi Risiko Kredit Macet
(Lana Soelistianingsih Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
Dalam setahun terakhir ini kita dikejutkan dengan berita gagal bayarnya beberapa obligasi korporasi swasta, dan dua yang cukup besar saat ini terkait dengan sektor tekstil/garmen dan dua lagi terkait dengan sektor properti.
Kalau merujuk perkembangan subsektor industri pengolahan yang masuk dalam kategori industri tekstil dan pakaian jadi di triwulan II-2019 tumbuh 20,7 persen secara tahunan (year on year/yoy), angka ini jauh di atas pertumbuhan sektor industri pengolahan yang tumbuh 3,54 persen yoy.
Industri tekstil dan pakaian jadi mengalami titik terendahnya di tahun 2015 dan berangsur pulih sesudahnya. Bahkan, subsektor ini masuk menjadi salah satu dari empat sektor prioritas dalam program “Industri 4.0” Kementerian Perindustrian.
Sebaliknya, di sektor properti menunjukkan tren turun setelah mencapai puncaknya di tahun 2012. Tren turun ini terjadi bersamaan dengan tren turunnya harga komoditas di tahun 2011.
Beberapa kebijakan baik dari sisi makroprudensial Bank Indonesia (BI) — terkait pelonggaran loan to value ratio (LTV) untuk kredit kepemilikan rumah (KPR) sehingga uang muka untuk KPR menjadi nol persen— dan kebijakan fiskal program pemerintah terkait sejuta rumah dan pelonggaran perpajakan belum cukup menolong mengangkat kinerja sektor ini. Padahal, sektor properti ini dikenal sebagai indikator ekonomi dini (leading economic indicators).
Potensi gagal bayar seiring dengan tingginya utang korporasi sebelumnya pernah disampaikan oleh Bank Dunia terkait utang swasta di sektor konstruksi.
Kini, McKinsey dalam Asian Bond Stress Signal yang terbit pada Juli 2019 juga memberikan peringatan yang sama. McKinsey menyatakan ada tekanan pada sektor keuangan yang meningkat disebabkan utang-utang korporasi yang tinggi saat ini.
Penelitian McKinsey menunjukkan rasio bunga yang harus dibayarkan (interest coverage ratio/ICR) di bawah 1,5 kali untuk Indonesia, sebesar 32 persen dari utang jangka panjang korporasi. Ini merupakan ketiga tertinggi setelah India yang 43 persen, dan China 37 persen. ICR di bawah 1,5 kali menunjukkan kemampuan perusahaan membayar bunga dikatakan rendah.ICR dihitung sebagai rasio pendapatan operasional sebelum membayar bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) terhadap pembayaran bunga utang jangka panjang.
“Kini, McKinsey dalam Asian Bond Stress Signal yang terbit pada Juli 2019 juga memberikan peringatan yang sama. McKinsey menyatakan ada tekanan pada sektor keuangan yang meningkat disebabkan utang-utang korporasi yang tinggi saat ini.”
Konsep resolusi bank
Tentu kita tidak ingin kejadian kebangkrutan bank di Indonesia seperti likuidasi 16 bank di tahun 1997, program rekapitulasi bank tahun 1998, Bank Century di tahun 2008, berulang akibat gagal bayar debitor korporasi. Perbankan mestinya sudah menyadari bahwa ada mekanisme resolusi bank dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan (PPKSK).
Ketika ada potensi bank bangkrut, bank tidak lagi mendapatkan dana talangan dari pemerintah (bail out). Penanganan bank gagal saat ini menjadi tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
LPS membedakan penanganan bank gagal dengan dua kategori, yaitu bank gagal sistemik dan bank gagal bukan sistemik. Sementara penentuan bank masuk dalam kategori bank sistemik atau bukan ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setiap triwulan.
Sejak UU PPKSK terbit, OJK telah menetapkan pada Maret 2016 terdapat 12 bank dalam kategori sistemik. Jumlah tersebut bertambah menjadi 15 bank pada April 2018. Kenaikan jumlah bank sistemik ini di antaranya karena meningkatnya aset bank dan kompleksitas bisnis bank.
Penanganan kegagalan pada bank sistemik bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, pemegang saham memberikan setoran permodalan baru minimal 20 persen, dan LPS memberikan penyertaan modal sementara (PMS) maksimum 80 persen. Atau cara yang kedua, LPS setor PMS maksimum sebesar 100 persen.
Kedua model ini berujung pada tindakan penyelamatan oleh LPS melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Selanjutnya LPS bisa melakukan divestasi aset dalam waktu maksimum lima tahun, yaitu tiga tahun ditambah satu tahun dan satu tahun lagi jika diperlukan.
Sementara untuk kegagalan pada bank nonsistemik, LPS bisa mengusulkan pencabutan izin bank walaupun masih terbuka opsi ada tindakan penyelamatan oleh LPS jika diizinkan oleh RUPS.
