Ari Kuncoro : Ekonomi Politik UU Sapu Jagat
OMNIBUS LAW
Undang-undang sapu jagat bertujuan untuk menggenjot investasi. Yang tidak boleh dilupakan, RUU ini juga memengaruhi konsumsi masyarakat melalui ekspektasi pendapatan rumah tangga pekerja sektor formal di masa depan.
Kecepatan yang terlalu rendah akan membuat suatu pesawat jatuh (“stall”). Demikian juga perekonomian membutuhkan kecepatan minimum untuk dapat memberikan nilai tambah, kesempatan kerja dan devisa.
Data pertumbuhan ekonomi menunjukkan bawa selama lima tahun terakhir ini Indonesia memasuki kecepatan jelajah 5 persen per tahun. Besaran ini sudah cukup untuk menempatkan Indonesia di posisi kedua kelompok negara-negara G20. Pertumbuhan ini sesuai dengan konsep kurva Philip di mana ada keseimbangan antara pertumbuhan dan inflasi untuk menjaga daya beli.
Namun, tetap ada aspirasi agar Indonesia tumbuh lebih cepat untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa untuk tumbuh dalam kisaran 5,3 sampai 5,5 persen saja diperlukan pertumbuhan investasi antara 8 sampai 9 persen. Sementara untuk pertumbuhan yang lebih tinggi dari itu diperlukan pertumbuhan investasi di atas 10 persen (double digit).
Perhitungan kasar menunjukkan bahwa untuk tumbuh dalam kisaran 5,3 sampai 5,5 persen saja diperlukan pertumbuhan investasi antara 8 sampai 9 persen.
Keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah
Pertanyaannya adalah mengapa pertumbuhan investasi dalam kurun waktu 2015-2019 tidak pernah lebih dari 7,94 persen per tahun. Jawabannya adalah pada indikator daya saing Indonesia (Global Competitiveness Report 2019) yang dikeluarkan oleh World Economic Forum. Laporan tersebut mencatat bahwa peringkat daya saing Indonesia menurun dari posisi 45 ke-50. Kendati demikian, tetap lebih tinggi dari Filipina (64)), Vietnam (67), India (68) dan Laos (113), akan tetapi di bawah Malaysia (27) dan Thailand (40).
Penyebabnya adalah penurunan atau paling tidak stagnasi beberapa indikator penting. Prosedur perizinan yang berbelit-belit tercermin dari waktu untuk memulai bisnis yang menduduki peringkat ke-103. Biaya untuk memulai usaha mendapat peringkat ke-67. Indikator kesehatan menempati peringkat ke-96 dari 141 negara terutama karena angka harapan hidup Indonesia menempati posisi ke-95.
Tingkat pendidikan tenaga kerja yang sebagian besar masih pada tingkat sekolah dasar menyebabkan Indonesia mendapatkan peringkat ke-92 untuk lama sekolah. Berita baiknya, kecakapan tenaga kerja sekarang masih menduduki peringkat ke-36 walaupun skornya cenderung menurun karena kemampuan digital yang masih rendah.
Pasar tenaga kerja mendapatkan penilaian rendah karena terlalu kaku sehingga hanya menempati posisi ke-119. Kelemahan mendasar kemampuan inovasi yang menempati tempat ke-74, ditambah dengan penelitian dan pengembangan atau R&D (peringkat 83).
Tingkat pendidikan tenaga kerja yang sebagian besar masih pada tingkat sekolah dasar menyebabkan Indonesia mendapatkan peringkat ke-92 untuk lama sekolah.
Faktor-faktor yang membuat Indonesia tetap sebagai suatu perekonomian yang menjanjikan adalah inflasi yang menduduki peringkat ke-1 untuk stabilitas makro. Faktor lain yang sukar untuk ditandingi oleh negara-negara lain adalah besarnya pasar dalam negeri yang menduduki peringkat ke-7.
Infrastruktur transportasi mendongkrak posisi Indonesia karena membaik dan menduduki peringkat 28. Namun infrastruktur lain belum terlalu menggembirakan. Misalnya, listrik, gas, air minum dan sanitasi yang menduduki peringkat 103 dengan skor 87,5 untuk akses listrik, 85,6 untuk kualitas listrik.
Gambaran di atas membuat Indonesia cukup prospektif akan tetapi jika dilihat dari komposisi investasi yang menonjol adalah modal portopolio jangka pendek. Bagi pemodal untuk membuat komitmen jangka panjang mendirikan pabrik masih terganjal banyaknya hambatan di lapangan, mulai tumpang tindihnya regulasi perizinan sampai pasar tenaga kerja yang dipersepsikan tidak terlalu fleksibel.
Arus modal portopolio ini memang meningkatkan likuiditas perekonomian sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan melalui konsumsi masyarakat dengan wealth effect. Namun, sedikit sekali dari wealth effect yang menjelma menjadi kapasitas produksi. Hanya investasilah yang mempunyai efek pada peningkatan permintaan agregat dan kapasitas produksi sekaligus.
