Toto Pranoto : Prospek BUMN 2020
TAHUN 2019 segera berlalu. Bagaimana kinerja BUMN sepanjang 2019 dan tantangan apa yang dihadapi pada 2020? Itulah mungkin sebagian pertanyaan publik yang rindu dengan kejayaan perusahaan negara di masa depan.
Merujuk laporan Menteri BUMN Erick Thohir di depan DPR pada awal Desember 2019, disebutkan total laba 142 BUMN mencapai Rp210 triliun pada 2018. Namun, hanya 15 perusahaan BUMN yang memiliki kontribusi terbanyak dari total pendapatan itu. Laba yang bisa dihasilkan kurang lebih Rp210 triliun, tapi 76% lebih dari 15 perusahaan BUMN saja. Artinya, BUMN masih dalam kondisi pareto (tidak optimum).
Belum lagi sepanjang semester 2 pada 2019 ini publik dikejutkan dengan beberapa kado pahit dari BUMN. Mulai penangkapan beberapa Dirut dan Direksi BUMN oleh KPK, skandal penyelundupan di pesawat baru Garuda, sampai dengan meledaknya mega skandal Jiwasraya. Tentu bukan hal yang menggembirakan. Akan tetapi, semangat perubahan ke arah yang lebih baik harus tetap digelorakan. Mulai dari mana?
Mapping BUMN
Kalau dilihat dari total 142 BUMN yang ada saat ini, mungkin bisa dikelompokkan dalam 4 kuadran yang berbeda. Apabila sumbu vertikal ialah manfaat BUMN buat publik dan sumbu horizontal ialah tingkat kesehatan BUMN, yang akan diperoleh kuadran 1 ialah manfaat publik masih besar dan tingkat kesehatan positif, kita sebut kuadran contributor.
Kuadran ke-2, manfaat publik masih tinggi, tapi tingkat kesehatan negatif. Maka itu, dibutuhkan restrukturisasi supaya sehat kembali dan bisa berpindah ke kuadran contributor.
Kuadran ke-3, manfaat publik sudah menurun (karena sudah di take over badan usaha lain, terutama sektor swasta) dan tingkat kesehatan juga buruk. Maka itu, solusinya di likuidasi (spin off).
Kuadran ke-4, manfaat publik sudah menurun, tapi tingkat kesehatan masih prima, maka sebaiknya segera diversifikasi usaha ke bidang baru yang masih bertumbuh. Berdasarkan mapping tersebut, terlihat jumlah contributor relatif sedikit (misal, perbankan, telekomunikasi, serta pertambangan minyak dan gas).
Jumlah di kuadran 2 relatif lumayan banyak. Di situ berkumpul beberapa giants, seperti KS, PTDI, PAL, dan GIA. Sialnya, sebagian besar BUMN lainnya berkumpul di kuadran 3. Inilah pemicu terjadinya kondisi pareto di BUMN.
Kuadran ini istilahnya ‘hidup segan, mati tak mau,’ jadi serba repot. Sebagian sudah menjadi pasien PT PPA (Perusahaan Pengelola Aset) sejak beberapa tahun terakhir. Misalnya, PT Industri Sandang, PT Kertas Kraft Aceh, PT Iglas, PT Survey Udara Penas, PT Primissima, dan lain-lain. Panjang sekali daftarnya. Pertanyaannya, BUMN di kuadran 3 ini harus diapakan?
Sesuai UU BUMN No 19/2003 di Pasal 72 dan 73 tentang Restrukturisasi dan Privatisasi, dikenal beberapa opsi untuk restrukturisasi. Akan tetapi, opsi likuidasi tidak dibunyikan dengan cukup jelas atau bahkan tidak dibahas sama sekali.
Kementerian BUMN di era Rini Soemarno juga sudah memetakan masalah di kuadran 3 ini. Namun, juga belum ada penyelesaian tuntas karena perlu didiskusikan dengan DPR dan faktanya hampir 3 tahun di masa kepemimpinannya yang bersangkutan tidak pernah bisa datang ke DPR.
Menurut saya, kalau revisi UU 19/2003 masih akan dilakukan, opsi restrukturisasi harus diperluas, termasuk kemungkinan likuidasi BUMN. Hal ini bisa berdampak positif karena akan mengurangi span of control Kementerian BUMN dalam monitoring sekaligus membawa BUMN fokus pada bidang usaha yang betul-betul masih dibutuhkan publik dan mereka bisa berkinerja secara optimal.
