Kiki Verico : Pemulihan Ekonomi dalam Ketidakpastian Pandemi
Delli Asterina ~ Humas FEB UI
DEPOK – Senin (06/7/2020), Kiki Verico, Tenaga Ahli Menteri Keuangan dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, merilis tulisannya di Harian Tempo yang berjudul “Pemulihan Ekonomi dalam Ketidakpastian Pandemi.” Berikut artikelnya.
Pandemi global tidak terjadi dalam waktu pendek. Sejarah mencatat hanya terjadi satu kali dalam satu abad. Generasi sekarang terpilih untuk menyaksikan pandemi kali ini dengan teknologi informasi dan revolusi industri generasi keempat. Informasi tentang pandemi sangat banyak dan cepat, tapi manusia tetap tidak mampu memastikan waktu. Ilmuwan kesehatan tahu sebab dan cara mengatasi pandemi, tapi tidak tahu kapan bisa diatasi dan berakhir. Seperti halnya gempa bumi, ilmuwan tahu sebabnya, tapi tidak tahu kapan akan tiba. Ekonom juga tahu pandemi akan membawa krisis, tapi tidak tahu kapan akan terjadi.
Akhir Juni lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengkonfirmasi bahwa ekonomi dunia akan memasuki krisis dengan pertumbuhan minus 4,9 persen. Cina diperkirakan masih tumbuh positif sebesar 1 persen, sementara beberapa negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, serta Sub-Sahara Afrika diperkirakan tumbuh sedikit lebih baik dari pertumbuhan ekonomi dunia. Berbeda dengan krisis ekonomi setelah perang dunia, pandemi tidak hanya mempengaruhi sisi permintaan, tapi juga penawaran. Sisi penawaran menghadapi penurunan produktivitas karena manusia sebagai inti produksi harus membatasi aktivitas, sementara di sisi permintaan mengalami penurunan, dari konsumsi, investasi, hingga perdagangan internasional.
Untuk memecah kebuntuan ekonomi saat terkunci krisis, ilmu ekonomi menawarkan dua pendekatan. Pertama, pendekatan Keynesian menjelaskan bahwa pemecah kebuntuan krisis ekonomi adalah pemerintah. Hal ini tidak mudah karena, menurut Milton Friedman, di setiap krisis ekonomi, pemerintah juga terkena dampak berupa penurunan penerimaan negara. Kedua, pandangan Schumpeterian percaya bahwa ekonomi bangkit dari kemampuan adaptasi bisnis melalui inovasi. Pendekatan Schumpeterian sebetulnya hadir bersamaan dengan Keynesian, yaitu ketika terjadi resesi ekonomi dunia pada 1930-an, tapi Schumpeterian tidak populer karena belum adanya teknologi informasi dan komunikasi. Kini, dengan kehadiran teknologi ini, pendekatan Schumpeterian menjadi masuk akal karena internet terbukti menjadi solusi inovasi di tengah pandemi. Pendekatan Keynesian dan Schumpeterian kini telah menjadi solusi bersama krisis ekonomi global.
Pendekatan Keynesian merupakan pendekatan klasik yang sudah ada sejak hampir seratus tahun lalu, ketika pada masa resesi pemerintah mengambil peran dominan untuk menyelamatkan dan membangkitkan ekonomi. Dari sisi permintaan makro, pemerintah menyiapkan perlindungan sosial. Sedangkan dari sisi penawaran, pemerintah menahan agar sisi suplai tidak mendadak berhenti dengan berfokus pada penanggulangan pandemi (kesehatan), insentif pajak, bea masuk dan cukai, serta bantuan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah. Selain melindungi sisi permintaan dan menjaga stabilitas suplai, pemerintah mendorong kebangkitan ekonomi seusai pembatasan sosial berskala besar. Kebangkitan ekonomi dimulai dari sektor padat karya dengan melibatkan seluruh kekuatan, dari badan usaha, kementerian dan lembaga, hingga pemerintah daerah dan perangkat desa.