Jika tidak ada kondisi luar biasa yang menyebabkan pembalikan arus modal sisi permintaan perekonomian Indonesia akan cukup likuid untuk membuatnya tumbuh dengan rerata 5 persen dengan memanfaatkan stabilitas makro dan besarnya pasar domestik. Namun, kapasitas produksi dalam negeri yang ada tidak cukup untuk tumbuh tinggi lebih dari 5,3 persen tanpa membuat perekonomian menjadi terlalu panas (overheating) berupa inflasi yang membubung dan defisit neraca berjalan yang membengkak yang boleh jadi akan melebihi 4 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Probabilita Indonesia untuk tumbuh secara signifikan di atas 5 persen di tahun-tahun mendatang dengan menggunakan resep business as usual yang sudah berjalan selama ini tampaknya tidak terlalu menjanjikan (Resosudarmo dan Abdurohman [2018]).
Bahkan guncangan eksternal seperti perang dagang, virus corona dan lain-lain dapat membawa Indonesia ke ekuilibrium pertumbuhan yang lebih rendah yang tidak cukup untuk menciptakan kesempatan kerja bagi warga negaranya. Wabah virus corona diperkirakan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi China dari 6 persen ke 3,5 persen.
Wabah virus corona diperkirakan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi China dari 6 persen ke 3,5 persen
Data time-series menunjukkan setiap 1 persen penurunan Cina akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,2 persen. Berarti pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tergerus dari 5 persen seperti sekarang ke 4,5 persen. Suatu besaran yang belum pernah dialami Indonesia dalam lima tahun terakhir ini.
Untuk meningkatkan potensi pertumbuhan diperlukan skala deregulasi ekonomi seperti pertengahan tahun 1980-an, ketika Indonesia harus membebaskan diri dari ketergantungan terhadap ekspor minyak dan mengembangkan sektor-sektor di luar minyak sebagai basis penciptaan nilai tambah, kesempatan kerja dan penghasil devisa (Kuncoro dan Resosudarmo[2006]). Setelah deregulasi pertumbuhan ekonomi melonjak dari 2,53 persen di tahun 1985 menjadi 7,24 persen di tahun 1990. Hasilnya, rerata pertumbuhan antara tahun 1987 dan 1993 mencapai 6,4 persen per tahun.
Rekonfigurasi perekonomian
Dengan berjalannya waktu setelah 35 tahun, efek dari deregulasi ekonomi akan pudar dengan perkembangan teknologi, perubahan struktur ekonomi, demografis dan tingkah laku masyarakat. Selain itu terjadi state capture pada tingkat nasional dan daerah melalui regulasi yang berlebihan yang kemudian membebani perekonomian.
Krueger (1974) dan Sheleifer (1993) menjelaskan bahwa birokrasi dan regulasi dibuat untuk meningkatkan kesejahteraan. Namun, dalam praktiknya karena birokrasi memegang monopoli atas pembuatan peraturan, regulasi dapat dikustomisasi, dipersulit dibuat lebih lama untuk menarik rente dan bukan untuk melakukan pengawasan. Dengan tidak jelasnya kapan izin dapat diperoleh maka ada saja yang bersedia membayar pungutan untuk memotong jalur birokrasi (Kuncoro, 2004).
Pengalaman dari berbagai negara, menunjukkan tingginya biaya masuk ke dunia politik juga menjelaskan kenapa regulasi baik di tingkat nasional maupun daerah dikustomisasi (Sheleifer dan Vishny [1994] dan Henderson dan Kuncoro [2011]). Secara tidak langsung Burgess et al (2012) mengonfirmasi hal ini dengan meningkatnya tingkat penggundulan hutan dengan makin banyaknya yurisdiksi politik Daerah Tingkat (Dati) II yang baru setelah tahun 2000.
Yang tidak boleh dilupakan, RUU ini juga memengaruhi konsumsi masyarakat melalui ekspektasi pendapatan rumah tangga pekerja sektor formal di masa depan.
Untuk meningkatkan pendapatan di masa depan maka mesin pertumbuhan harus diperkuat terlebih. Investasi untuk periode 2016-2019 mengambil porsi 32,6 persen dari PDB, lebih kecil dari konsumsi masyarakat, namun perbedaannya investasi berperan dalam menciptakan kapasitas produksi untuk pendapatan rumah tangga di masa depan.
Seperti yang sudah ditegaskan di media massa, ruang untuk perbaikan tetap terbuka masih cukup waktu untuk masyarakat dan pemangku kepentingan untuk memberi masukan sebelum RUU disahkan menjadi undang-undang.
(Ari Kuncoro Rektor Universitas Indonesia)
Sumber : Kompas, 26 Februari 2020