Muhamad Chatib Basri: Ekonomi dalam Normal Baru
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Senin (8/6/2020), Muhamad Chatib Basri, Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, merilis tulisannya yang dimuat di Harian Kompas, rubrik Opini, yang berjudul “Ekonomi dalam Normal Baru”. Berikut tulisannya.
“Ekonomi dalam Normal Baru”
Pandemi Covid-19 punya banyak cerita tentang kematian, kemiskinan, dan air mata. Ekonomi Indonesia pun mencatatnya dengan cemas.
Pertumbuhan ekonomi turun tajam dari 4,97 persen triwulan IV-2019 menjadi 2,97 persen triwulan I- 2020. Padahal, kita tahu, periode Januari-Februari belum ada pengaruh signifikan dari Covid-19 terhadap ekonomi kita. Pemerintah baru mengumumkan adanya kasus Covid-19 di Indonesia awal Maret 2020. Artinya, dampak wabah, dari sisi domestik, seharusnya baru memukul ekonomi kita di bulan Maret. Lalu, jika pertumbuhan ekonomi triwulan pertama turun begitu tajam, itu artinya situasi ekonomi di bulan Maret memang amat memburuk sehingga menarik turun pertumbuhan ekonomi triwulan pertama.
Tentu tak semuanya gelap. Volume penjualan untuk jasa kesehatan online, farmasi, atau supermarket meningkat dibandingkan periode pra-Covid-19. Konsumsi makanan dan minuman juga masih stabil. Tapi saya menduga kontraksi ekonomi akan berlanjut di triwulan kedua 2020. Berbeda dengan krisis ekonomi sebelumya, krisis ekonomi saat ini dipicu wabah penyakit yang kemudian memukul produksi (supply shock) dan juga daya beli (demand shock). Situasi menjadi semakin rumit karena untuk mengatasi wabah, sejumlah negara di dunia, termasuk Indonesia, menerapkan kebijakan karantina wilayah (lockdown) atau pembatasan sosial. Kebijakan ini punya dampak terhadap perekonomian. Mengapa?
Normal baru dan perekonomian
Kita tahu, per definisi, pasar adalah tempat pertukaran barang dan jasa, baik secara fisik maupun virtual. Pembatasan sosial tak mengizinkan terjadinya pertemuan secara fisik. Bisa dibayangkan, pasar yang berjalan hanyalah pasar dari aktivitas virtual. Implikasinya, baik produksi maupun konsumsi akan terpukul. Kita tak tahu berapa lama pandemi ini akan berlangsung. Apakah kita harus membiarkan aktivitas ekonomi terus terganggu? Itu sebabnya, beberapa negara mulai mempersiapkan pembukaan kembali (re-opening) ekonomi.
Tentunya, setelah pandemi dianggap mereda, dan dilakukan penerapan protokol kesehatan yang ketat. Orang menyebutnya new normal (normal baru). Tentu kita harus sangat hati-hati. Protokol kesehatan bisa disiapkan di atas kertas, tapi implementasi soal lain. Siapa yang akan memonitor bahwa protokol kesehatan itu dipatuhi? Kita tak mungkin mengerahkan semua aparat keamanan hanya untuk memonitor ini. Jumlah mereka pun terbatas. Ini harus berangkat dari disiplin. Apakah syarat perlu itu bisa terpenuhi? Kalau tidak, risiko gelombang kedua bisa terjadi.
Itu sebabnya, seolah-olah ada pertentangan antara prioritas ekonomi dan kesehatan. Saya tak melihatnya begitu. Ekonomi hanya akan bisa pulih jika wabah teratasi. Ahli epidemiologi berpandangan, risiko penularan dapat dikurangi jika kita tinggal di rumah. Implikasinya, aktivitas ekonomi yang membutuhkan kehadiran fisik tak bisa berjalan, orang kehilangan pendapatannya. Karena itu, negara harus memberikan perlindungan sosial dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), dan juga dukungan untuk dunia usaha.