Terkait restrukturisasi ini, pengaturan terkait pendirian anak perusahaan BUMN juga perlu diatur secara eksplisit. Dalam UU 19/2003, tidak diatur sama sekali tentang pendirian anak perusahaan BUMN. Akibatnya, terjadi ‘bom waktu’ saat ini, yang mana sudah terdapat hampir 800 anak/cucu BUMN dan sebagian besar merugi. Rencana revisi UU 19/2003 tentang BUMN wajib mengatur hal ini dengan lebih saksama.
Masalah lainnya yang juga kritikal ialah bagaimana proses deeselonisasi di Kementerian BUMN akan meningkatkan layanan dan efisiensi? Kebijakan untuk memotong layers birokrasi sampai dengan eselon 2 saja tentu akan memangkas jabatan cukup banyak di level eselon 3 dan 4. Mereka berarti harus beralih fungsi menjadi pejabat fungsional.
Bagaimana transformasi birokrasi harus dijalankan sehingga masa transisi berjalan dengan mulus? Diperlukan langkah strategis, terutama proses enrichment dan upskilling, di lingkup eselon pelaksana sehingga mereka tetap bisa produktif.
Keinginan Presiden Jokowi untuk membawa BUMN Indonesia sebagai pemain global apakah bisa terwujud? Dalam konteks organisasi, pengelolaan BUMN di Indonesia berbeda dengan model pengelolaan BUMN di Malaysia dan Singapura. Kedua negara ini mengelola BUMN di bawah kendali super holding company (SHC), yaitu Khazanah di Malaysia dan Temasek di Singapura. Tidak ada kantor Kementerian BUMN di kedua negara tersebut.
Secara kinerja, kemampuan Temasek sangat luar biasa. Pada 2018 total aset mereka telah mencapai US$342 miliar dan keuntungan sebelum pajak (EBT) sebesar US$10,4 miliar.
Mengapa BUMN Indonesia relatif kalah cepat bersaing dengan mereka? Terdapat beberapa kemungkinan penyebabnya. Pertama, kemungkinan kesulitan menerjemahkan dual fuction BUMN sebagai agen pembangunan plus fungsi komersial.
Keruwetan ini sering menimbulkan kegamangan bagi BUMN persero yang harus mengorbankan kepentingan komersial untuk kepentingan tugas negara (PSO). Sebagai perbandingan, di Malaysia, fungsi BUMN yang berat dengan urusan PSO dikelola kementerian teknisnya, tidak bergabung di Khazanah.
Kelemahan kedua ialah rendahnya kualitas tata kelola perusahaan (GCG). Maraknya kasus korupsi BUMN akhir-akhir ini membuktikan hal tersebut. Kualitas integritas sebagian pemimpin BUMN dan pengawasan dari dewan komisaris terlihat lemah. Di Temasek, mereka merekrut banyak top level eksekutif dunia sebagai non executive director yang berfungsi sebagai penyeimbang pihak yang menjalankan operasi perusahaan.
Harapan ke depan
Hasil mapping BUMN ini secara sepintas akan membuat keputusan Kementerian BUMN dalam membuat grand design BUMN ke depan menjadi lebih mudah, baik dari sisi target kinerja BUMN yang lebih baik maupun keinginan menjadikan BUMN sebagai pemain kelas dunia.
Diperlukan langkah koordinasi yang lebih lincah antara Kementerian BUMN, DPR, dan stakeholder lainnya supaya pengambilan keputusan bisa lebih cepat dan berdampak positif bagi pemberdayaan BUMN ke depan.
Gebrakan Menteri BUMN Erick Thohir di masa awal kepemimpinannya telah menuai cukup apresiasi. Utamanya, terkait dengan upaya perbaikan tata kelola dan pemberdayaan dewan komisaris. Catatan saya supaya upaya ini bisa dilakukan lebih masif dan dikerjakan secara konsisten tanpa tebang pilih. Karena itu, trust masyarakat terhadap BUMN terbentuk makin tebal. Ini akan memudahkan langkah berikutnya dalam melakukan transformasi internal di setiap BUMN.
Dengan melihat landscape persaingan bisnis saat ini, maka upaya membuat BUMN menjadi organisasi bisnis yang agile, adaptif, serta berorientasi global perlu segera dilaksanakan.
Dengan arah yang jelas dan leadership yang kuat di Kementerian BUMN, diharapkan cita-cita tersebut dapat terwujud. Namun, tentu perlu juga dukungan seluruh stakeholder karena dengan ekosistem bisnis mereka yang sehat, akan mendorong BUMN menjadi lebih kuat dan kompetitif.