Budi Frensidy: Memasuki Era Yield Rendah
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Selasa (18/8/2020), Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI, Budi Frensidy merilis tulisannya yang dimuat koran Kontan, rubrik Portofolio – Wake Up Call, halaman 6, yang berjudul “Memasuki Era Yield Rendah”. Berikut artikelnya.
“Memasuki Era Yield Rendah”
Semua orang sebaiknya memiliki rencana keuangan. Perencanaan keuangan harus dilakukan ketika individu atau sekelompok individu, misalnya sebuah keluarga, mempunyai tujuan keuangan tertentu. Misalnya antara lain berwisata ke mancanegara, membeli rumah atau apartemen, menunaikan ibadah haji, atau menyekolahkan anak di Luar Negeri.
Semua tujuan tersebut mempunyai kesamaan, yaitu kebutuhan sejumlah uang cukup besar di masa datang. Agar bisa mendapatkan dana yang sesuai dengan kebutuhan tersebut, investor perlu mengumpulkannya secara bijak dan teratur, sehingga rencana keuangan yang sudah dibuat sebelumnya bisa tercapai.
Pengumpulan dana secara periodik pada praktiknya juga dilakukan oleh banyak perusahaan, antara lain untuk keperluan dana pelunasan utang/obligasi saat jatuh tempo atau tujuan lainnya. Dana yang dikumpulkan tersebut lazimnya disebut dana pelunasan atau sinking fund.
Untuk hitungannya, Anda dapat menggunakan tabel untuk menunjukkan simulasi lengkap, menjadi berapa besar sejumlah dana yang disetor tiap bulan di periode tertentu, jika mendapat return atau yield tertentu.
Ini adalah permasalahan mencari future value (FV) jika diberikan variabel lainnya, yaitu PMT (setoran periodik), N (jumlah periode), dan yield. Ambil contoh, seorang investor mematok setoran untuk investasi sebesar Rp1 juta setiap bulannya. Dana itu disetor setiap bulan selama periode tertentu, ambil contoh misalnya selama 10 tahun, dengan asumsi penempatan dana tersebut memperoleh return atau yield tertentu.
Anda juga dapat membuat tabel yang menjelaskan besar dana atau jumlah setoran yang dilakukan secara periodik (PMT) yang diperlukan untuk mencapai jumlah tertentu (FV) yang dikehendaki. Ambil contoh misalnya Rp1 miliar, jika diberikan yield dan N (jumlah periode) baik mulai dari nol atau saldo tertentu pada hari ini (PV). Apakah hitungannya berbeda jika kita tidak memulainya dari nol? Tentu berbeda.
Misalkan Anda memerlukan dana Rp200 juta untuk periode tiga tahun ke depan, demi memenuhi kebutuhan pendanaan menempuh kuliah doktor di dalam negeri. Dengan asumsi Anda dapat memperoleh yield bulanan bersih 0,5% per bulan atau sebesar 6% p.a., maka berarti Anda memerlukan setoran dana periodik sebesar Rp5,08 juta setiap bulannya.
Hitungan tersebut dibuat jika Anda memulai mengumpulkan dana dari nol. Namun jumlah setoran dana menjadi hanya sebesar Rp4,17 juta jika saat ini Anda sudah memiliki dana sebesar Rp30 juta.
Jelas sudah kemampuan dasar yang diperlukan untuk mampu merencanakan keuangan dengan baik sejatinya hanya matematika keuangan, plus pengetahuan instrumen investasi (return dan risikonya) serta disiplin diri. Dengan bantuan kalkulator finansial atau menggunakan Microsoft Excel, Anda hanya memerlukan sekian detik untuk menjawab pertanyaan perencanaan keuangan Anda.
Yang sulit dilakukan adalah disiplin diri. Penentuan yield sesuai dengan profil atau toleransi risiko investor dan pencarian kelas aset yang memenuhi yield berada di antaranya.
Maksudnya, mencari instrumen investasi atau aset yang dapat memberikan yield tahunan sebesar 6% dan tetap memastikan keutuhan modal yang diinvestasikan tetap terjamin tidak susah. Investor dapat membeli obligasi negara ritel (ORI) atau berinvestasi lewat reksadana pendapatan tetap atau reksadana pasar uang.
Tetapi pemilihan aset mulai tidak mudah jika target return yang diinginkan naik menjadi 9% p.a., apalagi bila mengincar imbal hasil sebesar dobel digit. Yang pasti, risiko akan juga meningkat dan keutuhan modal menjadi kurang terjamin. Inilah indahnya dunia investasi, bahwa risiko selalu datang menyertai return.
Saat inflasi dan suku bunga acuan Bank Indonesia (7-days RRR) tinggi, investor mungkin masih bisa mendapatkan yield instrumen investasi sebesar 9% dari efek dan reksadana pendapatan tetap. Akan tetapi, data historical menunjukkan inflasi tinggi terakhir kalau terjadi pada tahun 2013 dan 2014.