Meningkatnya transaksi online saat pembatasan mobilitas, membuktikan bahwa pendekatan Schumpeterian memang tengah terjadi. Secara makro, terlihat bahwa sektor teknologi informasi pada kuartal pertama 2020 tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, yaitu masing-masing 9,81 persen dan 2,97 persen. Teknologi informasi tidak hanya berperan pada dukungan “aktivitas dari rumah” secara online, tapi juga “transaksi ekonomi”. Beragam cerita tentang bagaimana usaha tetap eksis di tengah pandemi membuktikan bahwa usaha bisa bertahan sepanjang menyesuaikan diri, inovatif, dan memanfaatkan teknologi informasi. Penjahit baju beralih membuat masker kain, konveksi memproduksi alat pelindung diri, produsen parfum menghasilkan hand sanitizer, penghasil aksesori membuat makanan dan menjual produknya melalui platform online. Dari sub-sektor jasa hiburan, di tengah berkurangnya kegiatan panggung dan media televisi, beberapa figur publik justru semakin sukses sebagai Youtuber karena pemirsa kini lebih banyak menggunakan media sosial.
Pandemi harus dihadapi dengan hati-hati karena tidak ada yang tahu kapan ia akan berakhir. Sejarah flu Spanyol menunjukkan bahwa gelombang kedua pada Oktober 1918 terjadi setelah gelombang pertama pada Juni 1918. Ibarat lari jarak jauh, menghadapi pandemi memerlukan strategi, disiplin, daya tahan, dan kesabaran. Kunci kesabaran adalah kepercayaan. Ketika manusia percaya bahwa ia mampu menghadapi pandemi, ia akan bersabar, termasuk saat menjalani kehidupan normal baru. Satu hal yang pasti, manusia yang bertahan adalah mereka yang memiliki strategi dan bersabar dalam kedisiplinan.
Meningkatnya transaksi online saat pembatasan mobilitas membuktikan bahwa pendekatan Schumpeterian memang tengah terjadi. Secara makro, terlihat bahwa sektor teknologi informasi pada kuartal pertama 2020 tumbuh lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, yaitu masing-masing 9,81 persen dan 2,97 persen. Teknologi informasi tidak hanya berperan pada dukungan “aktivitas dari rumah” secara online, tapi juga “transaksi ekonomi”. Beragam cerita tentang bagaimana usaha tetap eksis di tengah pandemi membuktikan bahwa usaha bisa bertahan sepanjang menyesuaikan diri, inovatif, dan memanfaatkan teknologi informasi. Penjahit baju beralih membuat masker kain, konveksi memproduksi alat pelindung diri, produsen parfum menghasilkan hand sanitizer, penghasil aksesori membuat makanan dan menjual produknya melalui platform online. Dari sub-sektor jasa hiburan, di tengah berkurangnya kegiatan panggung dan media televisi, beberapa figur publik justru semakin sukses sebagai Youtuber karena pemirsa kini lebih banyak menggunakan media sosial.
Pandemi harus dihadapi dengan hati-hati karena tidak ada yang tahu kapan ia akan berakhir. Sejarah flu Spanyol menunjukkan bahwa gelombang kedua pada Oktober 1918 terjadi setelah gelombang pertama pada Juni 1918. Ibarat lari jarak jauh, menghadapi pandemi memerlukan strategi, disiplin, daya tahan, dan kesabaran. Kunci kesabaran adalah kepercayaan. Ketika manusia percaya bahwa ia mampu menghadapi pandemi, ia akan bersabar, termasuk saat menjalani kehidupan normal baru. Satu hal yang pasti, manusia yang bertahan adalah mereka yang memiliki strategi dan bersabar dalam kedisiplinan. (hjtp)
Sumber : Harian Tempo, 06 Juli 2020