“Perbankan mestinya sudah menyadari bahwa ada mekanisme resolusi bank dalam pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan (PPKSK).”
Kasus Bank Century tahun 2008 merupakan kasus pertama kegagalan bank yang dianggap sistemik yang ditangani LPS. Pengalaman Bank Century yang berubah namanya menjadi Bank Mutiara memberi pembelajaran potensi moral hazard yang tinggi sehingga dana talangan bisa naik melebihi perhitungan awal.
Melihat adanya potensi moral hazard tersebut, aset LPS yang senilai Rp 110,37 triliun pada April 2019 tampaknya tidak akan cukup jika harus memberikan PMS pada bank sistemik.
Belum lagi LPS juga harus memberikan penjaminan dana nasabah senilai Rp 2 miliar per rekening. Terkonsentrasinya dana simpanan dan kredit perbankan nasional pada bank sistemik membuat beban LPS akan sangat berat. Sementara tidak ada pilihan bahwa kebangkrutan bank sistemik ini pada akhirnya berujung pada penyelamatan bank tersebut.
Premi restrukturisasi
Biaya restrukturisasi bank bangkrut sangat tidak murah dan berisiko politik. Dengan skema PPKSK, dana penalangan tidak lagi berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tetapi LPS.
Pembiayaan yang dilakukan oleh LPS diperoleh dari pungutan premi baik yang bersifat reguler sebesar 0,2 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dibebankan setiap semesternya, dan yang terbaru adalah premi Program Restrukturisasi Perbankan (PRP) sebesar 0-0,007 persen dari aset yang dikenakan setahun. Namun, premi ini kemungkinan tak akan cukup mengingat aset dari bank sistemik yang sangat besar sehingga diperlukan sistem pencegahan dan pengawasan ketat.
Bank dikenal mempunyai proses analisis kehati-hatian yang sangat tinggi. Kewajiban mengenal nasabah (know your customer/KYC) menjadi bagian dari prosedur operasional standar (SOP) keputusan bank dalam memberikan kredit.
Namun, pada kasus gagal bayar beberapa nasabah di atas, mereka sudah menjadi nasabah lama (debitor senior) sehingga secara analisis kredit bisa jadi tak seketat jika dibandingkan debitor pemula.
“Biaya restrukturisasi bank bangkrut sangat tidak murah dan berisiko politik.”
Debitor senior ini biasanya mempunyai peringkat kredit yang baik sehingga dipercaya bank. Meski demikian, ”dunia berubah”, baik secara sektoral maupun kemampuan perusahaan. Nama besar debitor mestinya tetap membuat analis kredit waspada dan tidak mengabaikan asas KYC tersebut.
Transaksi-transaksi secara afiliasi patut diwaspadai sebagai bagian dari transaksi fiktif atau transfer pricing untuk menghindari pajak. Tentu saja bank juga wajib memerhatikan kondisi sektoral, makroekonomi domestik, dan global yang bisa berdampak pada korporasi (mikro).
Disiplin yang tinggi pada proses pemberian kredit besar pada semua debitor, tak terkecuali debitor senior, menjadi pintu awal pencegahan, yang dilanjutkan dengan proses monitoring melalui pengamatan indikator-indikator peringatan (alarm) yang terus menerus, yang biasanya dikenal sebagai alarm dashboard.
Di sisi lain kewajiban debitor untuk melakukan lindung nilai (hedging) mestinya menjadi syarat perolehan kredit. Fasilitas lindung nilai tidak hanya melindungi nasabah dari potensi kerugian kurs tetapi juga melindungi perekonomian dari potensi bangkrutnya bank.
“Transaksi-transaksi secara afiliasi patut diwaspadai sebagai bagian dari transaksi fiktif atau transfer pricing untuk menghindari pajak.”
Meski pada siaran pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) untuk triwulan II-2019 menilai situasi pasar keuangan domestik makin kondusif, beberapa potensi gagal bayar kredit korporasi yang disertai peringatan Bank Dunia maupun McKinsey ini perlu menjadi kewaspadaan yang serius.
Indikator lainnya terkait dengan tingginya utang korporasi adalah indikator credit to GDP gap yang diumumkan Bank of International of Settlement (BIS) dengan nilai sebesar 6,4 pada akhir tahun 2018.
Nilai positif menunjukkan korporasi Indonesia mempunyai utang yang sangat tinggi dibandingkan kemampuan perekonomian menanggung utang tersebut (excessive leverage). Nilai dibawah nol (negatif) merupakan leverage yang aman.
Belajar dari sumber krisis yang terjadi selama ini biasanya krisis keuangan berawal dari utang yang tinggi, kerugian kurs, dan kasus gagal bayar yang membangkrutkan bank. Semoga saja gagal bayar utang beberapa korporasi belakangan ini tak menjadi sumber ‘api’ krisis yang bisa membakar perekonomian Indonesia.
(Lana Soelistianingsih Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia)
Sumber : Harian Kompas 03 September 2019