UI dan BPK RI, Penandatanganan Nota Kesepahaman dan Kuliah Umum, Bertajuk Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Masa Covid-19
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (31/8/2020) