MM FEB UI dan Bank Indonesia Hadirkan Kuliah Umum Makroprudensial
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
JAKARTA – Magister Manajemen FEB UI bekerjasama dengan Bank Indonesia mengadakan Kuliah Umum dengan tema “Kebijakan Makroprudensial Akomodatif Mendorong Pembiayaan Perekonomian” di Auditorium MM, Salemba, pada Jumat (6/3/2020).
Kuliah umum ini dibuka oleh Ketua Departemen Manajemen FEB UI, Arief Wibisono Lubis, yang mengatakan, FEB UI khususnya S-2 Magister Manajemen, berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas & wawasan para mahasiswanya, antara lain dengan mengadakan rangkaian kuliah umum yang disampaikan oleh pemimpin bisnis maupun pembuat kebijakan dalam bidang ekonomi dengan tujuan menyiapkan pemimpin yang memiliki tanggungjawab sosial dan mampu menghadapi perubahan global.
Materi kuliah umum yang disampaikan adalah ‘Kebijakan Makroprudensial Akomodatif dalam Menjaga Momentum Pertumbuhan Ekonomi dan Stabilitas Sistem Keuangan’ dan ‘Perkembangan Stabilitas Sistem Keuangan Provinsi DKI Jakarta’, dimoderatori oleh Zaafri Ananto Husodo selaku Sekretaris Program Studi PPIM FEB UI.
Kebijakan Makroprudensial Akomodatif dalam Menjaga Momentum Pertumbuhan Ekonomi dan Stabilitas Sistem Keuangan
Asisten Gubernur Bank Indonesia untuk Departemen Kebijakan Makroprudensial, Juda Agung sebagai pemateri, memaparkan bahwa tiga pilar kebijakan Bank Indonesia ialah kebijakan moneter untuk menjaga kestabilan nilai Rupiah, kebijakan makroprudensial untuk kestabilan sistem keuangan (UU 9/2016 PPKSK, UU 9/2016 PPKSK, PBI 16/11/PBI/2014 Pengaturan & Pengawasan Makroprudensial, PDG 17/17/PDG/2015 Kerangka Kebijakan Makroprudensial), dan kebijakan sistem pembayaran untuk kelancaran transaksi keuangan dan transmisi kebijakan moneter.
Makroprudensial berfokus pada sistem keuangan secara keseluruhan dan mempunyai dimensi bersifat time series, yaitu over optimis di saat ekonomi ekspansi dan over pesimis di saat ekonomi kontraksi), serta cross section, yaitu sektor keuangan interconnected satu sama lain. “Elemen-elemen makroprudensial terdiri dari perbankan, korporasi, infrastruktur keuangan, rumah tangga, IKNB, dan pasar keuangan,” kata Juda Agung.
Kebijakan makroprudensial sangat diperlukan dalam mendorong bank agar menjalankan fungsi intermediasi sesuai kapasitasnya dengan memberi arahan mengenai pembiayaan yang optimal, berupa kisaran Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM), dengan memitigasi risiko akibat under atau over financing oleh perbankan melalui Giro RIM.
“Bank yang tidak menjalankan perannya sebagai lembaga intermediasi (under-financing) berpotensi menimbulkan risiko sistem keuangan. Selain itu, bank yang terlalu agresif memberikan pembiayaan (overfinancing) juga berpotensi menimbulkan risiko sistem keuangan,” jelasnya.
Lanjut Juda, maka bauran kebijakan makroprudensial yang dilakukan oleh BI, adalah di antaranya melalui penyempurnaan RIM/RIM syariah dengan menaikkan kisaran batas RIM dari 80%-92% menjadi 84%-94% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Maret 2019 dan menambahkan komponen pinjaman/pembiayaan yang diterima bank, dan sebagai komponen sumber pendanaan pada RDG bulan September 2019 (berlaku 2 Desember 2019), pelonggaran ketentuan Loan To Value/Financing To Value untuk kredit/pembiayaan properti sebesar 5%, serta uang muka untuk kendaraan bermotor pada kisaran 5% – 10%.
Perkembangan Stabilitas Sistem Keuangan Provinsi DKI Jakarta
Pemateri kedua, Direktur Eksekutif Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta, Hamid Ponco Wibowo, menyampaikan bahwa stabilitas sistem keuangan DKI Jakarta sangat terjaga, tercermin dari rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) berdasarkan lokasi proyek yang tetap rendah yakni 1,72%.
Sementara, Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan banyak disalurkan untuk membiayai kredit di luar Jakarta terlihat dari indikator lokasi bank sebesar 95,47%, lebih tinggi dari lokasi proyek sebesar 62,42% serta tingginya kontribusi DPK Jakarta terhadap Jawa dan Nasional. Selain itu, pertumbuhan kredit mengalami perlambatan dibanding tahun sebelumnya. Pada 2019 kredit lokasi proyek tumbuh sebesar 5,30% (yoy) melambat dari tahun 2018 sebesar 12,39% (yoy).
“Sejalan dengan pertumbuhan kredit secara umum di DKI Jakarta, kinerja kredit UMKM pada triwulan IV 2019 juga mengalami perlambatan. Maka, pemerintah Provinsi DKI Jakarta berfokus memajukan UMKM dengan kebijakan program pengembangan klaster terhadap perikanan budidaya di Kepulauan Seribu, bantuan demplot cabai, UMKM go-ekspor, go-digital, go-tourism, go-halal, dan syariah,” imbuh Hamid Ponco Wibowo.
Perbankan di DKI Jakarta masih optimis bahwa pertumbuhan kredit 2020 akan meningkat. “Berdasarkan hasil survei perbankan yang dilakukan di DKI Jakarta, sebagian besar perbankan belum mencapai target pertumbuhan kredit pada tahun 2019, namun masih optimis pertumbuhan kredit pada tahun 2020 akan meningkat. Penyaluran kredit korporasi pada tahun 2020 masih diprioritaskan pada sektor utama. Relaksasi LTV berdampak positif, namun harga jual properti yang cukup tinggi masih belum sebanding dengan daya beli masyarakat,” tutupnya. (hjtp)