Lana Soelistianingsih: Alarm Utang Korporasi
Dalam laporan terkininya 30 September 2019, Moody’s menyimpulkan perbankan Asia Pasifik menghadapi naiknya risiko utang korporasi karena melemahnya kondisi makroekonomi.
Dalam stress test dengan mengasumsikan 25 persen penurunan EBITDA (Pendapatan Sebelum Pembayaran Bunga Utang, Pajak, Depresiasi, dan Cicilan pokok utang (amortisasi)), diperoleh hasil perbankan India dan Indonesia paling rentan terhadap memburuknya kemampuan pembayaran utang korporasi, diikuti Singapura, Malaysia, dan China. Utang korporasi itu terkonsentrasi pada korporasi dengan utang lebih dari 4 kali EBITDA-nya, sehingga menambah potensi risiko gagal bayar kalau kondisi operasional semakin melemah.
Peringatan serupa sebelumnya disampaikan McKinsey dan Bank of International of Settlement (BIS). Mc Kinsey dalam Asian Bond Stress Signal edisi Juli 2019 mengungkapkan ada tekanan pada sektor keuangan yang meningkat akibat utang korporasi yang tinggi saat ini.
Penelitian McKinsey menunjukkan rasio bunga yang harus dibayarkan (interest coverage ratio/ICR) di bawah 1,5 kali — ICR di bawah 1,5 kali menunjukkan kemampuan perusahaan membayar bunga adalah rendah— untuk Indonesia sebesar 32 persen dari utang jangka panjang korporasi. Angka ini ketiga tertinggi setelah India 43 persen, dan China 37 persen. ICR dihitung sebagai rasio EBITDA terhadap pembayaran bunga utang jangka panjang.
Sementara BIS menghitung kerentanan utang korporasi dengan menggunakan indikator credit to Gross Domestic Product gap, yaitu rasio yang mengukur besarnya kredit terhadap gap antara Produk Domestik Bruto (PDB) aktual dengan trennya. Rasio negatif artinya aman, sedangkan semakin besar angka positif akan semakin rentan. Untuk Indonesia skor mencapai 5,4, mendapat nilai positif yang artinya ada kerentanan meski trennya terus menurun.
Tak ayal ketika dua korporasi besar dalam dua tahun terakhir, yakni PT Sunprima Nusantara Pembiayaan dan PT Duniatex mencatatkan gagal bayar atas utangnya baik ke perbankan maupun obligasi, perhatian terhadap utang korporasi ini pun menjadi semakin penting.
Seberapa rawan?
Utang swasta Indonesia jika kita totalkan dengan menggunakan data Juni 2019 tercatat Rp 5.048,7 triliun, dengan rincian utang dari sektor perbankan Rp 2.782,7 triliun. Kredit tersebut untuk pembiayaan modal kerja dan investasi.
Sementara utang korporasi non finansial dalam bentuk surat utang (obligasi) sekitar Rp 180 triliun. Ditambah utang korporasi non finansial dari luar negeri dalam bentuk mata uang asing (valas) 149 miliar dollar AS atau setara Rp 2.086 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/dollar AS). Nilai ini setara sekitar 34 persen dari PDB tahun 2018. Rasio utang ini dikatakan masih cukup aman.
Hanya saja yang perlu diukur apakah utang itu mampu menghasilkan produksi/output yang tinggi sehingga korporasi punya kemampuan menghasilkan pendapatan lebih besar. Artinya korporasi masih sanggup membayar utangnya. Posisi Juni 2019 naik 11,8 persen secara tahunan dibandingkan Juni 2018 yang Rp 4.513,4 triliun. Sementara jika dibandingkan dengan pertumbuhan PDB nominal triwulan II-2019 naik 7,1 persen.
Meski kontribusi PDB tak hanya dari korporasi melainkan juga dari pelaku ekonomi seperti rumah tangga, pemerintah, dan pihak luar negeri namun pertumbuhan utang swasta ini jauh di atas pertumbuhan PDB nominal.
Gap yang cukup besar ini mengindikasikan utang korporasi tak cukup maksimal mendorong pertumbuhan produksi atau utang itu bisa jadi dipakai untuk menutup utang- utang sebelumnya yang jatuh tempo (refinancing atau gali lubang tutup lubang). Data BI yang tersedia untuk mengetahui penggunaan pinjaman untuk tujuan refinancing hanya bisa dilihat dari pinjaman luar negeri swasta.