Orang harus diberikan kompensasi agar tinggal di rumah. Karena itulah kebijakan ekonomi untuk perlindungan sosial dan bantuan dunia usaha menjadi hal yang tak terpisahkan dari upaya penanganan pandemi. Tentu ini tak bisa berlangsung terus-menerus. Lalu, kapan kita harus menerapkan new normal atau apakah kita siap untuk itu? Saya tak pandai menjawabnya. Kasus Covid-19 mengajarkan saya rendah hati untuk mengatakan, saya tidak tahu. Tulisan ini hanya akan mencoba membaca apa yang terjadi pada ekonomi Indonesia apabila new normal diterapkan.
Majalah The Economist beberapa minggu lalu menurunkan artikel menarik soal perbandingan antara Denmark, yang menerapkan kebijakan lockdown secara ketat, dengan Swedia, yang tak menerapkan lockdown. Menariknya ada pola yang sama: penduduk di kedua negara itu cenderung tinggal di rumah dan menurunkan belanjanya.
Saya menduga orang Swedia dan Denmark mampu untuk tinggal di rumah karena jaminan sosialnya memungkinkan untuk itu. Di Malaysia, proses re-opening juga tak mudah dan membutuhkan waktu. Mereka berkilah, jika sebuah usaha misalnya melayani 50 orang, kemudian satu orang saja terkena Covid-19, maka semua orang akan dipanggil dan dikarantina kembali. Lalu usaha akan ditutup. Karena itu, jika ada pilihan, lebih baik menunggu sampai semua aman. Di China, data menunjukkan pengguna kereta bawah tanah (subway) kembali ramai pada hari kerja, tapi bukan akhir pekan. Artinya, orang memang keluar rumah, tapi untuk bekerja, bukan untuk pelesir. Butuh waktu panjang untuk menghilangkan trauma, apalagi ketika vaksin belum ditemukan. Kasus di Swedia, Malaysia, China menunjukkan bahwa pembukaan kembali tak semudah yang kita bayangkan.
Bagaimana Indonesia? Akankah perekonomian segera pulih dengan new normal? Kebijakan apa yang perlu disiapkan? Di sini ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, keputusan orang untuk kembali bekerja akan sangat tergantung dari seberapa besar reservation wage (pendapatan minimal yang bersedia diterima oleh pekerja). Bagi mereka yang memiliki tabungan atau non-labour income (ada dukungan ekonomi), punya kemewahan untuk memilih tetap tinggal di rumah, karena lebih aman dari risiko wabah. Sebaliknya, mereka yang datang dari kelompok pendapatan menengah bawah, karena tak memiliki cukup tabungan, tak punya pilihan kecuali kembali bekerja.
Karena itu, bisa diduga aktivitas di pasar tradisional atau pasar kelas menengah bawah akan lebih cepat kembali normal. Sebaliknya, kelas menengah atas, karena masih memiliki pilihan untuk tinggal di rumah atau berbelanja daring, mungkin masih akan menunda aktivitas fisiknya. Hal yang sama mungkin terjadi dengan sekolah. Jika orang tua masih memiliki pilihan agar anaknya belajar dari rumah, resistensi untuk kembali ke sekolah akan cukup tinggi.
Kedua, bisa saja kantor atau pabrik mewajibkan orang kembali bekerja. Aktivitas produksi memang akan kembali berjalan, tetapi persoalan yang akan muncul adalah adakah permintaannya? Inilah yang terjadi di China setelah re-opening: produksi meningkat, tetapi permintaan masih sangat lemah. Studi dari Lin dan Meissner (2020) di National Bureau of Economic Research (NBER) juga menunjukkan bahwa pengangguran tetap tinggi di beberapa negara bagian Amerika Serikat (AS) yang tak menerapkan lockdown. Mengapa? Karena pembukaan dan pemulihan ekonomi belum merata di semua tempat.
Dalam kasus China, ekonomi global masih sangat lemah, akibatnya permintaan terhadap produk China masih sangat rendah. Dalam studi Lin dan Meissner, walau negara bagian itu tak memberlakukan lockdown, permintaan terhadap produk mereka datang dari negara bagian lain, atau dari negara lain yang masih lemah ekonominya. Saling ketergantungan ini memengaruhi apakah pemulihan ekonomi akan terjadi segera. Dalam kasus Indonesia, saya bisa membayangkan, ekspor masih akan terkendala selama aktivitas ekonomi global belum sepenuhnya kembali. Di sisi lain, daya beli domestik masih lemah karena orang kehilangan pendapatan.
