Ari Kuncoro: Kampus Merdeka Mempersiapkan Orang Jangan Kaku
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Rektor Universitas Indonesia, Ari Kuncoro merilis tulisan yang dimuat pada koran Tempo, edisi Akhir Pekan 26 – 29 Maret 2020, rubrik Tamu, halaman 20-21, yang berjudul “Kampus Merdeka Mempersiapkan Orang Jangan Kaku”.
Inilah artikel yang kami kutip, bahwa murah senyum, suka berkelakar, dan visioner. Gambaran itu dengan mudah tertangkap dari sosok Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor Universitas Indonesia yang baru saja dilantik pada 4 Desember lalu. Ia cepat membaca situasi. Salah satu keputusan pentingnya adalah mengeluarkan edaran pencegahan Covid-19 di kampus itu pada 13 Maret, dua hari setelah WHO menetapkan status pandemi untuk Corona.
Ari memberlakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan tidak mewajibkan karyawan datang ke kampus, termasuk meminta mahasiswa yang menghuni asrama UI dan tempat indekos di sekitar UI segera pulang ke rumah orang tua serta keluarga masing-masing. Langkah UI ini pertama kali dilakukan di dunia pendidikan Indonesia. “Saya sebetulnya sudah melihat penyakitnya akan menyebar cepat,” kata Ari kepada Ade Ridwan Yandwiputra dari Tempo melalui sambungan telepon.
Dalam wawancara itu, mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis ini juga berbicara tentang Konsep Kampus Merdeka hingga kegiatannya selama work from home (WFH). “Kampus merdeka itu kan logikanya mempersiapkan orang nanti kalau di lapangan kerja jangan terlalu kaku”.
Dari mana inisiatif Anda untuk melakukan ‘lockdown’ kampus?
Saya dan beberapa rektor perguruan tinggi negeri dijadwalkan akan melakukan kunjungan ke Massachusetts Institute of Technology (MIT) di Cambridge, Amerika Serikat, pada 19 Maret 2020. Sekitar 26 Februari 2020, saya beli tiket. Rencananya saya akan lewat Korea Selatan. Setelah beli tiket, saya baca-baca berita Internasional, satu kota di Korea Selatan, yakni Daegu, terpapar Corona. Sejak itu saya mulai mengeluarkan edaran kepada para Dekan dan Pejabat di UI untuk tidak ke luar negeri. Saya bilang tunda aja deh, kecuali sangat penting.
Saya sebetulnya sudah melihat penyakitnya akan menyebar cepat. Sebab, Korea itu hub. Jadi, kalau mau ke Amerika, orang lebih suka Korea karena lebih cepat. Tapi saya masih berpikir untuk pergi lewat Eropa, Amsterdam. Tapi, kemudian Italia tiba-tiba ada masalah. Nah, saya mikir lagi, lalu saya batalkan. Saya sudah memprediksi bahwa akan terjadi lockdown negara-negara ini kira-kira sebulan lalu, karena saya punya perhitungan yang terkena (Corona) negara-negara hub. Lalu?
Setelah mengambil keputusan itu, seminggu kemudian, Dirjen Dikti (Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) menyelenggarakan rapat online bersama 18 universitas. Kesimpulannya situasinya begini, tapi kita belum ini (belum ada keputusan). Ya sudah, berarti universitas mengambil prakarsa. Saya putuskan situasi sudah gawat. Akhirnya, pada 13 Maret 2020, saya kumpulkan seluruh Dekan, kita rapat online.
Bagaimana Anda memastikan seluruh warga UI aman dari Covid-19?
Pada 18 Maret 2020, efektif pemberlakuan kuliah online, tapi masih ada sekitar 50 persen karyawan yang masuk. Sisanya, 50 persen lagi, sudah work from home. Terutama yang masih datang ke kampus yang melakukan analisis data dan memasukkan data. Tapi, kemudian kita lihat makin ke sini makin parah kondisinya. Akhirnya saya putuskan seminim mungkin yang ke kampus. Jadi, UI sepi sekarang hampir 95 persen di rumah semua.