Statistik Utang Luar Negeri sampai Maret 2019 masih memuat posisi pinjaman menurut tujuan penggunaan yang terbagi atas: 1) Modal Kerja; 2) Investasi; 3) Refinancing; 4) Lainnya. Dari empat tujuan ini penggunaan utang luar negeri swasta terbesar untuk investasi (37 persen), modal kerja (34 persen), refinancing 12 persen dan Lainnya 17 persen. Sayangnya data refinancing ini tak lagi dimunculkan setelah Maret 2019, padahal dari tujuan penggunaan bisa diketahui produktivitas penggunaan utang luar negeri swasta.
Jika yang terjadi ‘gali lubang tutup lubang’ sepatutnya pengambil kebijakan memonitor ketat penggunaan utang korporasi ini sebagai upaya antisipasi gagal bayar berlanjut. Data BI 2010- 2018 menunjukkan penggunaan utang luar negeri untuk tujuan refinancing tumbuh rata-rata 29 persen per tahun (CAGR).
Belajar dari krisis keuangan yang pernah dialami Indonesia 1997-1998, salah satu yang jadi sumber krisis adalah ketidakseimbangan tenor pinjaman dibandingkan penggunaan pinjaman. Dari komposisi utang luar negeri swasta (termasuk korporasi keuangan), 25 persen utang jangka pendek kurang dari satu tahun, dan sisanya 75 persen jangka panjang (tenor lebih dari satu tahun). Komposisi tenor ini masih bisa dikatakan terkendali walaupun tren porsi utang luar negeri swasta jangka pendek meningkat dari waktu ke waktu.
Potensi ke depan
Bagaimana menjaga agar beberapa indikator utang korporasi ini tetap aman dan terhindar dari perkiraan Moody’s. Kuncinya, menjaga agar EBITDA tak turun hingga 25 persen. EBITDA mencerminkan pendapatan korporasi. Pendapatan diperoleh sebagai hasil dari harga dan penjualan, yang melibatkan konsumen dan kondisi ekonomi makro yang kondusif. Di tengah isu pelemahan ekonomi global, risiko gagal bayar utang menjadi kian tinggi.
Siklus ekonomi yang melemah terlihat dari Purchasing Managers Index (PMI) untuk sektor manufaktur yang di banyak negara sudah di bawah level 50 yang artinya kontraksi, tak terkecuali Indonesia yang 49,2 pada September 2019. Kegiatan produksi global yang turun ini terbawa sentimen perang dagang AS-China. Perang dagang yang belum jelas ujungnya membuat ketidakpastian, baik di sisi konsumen maupun produsen. Dengan kondisi eksternal yang seperti ini, fokus pada permintaan domestik menjadi sangat penting, terutama pada konsumen.
Ketika konsumen punya keyakinan tinggi maka permintaan domestik masih terjaga. Konsumen Indonesia dikenal suka belanja tetapi data-data emiten sektor ritel kelas menengah menunjukkan perlambatan.
Tampaknya konsumen cenderung mengurangi belanja kebutuhan sekunder dan mengutamakan kebutuhan primernya, di antaranya karena ketidakyakinan terhadap kondisi ekonomi masa mendatang meski di saat yang sama ada perubahan perilaku konsumen dalam berkonsumsi. Pengambil kebijakan fiskal bisa membantu mengurangi ketidakyakinan ini melalui insentif fiskal untuk konsumen termasuk mempertimbangkan keringanan pajak dengan menaikkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP).
Di sisi lain perusahaan juga perlu berinovasi dalam mempertahankan pangsa pasar dengan mengutamakan volume dibandingkan harga. Perusahaan bisa membuat ukuran produk dengan harga yang lebih terjangkau dan mengikuti selera konsumen. Geliat kegiatan usaha ini juga perlu didukung oleh perbankan. Namun karakteristik perbankan justru pro-siklus karena tak ingin terjebak kredit macet. Padahal bank bisa membantu mengurangi potensi perlambatan ekonomi dengan tetap menyalurkan kredit pada korporasi yang bisa menjaga EBITDA-nya.
Di sisi moneter BI juga telah menurunkan suku bunga acuannya menjadi 5,25 persen hingga September lalu, dan masih berpeluang untuk turun di masa mendatang. Penurunan ini semestinya segera direspons bank untuk segera melakukan penyesuaian suku bunga kreditnya. Kerja sama semua pelaku ekonomi ini bisa menghindarkan ekonomi Indonesia dari potensi gagal bayar utang korporasi yang diperingatkan oleh Moody’s tersebut.
Lana Soelistianingsih, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
Sumber : Harian Kompas, 08 Oktober 2019