Kiki Verico : Antisipasi di Tengah Lesunya Ekonomi Dunia
Data 50 tahun terakhir menunjukkan bahwa tekanan ekonomi global semakin serius sejak krisis keuangan melanda dunia pada 2008. Ada dua alasan mengapa krisis keuangan ini serius. Pertama, krisis terjadi di pusat gravitasi ekonomi dunia karena melibatkan negara maju yang ukuran ekonomi dan pendapatannya besar. Amerika Serikat adalah sumber gravitasi ekonomi benua Amerika. Sementara negara-negara Eropa Barat adalah sumber gravitasi ekonomi benua Eropa, Afrika dan pecahan negara Uni Soviet.
Salah satu reaksi atas tekanan krisis ekonomi global adalah perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan Tiongkok sejak Maret 2018. Perang dagang ini menimbulkan dampak yang luas karena Tiongkok merupakan salah satu pusat gravitasi ekonomi Asia bersama Jepang, Korea Selatan dan India.
Alasan kedua adalah berakhirnya rezim nilai tukar tetap sehingga perang dagang berpotensi berubah menjadi perang mata uang demi menjaga harga jual ekspor tetap murah pasca melonjaknya hambatan perdagangan. Kondisi ini semakin berbahaya bagi ekonomi global karena mata uang merupakan salah satu variabel ekonomi makro yang tidak stabil.
Kestabilan nilai tukar Rupiah terhadap mata uang Amerika Serikat dipengaruhi oleh arus masuk dan keluar investasi. Saat ekonomi Amerika Serikat mengalami konstraksi dan suku bunga dollar Amerika turun, arus modal dari negara maju masuk ke negara berkembang termasuk Indonesia. Hal ini akan memperkuat nilai tukar Rupiah terhadap dollar Amerika.
Investasi fisik dari luar negeri seperti pendirian pabrik maupun investasi jangka pendek berupa pembelian saham dan surat utang dibutuhkan untuk menutupi kesenjangan antara kebutuhan investasi dan kemampuan menabung. Sepanjang investasi masuk ke Indonesia dan neraca transaksi modalnya surplus, defisit neraca transaksi berjalan ini tidak akan mengurangi cadangan devisa.
Namun, ketergantungan ekonomi pada arus modal saat ekspor melemah hanya akan membuat ekonomi Indonesia rentan terhadap pelemahan ekonomi dunia dan perang dagang. Ā Pelemahan ekspor ini dipicu oleh turunnya harga komoditi primer seperti minyak dan gas, batu bara, sawit, dan karet. Di sisi lain, Indonesia masih bergantung pada impor bahan baku, peralatan dan mesin yang dipakai dalam proses produksi. Akibat pelemahan ini, neraca transaksi berjalan defisit US$ 1,5 miliar dari Mei hingga Juli 2019, sementara cadangan devisa nasional justru naik sekitar US$ 6 miliar.
Lalu, bagaimana cara Indonesia meredam dampak pelemahan ekonomi dunia tahun depan?
Pertama, meningkatkan peran usaha kecil menengah yang kreatif dan inovatif. Joseph Schumpeter, ekonom seangkatan Keynes, mengusulkan bahwa ekonomi sebaiknya dibangun dari keterbukaan (inclusiveness) sehingga tanpa harus memiliki modal besar semua orang dapat memulai usaha.
Schumpeter menjelaskan dua modal utama usaha adalah kewirausahaan yang pada awalnya ia sebut sebagai ākepemimpinanā dan ākreatifitasā yang mengubah (creative destruction) yang kemudian dikenal sebagai kreatifitas yang menggugah (creative disruption). Schumpeter menulis tiga buku untuk mendukung ide ini. Namun pamornya kalah dari buku Keynes yang berjudul the General Theory of Employment, Interest and Money. Bagi Keynes, modal besar, usaha multinasional, dan jaringan global adalah kunci ekonomi makro. Ā Selama puluhan tahun pemikiran Keynes menguasai dunia. Bila terjadi krisis maka yang harus melakukan mitigasi adalah pemerintah dengan kebijakan ekspansi fiskal (counter cyclical) dan bantuan likuiditas keuangan (bailout).
Pemikiran Keynes lebih populer ketimbang Schumpeter karena pada saat itu dunia baru memasuki revolusi industri 2.0. Proses produksi dilakukan oleh pabrik-pabrik besar lintas negara dengan metode otomatisasi mesin listrik. Namun, setelah dunia memasuki revolusi industri 3.0 yang ditandai dengan kelahiran komputer dan revolusi industri 4.0 yang ditandai dengan internet dan ekonomi digital, pemikiran Schumpeter mulai terbukti benar. Fungsi pemerintah untuk pemerataan informasi dan mencegah persaingan usaha yang tidak sehat dapat diselesaikan melalui mekanisme pasar di dalam platform digital.