Belajar online berjalan efektif?
Kita melakukan survei, dari dosen hingga mahasiswa, hampir 60-70 persen bilang berjalan lancar. Yang muda-muda dan mahasiswa itu sebagian besar sudah terbiasa, misalnya, menggunakan Skype, Google Meeting, Zoom, Microsoft Teams, dan sebagainya. Masalahnya kan enggak semua dosen muda. Bahkan yang muda pun ada yang masih gaptek (gagap teknologi). Sehingga sebelum pelaksanaan belajar jarak jauh, kami beri batas waktu kepada dosen untuk berlatih. Baru 18 Maret 2020, seluruhnya online. Pelaksanaan online-nya pun macam-macam, ada yang kuliah pakai WhatsApp group, e-mail, YouTube.
Ada hambatan lain kuliah online?
Brandwith, itu yang paling utama. Makin banyak yang online, jaringan mulai keberatan. Akibatnya jadi lemot, enggak bisa diakses, ngehang. Wah, itu paling repot. Meski salah satu provider membantu kami dengan memberikan 30 GB gratis sebulan, tapi kan tidak semua menggunakan provider itu. Jadi, akhirnya kita bagi beban. Kuliah mulai pagi hingga jam 11 malam.
Melihat kondisi ini, apakah Indonesia sudah siap menjalankan kampus online?
Ini menarik. Sebenarnya dari indikator kinerja Rektor dari Dikti, itu ada persentase mata kuliah yang dilakukan dengan pembelajaran jarak jauh. Jadi, pengajaran jarak jauh itu sudah disuruh sejak dulu. Tapi namanya juga kebiasaan kan susah, “Aduh, ngajar PJJ tuh gimana.” Nah, sekarang kita kan enggak punya pilihan. Sebenarnya ada hikmahnya juga.
Jadi, sangat mungkin (kampus online), karena sekarang ada kecenderungan justru orang yang sudah tamat itu butuh kuliah tertentu, tapi enggak butuh gelar. Misalnya ada sarjana hukum, dia kerja di bank, dia butuh kuliah statistika. Nah nanti, di UI mungkin sekitar Agustus atau setelah wabah Corona ini selesai, kita akan buat (kuliah online). Buktinya bukan ijazah atau gelar, tapi kita kasih sertifikat.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan konsep Kampus Merdeka. Bagaimana Anda menerjemahkan ini?
Lima tahun lalu, kita (UI) sudah punya Kelas Khusus Internasional. Jadi, sebenarnya mahasiswa belajar di prodi lain di universitas lain (yang menjadi salah satu poin Kampus Merdeka) itu sudah dilakukan. Nah, Cuma kalau mahasiswa belajar di universitas lain di Indonesia itu belum. Jadi, nanti (dengan konsep Kampus Merdeka) kita kuliah ada mayor dan minor. Dulu, filosofinya kalau Anda kuliah ekonomi, enggak perlu tahu hukum, enggak perlu tahu sosiologi.
Jadi filosofinya berubah?
Dengan Kampus Merdeka ini filosofinya berubah. Misalnya mayor kita adalah ekonomi, minornya hukum. Nanti kekhususan itu akan terjadi saat kita melampaui Jenjang S-2 dan S-3. Nah, dengan mengikuti konsep Kampus Merdeka ini, selain membantu mahasiswa dalam memahami kebutuhan pascasarjana, kami di perguruan tinggi mudah menjalin kerja sama dengan kampus lain di Luar Negeri karena menganut sistem yang sama.
Bagaimana Anda mengamati perilaku kaum milenial di kampus?
Anak milenial ini kalau materi ajarnya A sampai Z, mereka jangan diajarin A sampai Z, bosen mereka. Lebih baik A sampai M saja, sisanya suruh belajar sendiri. Dengan akses pada teknologi informasi, mereka memiliki banyak informasi. Karena kesehariannya begitu, ya sekalian saja kita pakai. Jadi lebih ke arah belajar mandiri. Itu bedanya dengan dulu. Kalau dulu itu lebih disuapin. Jadi, kalau kita lulus ujian, itu sebenarnya adalah kita ngapalin, memindahkan text book ke kepala kita, dari kepala kita ke kertas ujian.
