Budi Frensidy: Evaluasi Jurus OJK dan BEI
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Senin, 30 Maret 2020, Budi Frensidy, Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI merilis tulisan yang dimuat pada koran Bisnis Indonesia, kolom Opini, halaman 2, yang berjudul “Evaluasi Jurus OJK dan BEI”. Berikut tulisannya.
“Evaluasi Jurus OJK dan BEI”
Bulan Maret 2020 akan dikenang sebagai bulan kelabu dan paling volatil untuk investor saham, baik di bursa kita maupun di bursa lainnya. Di pasar kita, harga dan indeks saham sempat terjun bebas selama hampir tiga minggu sebelum memberikan perlawanan dua hari terakhir. IHSG yang merosot sedalam 37,5% year-to-date hingga 24 Maret lalu yaitu dari 6.300 menjadi 3.938 bukanlah kali yang pertama. Kita pernah mengalaminya di tahun 1997-1998 dan 2008.
Sebagai perbandingan, IHSG kita di tahun 1997 pernah mencapai tertingginya di 740,8 pada 8 Juli untuk kemudian merosot 65,3% dalam 15 bulan kemudian menjadi hanya 256,8 pada 21 September 1998. Kita mengalaminya lagi di tahun 2008. Ditutup di angka 2.745 pada akhir tahun 2007, IHSG diprediksi akan menuju minimal ke 3.000-an di tahun 2008. Sempat menembus all-time high di 2.830,2 pada 9 Januari 2008, IHSG kemudian secara pelan tapi pasti longsor hingga 60,7% ke 1.111,4 pada 28 Oktober 2008 sebelum sedikit bangkit di akhir tahun menjadi 1.355,4.
Namun, di dua periode di atas penurunan harga saham dan indeks kita tidak secepat seperti saat ini dan tidak terjadi banyak kasus auto reject bawah (ARB). Baru kali ini juga kita menyaksikan empat bank berkapitalisasi terbesar kita mengalami auto reject bawah alias tidak ada volume bid pada saat bersamaan. Setelah sempat bertengger di 5.650,1 pada 4 Maret 2020, IHSG terpelanting 30,3% menjadi 3.937,6 tiga minggu kemudian.
Menghantam Rupiah dan Pertumbuhan Ekonomi
Berbarengan dengan kejatuhan harga saham di BEI, rupiah pun merosot ke titik terendahnya yaitu Rp16.915 per USD pada 24 Maret lalu dari sekitar Rp14 ribu akhir bulan lalu. Salah satu penyebab utama memburuknya kedua indikator pasar keuangan kita itu adalah keluarnya dana asing dari pasar keuangan sebesar Rp125 triliun untuk dipindahkan ke safe haven seperti emas dan dolar AS akibat merebaknya virus Covid-19.
Tidak hanya menghantam indeks saham dan nilai tukar kita, pandemi ini juga akan menghempaskan pertumbuhan ekonomi hampir semua negara. Tidak heran OJK dan BEI segera mengeluarkan jurus-jurus baru untuk memberikan keringanan pelaporan dan penyelenggaraan RUPS sekaligus mengembalikan kepercayaan investor. Kebijakan yang bersifat melonggarkan dan manusiawi meliputi batas waktu penyampaian laporan keuangan tahun 2019 & triwulan 1, 2020 dan penyelenggaraan RUPS yang diperpanjang dua bulan dari ketentuan yang ada serta diperbolehkannya e-RUPS dengan memanfaatkan proksi elektronik.
Sementara jurus-jurus BEI untuk meredam sentimen investor dan mendorong kenaikan IHSG adalah tidak diperlukannya izin RUPS untuk buyback saham oleh emiten, dilonggarkan batas buyback yang tadinya 10% menjadi 20% sepanjang free float dapat tetap minimal 7,5%, batas auto reject bawah 7% untuk semua fraksi harga, meniadakan perdagangan pra pembukaan, penghentian sementara selama 30 menit jika terjadi penurunan IHSG >5%, peniadaan short sale, dan terakhir adalah pengurangan jam perdagangan dari tadinya rata-rata setiap harinya 5 jam 20 menit (kecuali Jumat) menjadi hanya 4 jam.
Mengendalikan Harga dan Volatilitas
Teori market microstructure mengatakan bahwa utak-atik aturan perdagangan umumnya untuk mempengaruhi lima karakteristik pasar yaitu (meningkatkan) likuiditas, (menekan) biaya transaksi, (memfasilitasi) harga yang informatif, (menurunkan) volatilitas, dan (memberikan) keuntungan di pasar keuangan. Untuk kondisi saat ini, jurus-jurus yang telah diambil BEI di atas terutama untuk menurunkan volatilitas dan membuat investor tidak rugi besar. Syukur-syukur investor meraih keuntungan yang diharapkan. Akan tercapaikah tujuan-tujuan itu?
