Bincang Sore Bersama FEB UI Seri 3: Dampak Covid-19 di Sektor Keuangan Syariah
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menggagas acara Bincang Sore Bersama FEB UI yang berjudul “Dampak Covid-19 di Sektor Keuangan Syariah” dengan menggunakan webinar via Zoom, pada Selasa (12/5/2020).
Pembicara pada acara bincang ini adalah Ventje Rahardjo, Direktur Eksekutif Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) bersama tim, Rahmatina Awaliah Kasri, Ph.D., Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah (PEBS) FEB UI, dengan moderator Sri Rahayu Hijrah Hati, Ph.D., yang juga Ketua Program Studi S-1 Bisnis Islam FEB UI.
Teguh Dartanto, Wakil Dekan I Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan FEB UI, dalam sambutan pembuka mengatakan, sektor keuangan perbankan merupakan salah satu yang terkena dampak dari Covid-19, baik ekonomi Syariah maupun non-Syariah. Pada kesempatan kali ini, kita memiliki dua pembicara yang berasal dari sisi regulator/pemerintah dan akademis, yang nantinya diharapkan menambah insight baru tentang Covid-19 dan pengaruhnya pada sektor keuangan khususnya ekonomi Syariah.
Ventje Rahardjo, sebagai pembicara pertama, menyampaikan bahwa KNEKS dibentuk untuk mempercepat, memperluas, dan memajukan pengembangan ekonomi dan keuangan Syariah dalam rangka memperkuat ekonomi Nasional. Berbicara mengenai Covid-19, Ventje mengatakan bahwa ini merupakan disrupsi besar-besaran terhadap mekanisme pasar. Dampaknya bagi Indonesia, pertumbuhan PDB kita pada kuartal I tahun 2020 turun menjadi 2,97% atau 40% dibandingkan dengan kuartal I tahun 2018.
Perubahan perilaku ekonomi menunjukkan peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran sehingga membutuhkan lebih banyak dana jaring pengaman sosial. “Tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan dampak Covid-19, yaitu alokasi dana kesehatan sebesar Rp75 triliun, social safety net sebesar Rp110 triliun, insentif pajak dan stimulus UMK sebesar Rp70,1 triliun, pemulihan ekonomi sebesar 150 triliun,” ucap Ventje Rahardjo.
Pemaparan Ventje dilanjutkan oleh tim Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).
“Pada sektor dana sosial, seperti lembaga zakat dan filantropi Islam, dana mengalami penurunan 10% – 30%. Upaya yang akan dilakukan adalah dengan membentuk jaring pengaman Amil dan mendorong digitalisasi zakat kepada lembaga terdampak,” demikian Urip Budiarto – Kepala Divisi Dana Sosial Keagamaan.
“Pada sektor keuangan mikro Syariah, dampak terlihat pada menurunnya likuiditas dan terjadinya penarikan simpanan oleh anggota, terhambatnya pengembalian pembiayaan, karena turunnya penghasilan, terhambatnya produksi, terhambat juga distribusi bahan baku dan produk. Maka, rekomendasi kebijakan yang diambil adalah relaksasi pembiayaan, talangan likuiditas, pemberian modal kerja baru, pendamping IKMS, rekapitalisasi koperasi Syariah, keringanan pajak, dan bansos untuk anggota IKMS,” disampaikan oleh Bagus Aryo – Kepala Divisi Keuangan Mikro Syariah.
“Pada sektor perbankan syariah ada 8 item yang terdampak, yaitu pertumbuhan pembiayaan, Financing to Deposit Ratio (FDR), Capital Adequacy Ratio (CAR), likuiditas, Net Interest Margin (NIM), kualitas aset, operasional, dan customer relationship. Regulator sudah mengeluarkan kebijakan, seperti OJK melakukan restrukturisasi kredit dan relaksasi penyampaian laporan berkala, Bank Indonesia memberikan penurunan suku bunga 50 bps menjadi 4,5%, penurunan GWM valas menjadi 4%, penurunan GWM rupiah sebesar 250 bps menjadi 3% dan pelonggaran terkait kartu kredit. Sementara itu, Lembaga Penjamin Simpanan melonggarkan pembayaran premi penjaminan mulai Juli 2020,” demikian Yosita Nur Wirdayanti – Kepala Divisi Inovasi Produk menyampaikan.
“Pada sektor jasa keuangan non-bank syariah, terlihat bahwa rata-rata kerugian yang dialami industri asuransi secara global sebesar 35% dari kapitalisasi pasar. Tantangan yang sudah dialami, yaitu claim operations, pricing/underwriting, customer support operations, loss estimation/actuarial reserving, marketing, dan legal. Penanggulangan dampak Covid-19 bagi industri keuangan syariah khususnya lembaga jasa keuangan non-bank Syariah, di antaranya menerapkan strategi memanfaatkan secara baik kebijakan countercyclical OJK, penyesuaian perhitungan premi dan cadangan (estimasi kerugian), pemberian diskresi atas penundaan pembayaran premi, penguatan kebijakan internal yang fokus pada solvency, solvability, cashflow, dan penguatan sistem digital,” menurut Intan Natasha Putri – Kepala Divisi Pendalaman Pasar.