Akan mengubah kurikulum?
Kita akan melakukan perbaikan kurikulum. Ke depan mungkin akan ada program studi yang mengikuti tren milenial, seperti prodi arsip menggunakan komputer dan sebagainya.
Prodi apa yang paling diminati oleh milenial?
Secara keseluruhan, berimbang. Jadi yang paling tinggi peminatnya itu Hubungan Internasional. Kalau di eksakta itu tetap Fakultas Kedokteran. Sekarang mulai banyak generasi muda yang melihat sesuatu hanya melatih logika (saat duduk di bangku perkuliahaan). Saat kerja nanti akan menggunakan passion. Jadi, banyak yang mengambil humaniora, terutama sastra, untuk mempelajari pengetahuan budaya saja. Sebab, mereka banyak yang bercita-cita menjadi penulis naskah film, sandiwara, dan sebagainya. Itu yang kami amati terutama untuk humaniora.
Sebelum menjadi Rektor, visi Anda mendahulukan teamwork, selain IPK. Ini sudah dilakukan?
Yang diperbanyak itu penugasan kelompok bagi mahasiswa. Jadi, dia tidak hanya diuji kemampuan individunya, tapi dalam kelompok bagaimana. Kalau di dalam kelompok kan berarti dia harus bisa menerima pendapat dan pikiran orang lain dan berkoordinasi dengan orang lain. Itu yang saya sebut bahwa kerja itu teamwork. Kalau cuma IPK tinggi, hanya pintar menjawab soal, nanti di kerjaan dia menyesuaikan diri lagi. Ini terutama diperlukan pada Jenjang S-1.
Ini juga sejalan dengan konsep Kampus Merdeka?
Iya, sejalan. Kampus Merdeka itu kan logikanya mempersiapkan orang nanti kalau di lapangan kerja jangan terlalu kaku. Sebab, hanya 15 persen yang jadi scientist atau jadi ilmuwan, bahkan mungkin kurang. Sebagian besar akan berhadapan dengan masyarakat yang majemuk, sehingga mesti luwes, mesti ada empati, bisa persuasif dan negosiasi, macam-macam.
Apakah ini akan mengubah UI?
Tidak seluruhnya, mungkin hanya 145 derajat. Sebab, kelompok humaniora sudah mulai sejak lima tahun lalu. Saya tinggal tambah-tambahin saja.
Selama work from home, apa yang Anda lakukan?
Sebagai pimpinan, yang pasti saya terus mengamati berita-berita Nasional hingga Internasional, bahkan juga mengamati perbincangan di WhatsApp group. Saya tetap melakukan pekerjaan seperti biasa, koordinasi ke seluruh Dekan, karyawan, dan sivitas akademika. Pekerjaan tetap harus dilakukan. Harus tetap membuat anggaran untuk 2020, kebijakan-kebijakan yang sifatnya operasional, misalnya kuliah online, kemudian fasilitas kampus, misal di RS UI butuh APD, hand sanitizer, ya seperti itulah.
Pekerjaan selama di rumah bertambah atau berkurang?
Tugasnya justru bertambah, karena harus melihat WhatsApp group dan berita-berita dari laptop, kemudian video conference untuk koordinasi.
Olahraga?
Olahraga santai lari pagi di sekitar kompleks rumah.
Setelah menjadi Rektor, Anda masih punya waktu di luar kerjaan?
Masih ada cukup waktu pada Sabtu dan Minggu. Dan tetap tidak lupa melakukan aktivitas hobi berenang dan membaca buku sejarah.
Sumber: Koran Tempo. Edisi: Akhir Pekan, 26 – 29 Maret 2020. Rubrik Tamu. Halaman 20-21.