Zaman sudah berubah. Bisnis skala kecil juga bisa memiliki jaringan kerja sama dan pasar yang luas seperti halnya bisnis skala multinasional. Usaha kecil bisa berdaya saing global seperti beberapa contoh usaha mikro nasional yang berhasil menembus pasar internasional. Kunci keberhasilan dalam dunia ekonomi yang sangat dinamis seperti saat ini adalah kreatifitas dan inovasi, bukan modal. Membangun infrastruktur, sistem logistik dan jaringan informasi komunikasi adalah fungsi pemerintah yang sangat penting bagi dunia industri termasuk industri digital dan fungsi ini tidak bisa digantikan oleh swasta.
Kedua, mengoptimalkan kerjasama ekonomi bilateral. Strategi negosiasi ekonomi global akan bergeser dari multilateral dan kawasan menuju bilateral. Negosiasi ekonomi bilateral lebih beresiko dibandingkan negosiasi multilateral atau kawasan karena di dalam bilateral, sebuah negara harus bernegosiasi langsung, head to head, dengan negara mitranya. Dalam model negosiasi yang penulis bangun dari 15 variabel makroekonomi terlihat bahwa kerjasama bilateral akan menguntungkan Indonesia untuk menarik investasi asing dan mengembangkan pasar ekspor nasional. Sampai saat ini seluruh kerjasama bilateral Indonesia, baik yang sudah dijalankan maupun yang sudah selesai negosiasinya dan akan diratifikasi di parlemen, berpotensi memberikan manfaat bagi Indonesia. Syaratnya, setiap kerjasama bilateral Indonesia harus didukung dengan analisis empiris sehingga semua skenario yang akan terjadi dapat terdeteksi dan diantisipasi sejak dini.
Selain dua hal di atas, Indonesia memiliki catatan yang harus terus diperbaiki terutama bila ekonomi dunia melemah cukup lama. Pertama, harmonisasi kebijakan ekonomi dari hierarki tertinggi (undang-undang) hingga terendah (peraturan daerah). Indonesia harus memiliki gambaran besar dan analisis keterkaitan untuk setiap produk hukum yang dihasilkan. Gambaran besar diperlukan agar produk hukum konsisten dan saling melengkapi untuk mencapai satu tujuan bukan saling bertentangan. Konsistensi dan harmonisasi kebijakan diperlukan untuk menjamin kepastian dan kenyamanan bagi para investor dan pengusaha baik domestik maupun asing untuk berusaha di Indonesia.
Kedua, menjaga iklim usaha yang sehat. Seluruh faktor yang menghambat investasi dan perdagangan internasional Indonesia harus terus diidentifikasi dan dievaluasi secara jelas. Tidak hanya hambatan, pemberian insentif bagi para investor, eksportir dan importir, juga harus dilakukan secara cermat. Kecermatan dibutuhkan agar setiap insentif dari APBN tepat sasaran dan sesuai kebutuhan dunia usaha.
Ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam jangka pendek, yang dibutuhkan adalah peningkatan kualitas pendidikan vokasi dan dalam jangka panjang adalah peningkatan kualitas kurikulum SD hingga SMU serta kualitas perguruan tinggi. Peningkatan kualitas SDM harus dilakukan secara konsisten melibatkan peran pemerintah, pengusaha, akademisi, organisasi masyarakat dan media.
Untuk dapat bertahan di tengah lesunya ekonomi global, Indonesia harus mengoptimalkan kekuatan ekonomi domestiknya. Kebutuhan konsumsi rumah tangga yang menguasai 59% Produk Domestik Bruto (PDB) idealnya dipenuhi dari dalam negeri termasuk melalui pemanfaatan ekonomi digital. Hal ini akan mendorong ekonomi domestik untuk tumbuh mengimbangi kelesuan ekonomi global. Di pasar dunia, Indonesia dapat mengoptimalkan manfaat perdagangan dan investasi melalui negosiasi bilateral yang strategis didukung analisis empiris.
Sebelum memiliki pasar keuangan yang kuat, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Indonesia harus terlebih dulu unggul di pasar dalam negeri, manufaktur nasional unggul di pasar luar negeri, dan jasa lokal mulai melayani permintaan global. Bila ini tercapai, otomatis Indonesia akan semakin menarik bagi para investor sehingga pasar uangnya semakin dalam, nilai tukar dan ekonominya semakin stabil.
Kiki Verico Wakil Kepala LPEM UI dan Dosen FEB UI
Sumber: Majalah Tempo 09-15 Desember 2019