Ari Kuncoro: Lulusan UI Harus Miliki Interpersonal Skill
JAKARTA, – Rektor Terpilih Universitas Indonesia (UI) Periode 2019-2024 Profesor Ari Kuncoro menyatakan fokus pada pengembangan sumber daya manusia (SDM), agar lulusan UI mampu beradaptasi sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, mahasiswa yang lulus dari UI tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga harus memiliki interpersonal skill. “Sebagai rektor UI saya akan menyinergikan antarfakultas, kolaborasi dengan perguruan tinggi di luar negeri, dan menghasilkan lulusan yang tidak hanya pintar secara akademis tapi juga memiliki interpersonal skill,” kata Ari dalam perbincangan di kantor redaksi BeritaSatu Media Holdings, Jakarta, Rabu (9/10) malam.
Prof Ari menjelaskan, permasalahan perguruan tinggi di Indonesia adalah menjadikan nilai tinggi sebagai indikator. Padahal, setelah lulus kuliah, yang penting dalam dunia kerja adalah kemampuan team work. Sementara itu, metode belajar di Indonesia adalah instruksi satu arah. Hal penting lain yang semestinya dikuasai mahasiswa adalah bagaimana dia bisa berinteraksi, bersosialisasi, dan bernegosiasi dengan teman atau sesama. “Kami upayakan lulusan UI itu punya interpersonal skill. Sebab jumlah lulusan yang menjadi saintis itu hanya segelintir, tapi sebagian besar terjun ke masyarakat,” jelas Prof Ari yang akan dilantik sebagai rektor UI pada 20 Desember mendatang.
Menurut Ari, hal penting yang harus dikuasai mahasiswa adalah literasi dasar seperti matematika, bahasa, dan sains; literasi data; literasi teknologi; dan literasi kemanusiaan. Dia juga menjelaskan, UI perlu menjalin kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi di luar negeri dan lembaga-lembaga. Sebab, hampir semua lini baik di pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat kalau dilakukan secara sendiri-sendiri akan sulit terealisasi dengan baik. Kerja sama juga diperlukan agar UI semakin dikenal di luar negeri dan tentunya akan meningkatkan peringkat universitas. Dia mengibaratkan, kalau seseorang tidak pernah bersilaturahmi, maka tidak ada yang mengetahui keberadaan kita. Dia mencontohkan, misalnya ketika melakukan penelitian bersama dengan pihak dari Australian National University (ANU) yang akan menghasilkan suatu karya publikasi.
“Tapi pada saat saya membuat proposal, penelitian, dan di lapangan, itu kan terjadi proses engagement dengan pihak ANU. Nah, itu akan dilihat orang, ternyata saya tidak hanya pintar tapi juga memiliki interpersonal skill, akan dianggap memiliki kelebihan dari sekadar ilmuwan. Jadi semangat sekarang adalah kolaborasi, karena hampir tidak dapat dijumpai suatu artikel di jurnal ilmiah yang dibuat sendiri, tapi biasanya merupakan karya beberapa orang dan antarbangsa. Nah, untuk bisa seperti itu, kita harus meningkatkan kemampuan,” kata dia.
Di sisi lain, dalam hal biaya penelitian, dia mencontohkan model bisnis yang diterapkan di perguruan tinggi luar negeri adalah co-branding. Sebab, kalau semua kegiatan dibiayai universitas, biaya kuliah akan menjadi mahal. “Misalnya, co-branding endowed professorships of BeritaSatu. Apa yang bisa dilakukan BeritaSatu. Pertama, bisa menyumbang dari sebagian gaji profesor tersebut dan profesor itu harus bersedia membantu pengembangan BeritaSatu. Jadi ada co-branding Beritasatu dengan UI. Nah, publik akan melihat UI tidak lagi seperti menara gading. Di sisi lain, publik melihat BeritaSatu memiliki mitra akademis yang kuat untuk mendukung tugas-tugas jurnalisnya.
Di luar negeri model semacam ini biasa. Tapi di Indonesia, kerja sama perguruan tinggi dengan swasta dianggap tidak ilmiah,” ujar dia. Upaya lain yang perlu dilakukan adalah menjalin hubungan baik dengan diaspora yang ada di luar negeri. Menurut dia, banyak dari mereka yang menjadi ahli-ahli atau ilmuwan tetapi tidak pulang ke Tanah Air. Sebab, kalau pulang kebanyakan justru menjadi administrator karena fasilitas seperti laboratorium tidak memadai. Di sisi lain, jelas dia, diaspora bisa menjadi penghubung antara Indonesia dengan luar negeri. “Jadi yang diperlukan itu adalah suatu network dengan diaspora. Tiongkok, Thailand, Malaysia, dan Vietnam melakukan itu, sehingga dengan koneksinya bisa membina hubungan dengan perguruan tinggi di luar negeri.
Dengan demikian, perguruan tinggi di Vietnam yang tadinya kita tidak tahu, saat ini telah jadi bahan pembicaraan orang di berbagai negara,” jelas dia. Ari menambahkan, masalah utama yang perlu diperbaiki adalah mindset. Sebab, sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia masih terfokus pada pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Tapi belum ada passion untuk membuka diri ke dunia luar. Oleh karena itu, pemerintah membuat wacana program endowment yang gunanya dapat dipakai untuk operasional kegiatan eksternal. “Kalau begitu, yang kita butuhkan dari luar negeri itu bukan rektor asing, tapi profesor asing yang diminta mengajar karena kita bisa membayar. Profesor asing kan punya publikasi yang bisa di-browsing di internet, ini bisa mengharumkan nama perguruan tinggi,” kata dia.
Penulis: Thomas E Harefa
Sumber: Investor.id
Read more at: https://investor.id/national/ari-kuncoro-lulusan-ui-harus-miliki-interpersonal-skill