Ari Kuncoro: Covid-19 & Ekonomi Energi
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK ā Senin (4/5/2020), Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia merilis tulisannya yang dimuat koran Bisnis Indonesia, kolom Opini, yang berjudul āCovid-19 & Ekonomi Energiā. Berikut tulisannya.
“Covid-19 & Ekonomi Energiā
Covid-19 menjadi alasan utama dalam penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menuju tingkat yang paling rendah sejak Great Depression sekitar tahun 1930. Sampai dengan 30 April 2020, total kasus Covid-19 di dunia mencapai lebih dari 3,2 juta orang. Hal ini membuat Platts pada April lalu memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global 2020 di level 1,9%. Perekonomian diproyeksi membaik pada 2021 menjadi 4,3%.
Dana Moneter Internasional (IMF) dalam Global Economic Outlook bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia berpotensi -3,03% pada 2020, kemudian membaik menjadi 5,8% pada 2021.
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa skenario perekonomian setelah Covid-19 yaitu skenario berat dan sangat berat. Skenario berat menunjukkan pertumbuhan 2,3% apabila usaha untuk memutus rantai penyebaran wabah, arus perekonomian dan rantai pasokan (supply chain) dapat dipertahankan. Adapun skenario sangat berat dengan pertumbuhan ekonomi minus 0,4% dapat terjadi jika diterapkan lockdown total seperti di Italia dan India.
Pada periode pembatasan sosial berskala besar, selain menjaga ketahanan pangan juga diperlukan keamanan pasokan energi untuk 2-3 bulan ke depan agar tetap kondusif. Pandemi Covid-19 serta ketidaksepakatan di antara produsen minyak mentah menyebabkan penurunan harga minyak yang cukup tajam pada 2020. Harga acuan Brent turun sejak Januari-Maret lalu sekitar 50% menjadi US$31,83 per barel sedangkan Indonesia Crude Price (ICP) menurun pada kisaran 40% menjadi US$34,23 per barel.
Penurunan harga acuan minyak mentah tersebut segera disambut dengan penurunan harga produk kilang yang paling tajam terjadi pada bahan bakar pesawat terbang (Avtur). Pada periode 13-27 April lalu terdapat penurunan nilai minyak mentah acuan Brent sebesar 29% dari US$31,83 per barel menjadi US$18,57 per barel tetapi hanya diikuti dengan penurunan rata-rata harga bensin dan solar di Asia Tenggara 1,3% dan 4,5%.
Hal ini terjadi karena pembelian minyak mentah telah dilakukan 1-2 bulan sebelum BBM tersalurkan ke masyarakat, sehingga terdapat penundaan penyesuaian harga. Harga jual di Indonesia masih di bawah rata-rata Asia Tenggara sebesar 22% untuk bensin dan 1,2% bagi Solar. Kesempatan harga minyak rendah ini dapat dimanfaatkan perusahaan yang bergerak di sektor minyak dan gas seperti Pertamina untuk melakukan impor atau membeli future contracts untuk pengiriman di masa yang akan datang, dengan catatan Bank Indonesia harus dapat menstabilkan nilai rupiah.
Nilai rupiah mengalami depresiasi sekitar 18% dari Rp14.500 per dolar ke hampir Rp17.000 per dolar dalam waktu sebulan sebagai dampak dari wabah Covid-19. Penyebabnya adalah, modal asing keluar dari Indonesia untuk mencari safe heaven. Dampak depresiasi rupiah terhadap sektor energi terutama BBM juga cukup berat, mengingat setiap pelemahan atau depresiasi rupiah sebesar 500 basis poin akan menyebabkan kenaikan harga minyak sebesar 3% bahkan sampai dengan 4%.
Keputusan Bank Sentral AS melalui stimulasi perekonomian membawa angin segar bagi rupiah. Selain itu, modal mulai masuk lagi dari pemodal AS yang tertarik membeli surat berharga pemerintah. Faktor positif lain adalah surplus neraca perdagangan pada Maret sebesar US$743 juta. Semua kombinasi itu membuat nilai tukar rupiah menguat kembali dari level Rp16.000 pada awal April menjadi mendekati Rp15.000 per dolar pada akhir April.
Sektor energi di Indonesia tentunya tidak lepas dari Pertamina, terutama demand BBM. Analisis ekonometri menunjukkan setiap penurunan produk domestik bruto sebesar 1% akan menurunkan konsumsi Pertamax 7,48%. Skenario berat mengindikasikan adanya penurunan konsumsi Pertamax sekitar 20,2%. Skenario sangat berat dengan pertumbuhan minus 0,4% maka penurunan konsumsi Pertamax sekitar 40,39%.
Penurunan konsumsi BBM akibat pelemahan ekonomi akan menambah tingkat persediaan. Pertamina serta beban logistik, mengingat distribusi BBM ke seluruh Nusantara melalui 118 terminal BBM menggunakan sekitar 300 kapal serta pipa dan mobil tangki. Volume minyak mentah domestik yang diolah Pertamina per bulan sekitar 20 juta barel atau 68% dari total kebutuhan. Kewajiban mengolah minyak mentah dalam negeri tersebut menjadi beban tambahan bagi Pertamina, karena adanya anomali harga ICP sejak akhir 2019 menjadi lebih mahal dibanding dengan nilai minyak mentah acuan Internasional Brent di kisaran US$3 per barel.
Beban lain bagi sektor energi terutama migas adalah penyediaan stok dalam bentuk minyak mentah serta BBM. Sebagai contoh untuk Pertamina, diperlukan stok minyak mentah 8,2 juta barel atau senilai US$353 juta.
Target stok keamanan pasokan BBM terdiri dari Premium 20-25 hari konsumsi, Solar 17-26 hari konsumsi dan Avtur 20-35 hari konsumsi. Total nilai penyediaan stok minyak mentah dan BBM yang perlu disediakan Pertamina sekitar US$1,3 miliar atau ekuivalen dengan Rp18,4 triliun.
Energi memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu didukung guna menjadi pendorong bagi circular economy domestik. Pada kondisi ekonomi saat ini, bentuk dukungan yang dapat diberikan kepada sektor energi adalah memanfaatkan penurunan harga untuk melakukan penambahan stok. Bahkan apabila memungkinkan, mengakuisisi perusahaan atau aset minyak di Luar Negeri guna mendukung ketahanan energi di dalam negeri, sekaligus menurunkan current account deficit migas.
Dukungan finansial juga dibutuhkan bagi sektor energi untuk dapat tetap bertumbuh seiring dengan adanya pertambahan persediaan, tekanan likuiditas serta depresiasi nilai rupiah. (hjtp)
Sumber: Koran Bisnis Indonesia. Edisi: Senin, 4 Mei 2020. Kolom Opini. Halaman 2.