Dunia di Ambang Resesi?
Muhamad Chatib Basri
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Flavio namanya, seorang sopir taksi di Milan. Usianya belum lagi 40 tahun. Ia mengantar saya dari Bandara Malpensa di Milan ke Bellagio.
Dengan nada masygul ia mengeluh soal kondisi perekonomian yang kian sulit, khususnya di Italia. Ia tak menyebut apa penyebabnya. Kita tahu Italia masuk ke dalam resesi akhir 2018. Ekonomi Italia memang sedikit membaik triwulan lalu, tetapi dengan perekonomian yang mandek, dan utang lebih dari 130% terhadap PDB, Italia rentan kembali jatuh dalam resesi.
Saya tak tahu, apakah Flavio paham angka-angka itu, tetapi dia seperti jutaan penduduk dunia lain melihat masa depan dengan cemas. Dan kita mencatatnya, perang dagang AS-China, Brexit, perlambatan ekonomi global, dan ketegangan politik di Timur Tengah.
Saya ingat, hampir setahun lalu saya menulis artikel di harian ini “Musim Dingin atau Badai Salju” (29/10/2018). Waktu itu saya berharap saya salah. Sayangnya, kekhawatiran saya mulai terjadi.
Dampak dari perang dagang mulai terasa. Ekonomi dunia, termasuk Indonesia, mulai melambat. AS sendiri juga mulai melambat. The Fed memperkirakan probabilita resesi di AS naik jadi 35 persen. Tentu terlalu pagi untuk menyimpulkan ekonomi AS masuk ke dalam resesi.
Saya ingat obrolan saya dengan Janet Yellen, mantan Gubernur The Fed, di kantornya di Brookings Institution, Washington DC, April lalu. Ia mengatakan, ekonomi AS masih relatif kuat.
Ia tak melihat resesi di AS akan terjadi secepat bayangan orang. Ia juga mengatakan inverted yield (di mana obligasi jangka panjang memiliki imbal lebih rendah ketimbang obligasi jangka pendek) tak selamanya mencerminkan resesi seperti yang dikhawatirkan orang.
Dan benar, walau The Fed baru menurunkan bunga 25 basis poin, Gubernur The Fed Jerome Powell memperkirakan ekonomi AS masih kuat. Ia memberikan sinyal penurunan bunga lebih jauh mungkin belum dibutuhkan. Pasar agak kecewa dengan pernyataan ini. Mungkin karena pasar terlalu muram.
Kebijakan kontra-siklus
Lepas dari itu, kita di Indonesia sudah merasakan perlambatan ekonomi. Apa yang bisa kita lakukan? Pertama, dalam kondisi perlambatan ekonomi, pemerintah perlu melakukan kebijakan kontra-siklus.
Sayangnya, ruang dari fiskal kita tak banyak. Penurunan harga komoditas dan energi telah memukul penerimaan pajak. Akibatnya, defisit anggaran akan meningkat. Sayangnya peningkatan defisit ini tak memiliki dampak ekspansi (mendorong perekonomian) karena ia lebih disebabkan oleh menurunnya penerimaan. Studi saya dan Sjamsu Rahardja dari Bank Dunia menunjukkan, pengeluaran pemerintah justru bersifat pro-siklus (belanja pemerintah justru ikut menurun ketika pertumbuhan melambat).
Jika kebijakan fiskal pro-siklus, kita tak bisa berharap banyak ia akan mendorong pertumbuhan. Namun, studi itu juga menunjukkan, pengeluaran pemerintah di luar gaji dan subsidi bersifat kontra-siklus. Apa artinya? Kebijakan fiskal bisa efektif jika kualitas belanja diperbaiki dengan mengalokasikan anggaran lebih banyak pada belanja di luar gaji dan subsidi (misalnya belanja modal). Itu sebabnya, saya kira penting sekali bagi pemerintah untuk mengkaji ulang efektivitas belanja pemerintah selama ini.
Salah satunya efektivitas pengeluaran untuk dana pendidikan. Sejak 2009, kita mengalokasikan dana 20 persen dari APBN untuk pendidikan, hasilnya skor PISA (angka kemampuan siswa dalam membaca, matematika, dan sains) masih relatif sangat rendah. Peningkatan gaji guru tak berdampak signifikan pada perbaikan kualitas murid. Dan kita tahu, beban pengeluaran pemerintah terus bertambah untuk berbagai program bantuan sosial, seperti BPJS, kartu sehat, dan kartu prakerja.
Belum lagi risiko dari beban utang yang secara tak langsung bisa ditanggung pemerintah (contingent liabilities). Studi McKinsey menunjukkan risiko utang dari perusahaan Indonesia di bidang infrastruktur meningkat. BUMN yang tak memiliki uang kas yang cukup mencari sumber pembiayaan lewat utang. Dalam jangka menengah, ada risiko tekanan keuangan dan pemerintah harus menanggungnya.
Dalam kondisi seperti ini, penerimaan pajak harus ditingkatkan. Risalah saya bersama Ben Olken, Mayara Felix dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan Rema Hanna dari Harvard di National Bureau Economic Research (NBER), Agustus lalu, menunjukkan, faktor-faktor struktural ekonomi memang menghambat penerimaan pajak. Untuk memperbaikinya diperlukan reformasi jangka panjang. Namun, dalam jangka menengah-pendek, perhitungan kami menunjukkan perbaikan administrasi perpajakan dapat meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan.