Ketiga, dengan kondisi permintaan yang lemah, kebijakan yang sifatnya mendorong produksi tak akan efektif, termasuk juga kebijakan moneter untuk menurunkan bunga. Penurunan tingkat bunga tak mendorong investasi baru secepat yang diharapkan. Ia hanya membantu menurunkan beban bunga dunia usaha. Data menunjukkan bahwa rasio pinjaman terhadap tabungan (loan to deposit ratio) menurun akibat menurunnya permintaan kredit. Masuk akal, jika permintaan terhadap barang dan jasa lemah, untuk apa dunia usaha meminta kredit dan melakukan ekspansi produksi? Perhitungan saya bersama Fitrania dan Zahro (2016) menunjukkan, untuk kasus Indonesia, peningkatan konsumsi akan mendorong investasi satu triwulan kemudian. Namun sebaliknya, peningkatan investasi tak meningkatkan konsumsi secara signifikan. Jadi, jika ingin menggerakkan ekonomi dalam jangka pendek, tingkatkanlah konsumsi.
Urutan stimulus
Keempat, apa yang bisa dilakukan? Saya melihat urutan stimulus harus dimulai dari fiskal untuk mulai mendorong permintaan (jump start). Jangan salah duga, beban fiskal tak akan menurun akibat re-opening. Daya beli, terutama bagi kelompok menengah bawah, harus didorong. Saya pernah menulis di harian ini bersama kolega saya, Rema Hanna dari Universitas Harvard dan Benjamin Olken dari MIT, mengenai perlunya perluasan BLT bagi kelas menengah bawah atau aspiring middle class. Pembukaan kembali ekonomi membutuhkan dukungan bantuan sosial, program padat karya tunai untuk mendorong permintaan. Setelah permintaan tercipta, Bank Indonesia mengikuti dengan ekspansi moneter.
Kelima, satu hal yang perlu diperhatikan dengan hati-hati adalah isu sosial dan masalah ketimpangan pendapatan. Normal baru tak akan membawa kita kepada hidup pra-Covid-19. Selama vaksin belum ditemukan, ekonomi tak akan 100 persen beroperasi penuh. Karena itu akan ada sektor yang terkena dampaknya. Kasus China menunjukkan, untuk sementara waktu orang hanya keluar rumah untuk bekerja, bukan bersenang-senang. Akibatnya, pemulihan ekonomi di industri hiburan atau hotel dan pariwisata mungkin akan lebih lambat. Selain itu, untuk mengurangi risiko pandemi, pabrik mungkin memilih untuk menggunakan lebih sedikit tenaga kerja ketimbang mesin. Akibatnya, balas jasa modal akan naik lebih cepat ketimbang upah.
Di sisi lain kita tahu, pekerja kelas menengah bawah yang tak memiliki pilihan untuk tinggal di rumah, karena tak memiliki tabungan, akan mengambil risiko untuk bekerja kembali. Lockdown mungkin akan lebih dapat diterima oleh kelas menengah atas, apabila perlindungan sosial bagi kelas menengah bawah tak tersedia. Karena itu, isu ketimpangan pendapatan dan kesejahteraan sosial kelompok menengah bawah harus diperhatikan dengan serius. Dengan semua catatan itu, kemungkinan pemulihan ekonomi secara cepat (bentuk kurva V) mungkin relatif kecil. Pemulihan ekonomi mungkin akan lebih lambat (bentuk kurva U).
Di depan kita akan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban. Wabah memang belum sepenuhnya teratasi, tetapi kurva penularan di banyak negara sudah mulai mendatar. Walau dengan waswas dan gugup, orang mulai bicara tentang new normal. Badai salju memang benar datang. Mungkin akan panjang. Kita harus punya baju hangat, persediaan yang baik dan cukup. Kita harus menjaga ritme agar tak kehabisan stamina. Kita perlu bijak dan berani memilih di antara pilihan yang sulit. ”Di kedalaman musim dingin, saya akhirnya tahu bahwa di dalam diri saya ada musim panas yang tak terkalahkan,” begitu tulis Albert Camus. (hjtp)
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Senin, 8 Juni 2020. Rubrik Opini. Halaman 6.