“Pada sektor pasar saham syariah, kebijakan regulator di masa Covid-19 terbagi menjadi dua bagian, yakni bagi emiten boleh melakukan buyback saham tanpa Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), jumlah maksimum saham hasil buyback menjadi 20% dari modal disetor, perpanjangan waktu penyampaian Laporan Keuangan Emiten Interim I Tahun 2020 selama 2 bulan, perpanjangan batas waktu penyelenggaraan RUPS selama dua bulan. Sementara penyesuaian transaksi di bursa saham antara lain seperti perubahan batasan auto rejection transaksi, pelarangan transaksi short selling, pelaksanaan trading halt selama 30 menit bila IHSG turun sampai 5%, penyesuaian nilai haircut dan perhitungan risiko saham (transaksi margin),” demikian presentasi Luqyan Tamanni – Kepala Divisi Pengembangan Infrastruktur Sistem Keuangan Syariah.
Rahmatina Awaliah Kasri, sebagai pembicara kedua dari sisi akademis, mengatakan tahun 2020 diawali dengan optimisme cukup tinggi di sektor ekonomi dan keuangan Syariah, karena baru saja meluncurkan Masterplan Ekonomi dan Keuangan Syariah (MEKSI) periode 2020-2024. Sekarang 2020 menjadi tahun yang sangat menantang akibat adanya Covid-19. Nilai-nilai ekonomi syariah memiliki 4 pilar dasar, yakni kepemilikan, keadilan dalam usaha dan konsumsi, kebersamaan dalam kebaikan & kemaslahatan, keseimbangan dalam pertumbuhan.
Secara global, ekonomi syariah tumbuh dengan sangat baik pada awal tahun ini. Sekitar 1,8 miliar orang Muslim di dunia atau sekitar 27% penduduk dunia melakukan spending sebesar USD 2,2 triliun dan diperkirakan meningkat 6,2% setahun serta tumbuh menjadi USD 3,2 triliun di 2024. Sektor yang tergolong ke dalam ekonomi dan keuangan syariah, meliputi halal food, modest fashion, media and recreation, Muslim-friendly travel, halal pharmaceuticals, halal cosmetics, dan Islamic finance. Berkat dukungan dari pemerintah, masyarakat, KNEKS menjadikan Indonesia berada diperingkat ke-5 dalam global Islamic economic indikator.
“Secara umum, dampak Covid-19 terhadap ekonomi dan keuangan syariah, khususnya sektor keuangan komersial dan industri halal, relatif sama dengan sektor riil dan keuangan. Namun, pada sektor tertentu (seperti sektor ZISWAF) dampaknya berbeda dengan sektor filantropi lain. Dampak tersebut dapat dilihat dari aspek mikro-makro serta dari perspektif maqasid al shariah,” ujar Rahmatina.
Bank Syariah yang masuk kelompok buku 1 dan 2 sangat rentan terhadap guncangan likuiditas, karena rendahnya care deposit dan mahalnya cost of fund. Dengan adanya produk funding berbasis bagi hasil, bank syariah telah memiliki natural hedging, di saat cost of fund menyesuaikan pendapatan bank syariah.
Sisi positif dari Covid-19 terhadap ekonomi dan keuangan syariah, adalah peluang munculnya nilai-nilai, dorongan positif dan meningkatnya kesadaran beragama dan pentingnya gaya hidup halal dan thoyyib, meningkatnya peluang bisnis (e-commerce), positioning dan implementasi serta model integrasi ekonomi syariah.
Lanjut Rahmatina, kami merekomendasikan beberapa kebijakan terkait keuangan sosial dengan sosialisasi/edukasi ZISWAF yang lebih masif, perlu dilakukannya kemitraan pemerintah-OPZ dalam pelaksanaan program jaring pengaman sosial dan pengentasan kemiskinan, mendorong optimalisasi penghimpunan dana ZISWAF dan filantropi secara umum dari kelompok masyarakat terkaya, dan mendorong pemerintah mengadopsi pendekatan pembiayaan defisit anggaran untuk penanggulangan Covid-19 yang lebih berbasis instrumen filantropi.
Sementara itu, rekomendasi kebijakan pada industri halal adalah memberikan keringanan pajak, insentif fiskal bagi industri padat karya, mempermudah izin produksi, memundurkan pelaksanaan kewajiban sertifikasi halal, memperbanyak konten media yang sesuai dengan syariah, menjaga dan mendorong kontribusi dari local supply chain, meningkatkan literasi teknologi, mengembangkan konten halal virtual tourism, dan mendorong inovasi di sektor industri halal.
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Bersama kesulitan ada kemudahan. Tentunya, ini mengindikasikan bahwa Insya Allah akan ada solusi dan kondisi akan membaik kembali setelah pandemi Covid-19,” pesan inspirasi Rahmatina di akhir pemaparannya. (hjtp)