Caranya? Salah satunya memindahkan pelayanan badan usaha dari kantor pajak reguler ke kantor pajak madya (MTO). Mengapa? Kami menduga kantor pajak reguler, karena keterbatasan sumber daya, cenderung memfokuskan diri pada wajib pajak (WP) dengan potensi pendapatan lebih tinggi. Keterbatasan sumber daya tak memungkinkan mereka mengawasi semua WP. Akibatnya, badan usaha besar sulit berkembang karena mereka takut akan pengenaan pajak yang lebih besar. Badan usaha juga mungkin kian menghindari membayar pajak seiring pertumbuhan skala perusahaannya. Jika dipindahkan ke MTO, dengan jumlah staf lebih banyak, perlakuan terhadap badan usaha menjadi lebih seragam. Beban pajak tidak hanya “ditanggung” oleh beberapa perusahaan yang besar. Akibatnya, mereka tetap bisa bertumbuh.
Kebijakan moneter
Kedua, bagaimana dengan kebijakan moneter? Dengan inflasi yang terkendali, dan kecenderungan The Fed untuk kebijakan bunga rendah, ruang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan bunga terbuka. Namun perlu diingat, penurunan bunga belum tentu akan efektif meningkatkan pertumbuhan. Mengapa? Jika permintaan terhadap barang dan jasa lemah, untuk apa dunia usaha meminta kredit dan melakukan ekspansi produksi.
Selain itu, studi yang saya lakukan menunjukkan, pembiayaan defisit anggaran melalui utang (obligasi) domestik pada tingkat tertentu akan memindahkan tabungan di perbankan ke obligasi pemerintah. Implikasinya, sumber untuk ekspansi kredit di perbankan menjadi terbatas sehingga jumlah investasi swasta yang bisa dibiayai perbankan pun terbatas. Inilah yang disebut crowding out effect. Dengan kondisi ini, likuiditas relatif ketat dan tak mudah bagi bank untuk melakukan ekspansi kredit.
Reformasi struktural
Ketiga, jika ruang kebijakan moneter dan fiskal terbatas, lalu apa yang bisa dilakukan? Jawabannya reformasi struktural: menghapuskan aturan yang berbelit, termasuk revisi UU Ketenagakerjaan. Dengan itu, gairah investasi akan meningkat dan kita dapat menarik manfaat dari perang dagang AS-China. Saya bisa mengerti kegusaran Presiden Joko Widodo karena dari 33 investasi yang meninggalkan China, tidak ada satu pun yang masuk ke Indonesia. Kita tahu infrastruktur yang buruk merupakan hambatan besar, tetapi hambatan utama kita adalah masalah regulasi dan institusi. Langkah pemerintah merevisi UU Ketenagakerjaan harus diapresiasi.
Sayangnya, sampai hari ini, revisi ini belum selesai. Saya tahu revisi ini sensitif secara politik. Untuk mengurangi resistensi politik, revisi UU ini harus dibarengi kompensasi bagi buruh dalam bentuk asuransi pengangguran. Sumbernya dari kontribusi perusahaan, pemerintah dan dari pekerja sendiri.
Reformasi struktural memang lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan. Kita bisa berkilah, Vietnam bisa mengambil manfaat dari relokasi ini karena memiliki sistem politik yang berbeda. Namun jangan lupa, relokasi juga terjadi ke Bangladesh, Malaysia, dan Thailand yang sistem politiknya lebih demokratis. Investasi masuk ke Vietnam karena mereka telah melakukan reformasi struktural yang drastis sebagai bagian dari usaha mereka agar bisa masuk dalam Trans-Pacific Partnership. Kita harus mengakui ketertinggalan kita.
Mendorong ekspor dan investasi
Keempat, kita mencatat usaha keras pemerintah mendorong ekspor dan investasi. Ini langkah yang benar. Salah satu ide yang muncul adalah menggabungkan Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Luar Negeri. Ini ide yang menarik. Diplomasi ekonomi harus menjadi bagian yang penting dari diplomasi luar negeri kita. Namun, yang harus diantisipasi, penggabungan dua kementerian dalam praktiknya tak selalu mudah. Penyesuaian budaya kerja dua institusi yang berbeda membutuhkan waktu. Sayangnya, kita tak punya waktu panjang. Jika resesi terjadi, birokrasi harus segera efektif. Tak banyak ruang bagi penyesuaian atau uji coba.
Kita mungkin tak segalau Flavio, sopir taksi dari Milan itu. Ekonomi kita masih bisa tumbuh 5 persen atau sedikit di bawah 5 persen. Ini harus diapresiasi. Namun, jika resesi terjadi, tekanan ekonomi akan semakin dalam. Kita tak boleh lengah. Amunisi kita untuk menghadapi resesi terbatas. Karena itu, prioritas kebijakan menjadi penting. Tak bisa semua hal dilakukan.
Kita memang tak secemas Flavio. Indonesia tak semuram Eropa. Tetapi baik kita ingat ucapan mantan Presiden AS Harry S Truman: resesi adalah ketika tetangga kita kehilangan pekerjaan. Namun, resesi akan menjadi depresi jika kita sendiri kehilangan pekerjaan
Sumber : Harian Kompas, 02 Oktober 2019