Aksi buyback yang dicanangkan banyak emiten akan mampu mengerek harga saham jika dana yang disiapkan relatif besar untuk melawan jualan investor asing. Hasil akan lebih baik lagi jika timing aksi ini juga pas yaitu ketika sentimen tidak berada pada puncaknya. Inilah yang terjadi pada tahun 2009 dengan kenaikan IHSG hingga 87% setelah anjlok 50,6% di 2008. Harga pun menjadi informatif dan investor dapat meraih keuntungan.
Aksi buyback minimal dapat menahan kejatuhan yang lebih besar jika kekuatan jual ternyata lebih kuat mengingat harga saham tergantung bid dan offer. Aksi buyback sejatinya memberikan dua sinyal penting kepada investor publik yaitu bahwa manajemen memandang sahamnya kemurahan dan korporasi punya kas besar sehingga bisa melakukan aksi ini. Sinyal positif bahwa korporasi punya banyak kas dan yakin akan kinerja bagus di masa mendatang juga dapat dilakukan dengan membagi dividen besar di atas prediksi para analis dan investor. Inilah alternatif lain yang bisa dilakukan emiten.
Sementara itu, peniadaan short sale saya duga efeknya sangat minimal karena sebelum ini pun hampir tidak ada investor yang bisa melakukannya. Jurus-jurus lainnya tidak dapat diharapkan mampu membuat harga saham informatif dan mencerminkan nilai fundamentalnya. Investor pun tetap akan sulit untuk meraih keuntungan, tetapi setidaknya itulah jurus-jurus yang selalu dimainkan bursa untuk menahan sentimen negatif di pasar dan menurunkan volatilitas.
Pemerintah juga telah bergerak untuk pemulihan perekonomian masyarakat dengan menerbitkan sejumlah kebijakan. Akan digelontorkan sejumlah dana besar untuk mendorong daya beli masyarakat berpenghasilan rendah dan UMKM yang paling terpukul akibat berkurangnya kegiatan ekonomi imbas wabah penyakit ini. Sekitar 29,3 juta masyarakat terbawah akan menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yaitu pekerja sektor informal, pedagang di pasar, pekerja harian di pusat perbelanjaan, dan pekerja transportasi daring.
Relaksasi Angsuran Kredit Pengemudi Daring
Khusus untuk para pengemudi baik motor maupun mobil dan para nelayan yang masih mempunyai kredit kendaraan bermotor atau kredit perahu diberikan relaksasi pembayaran angsuran selama satu tahun dan penurunan bunga. Demikian juga dengan debitur UMKM yang memperoleh pembiayaan kurang dari Rp10 miliar untuk tujuan usaha. Kebijakan pemerintah ini tentu disambut hangat para debitur kendaraan bermotor produktif, tetapi membuat usaha industri multifinance sudah jatuh tertimpa tangga pula.
Setelah tekanan sulitnya menerbitkan surat utang dan mendapatkan pinjaman bank akibat gagal bayarnya SNP Finance di tahun 2018 lalu dan naiknya pencadangan untuk expected credit loss sesuai PSAK 71 yang efektif mulai tahun ini, industri pembiayaan kembali menghadapi cobaan berat. Dari total pembiayaan Rp467,8 triliun pada Januari 2020, sebesar Rp123,1 triliun adalah untuk barang produktif dan Rp317,5 triliun untuk barang konsumsi.
Jika kita asumsikan 50% kredit produktif adalah untuk kendaraan bermotor pekerja transportasi daring dan 20% kredit konsumtif sebenarnya adalah untuk tujuan kendaraan daring juga, maka akan ada sekitar Rp125 triliun yang mendapatkan relaksasi. Penundaan pembayaran angsuran selama setahun untuk kredit sebesar ini tidak hanya akan membuat seretnya arus kas masuk dan likuiditas sebagian besar perusahaan pembiayaan, tetapi juga dapat menimbulkan risiko sistemik industri ini. Dengan rasio utang rata-rata 3-4 kali ekuitasnya, beberapa perusahaan pembiayaan diprediksi akan kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran bunga pinjaman dan obligasi sehingga NPL bank-bank pun pada akhirnya akan melesat. Ini mengingat 70 persen sumber dana perusahaan pembiayaan adalah dari pinjaman bank, sisanya dari surat utang dan ekuitas. Terbayang sudah suramnya industri keuangan kita setahun ke depan.
Di satu sisi, semua pihak termasuk industri keuangan harus berkomitmen membantu para nasabah yang kesulitan ekonomi sesuai arahan OJK. Di lain sisi, kelangsungan usaha (going concern) perusahaan pembiayaan sungguh terancam jika tidak ada sedikit pun keberpihakan terhadap industri ini. Kita menantikan solusi win-win dan yang paling penting, semoga pandemi COVID-19 segera berlalu. (htjp)
Sumber: Koran Bisnis Indonesia. Edisi: Senin, 30 Maret 2020. Kolom Opini. Halaman 2.