Di masing-masing tahun tersebut, inflasi Indonesia mencapai 8,38% dan 8,36%. Setelah itu, inflasi Indonesia cenderung terkendali di bawah 4% selama periode 2015-2018. Inflasi kemudian merosot lagi menjadi 2,72% tahun lalu dan diprediksi akan berada di bawah 2% pada tahun ini. Otomatis, bunga acuan pun ikut diturunkan keempat kalinya bulan lalu, menjadi tingkat suku bunga terendah sepanjang masa, yaitu sebesar 4%.
Ada sejumlah pengamat yang menganjurkan investor menempatkan dana investasinya di dalam emas. Anda setuju? Emas memang akan jadi buruan investor saat terjadi perang, resesi, krisis finansial dan ketidakpastian besar seperti saat ini.
Namun, investor akan kembali meninggalkan emas saat ekonomi kembali membaik. Harga emas dalam kurs dollar Amerika Serikat (AS) pernah tidak naik selama 23 tahun, yaitu pada periode 1982-2005. Kala itu, harga emas bertahan di kisaran $400 per ons troi.
Tetapi harga emas kemudian melejit ke kisaran level $1.800-an per ons troi, ketika krisis finansial melanda Amerika pada periode 2008-2011. Setelah itu, harga emas kembali ke kisaran $1.200 per ons troi.
Jika harga emas dalam rupiah ternyata mampu memberikan return tinggi di atas inflasi, faktor utama sebenarnya adalah penguatan atas nilai tukar dollar AS terhadap rupiah. Investasi dalam emas juga mempunyai kelemahan lain, yaitu tingginya biaya transaksi (beli-jual) dan tidak adanya penghasilan periodik, seperti dividen dari saham dan pendapatan sewa properti.
Dengan demikian, aset pilihan untuk bisa memperoleh return tahunan tinggi saat ini hanya tersisa dua instrumen, yaitu saham dan properti. Setidaknya itulah aset-aset rekomendasi CFA Institute untuk penyusunan Investment Policy Statement (IPS) bagi investor ritel yang mengejar pertumbuhan.
Tentu saja, investor juga akan diminta mempertimbangkan karakter risiko masing-masing. Rekomendasi saham dan properti akan diberikan selama para investor mempunyai kemampuan tinggi untuk mengambil risiko dan memiliki toleransi terhadap risiko moderat atau tinggi (high ability to take risk and moderate risk tolerance). Apakah ini berlaku di sini?
Setelah naik kencang dan jauh di atas inflasi selama dua sampai tiga dekade, kenaikan harga properti nyatanya juga tertahan dalam periode 6-7 tahun belakangan ini. Mungkin harga properti di dalam negeri sudah terlalu tinggi dibandingkan dengan penghasilan rata-rata masyarakat. Terjadinya pandemi Covid-19 memperburuk kondisi ini.
Lalu bagaimana dengan investasi saham? Agar analisis tidak terdistorsi dampak Covid-19, saya tidak memperhitungkan kinerja keuangan tahun ini.
Selama sepuluh tahun terakhir, tepatnya di periode akhir 2000 hingga akhir 2019, ternyata Indeks Harga Sahan Gabungan (IHSG) bisa mencatatkan kenaikan rata-rata sebesar 9,54% per tahun, dari level 2.534 menjadi 6.300.
Karena IHSG hanya mencerminkan capital gain, kita perlu menambahkan dividend yield 2,5% sehingga total yield menjadi 12%. Cukup menggembirakan.
Tetapi sayangnya, angka capital gain rata-rata per tahun menjadi hanya 3,8% per tahun selama lima tahun terakhir, dengan total yield mencapai 6,3%. Ini terjadi karena IHSG di akhir 2014 sudah berada di level 5.227. Bila menghitung menggunakan indeks LQ45, capital gain tahunan lebih rendah lagi, yaitu sekitar 7,37% p.a. antara 2010-2019 (rentang pergerakan 498,3-1.014,5) dan hanya 2,46% p.a. pada periode 2015-2019 (dengan rentang pergerakan 898,6-1.014,5).
Lessons learned, jangan percaya jika ada perencana keuangan atau penasihat investasi atau siapa pun yang menawarkan produk investasi yang menjanjikan return pasti 18% per tahun terus menerus untuk jumlah berapa pun. Hampir dapat dipastikan mereka hanya menjual mimpi. Periode saham mampu memberikan rata-rata return tahunan 20% atau lebih sudah lewat. Probabilitas return sebesar itu ke depan hanya satu atau dua kali dalam lima tahun. Dirgahayu RI. (hjtp)
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Selasa, 18 Agustus 2020. Rubrik Portofolio – Wake Up Call. Halaman 6.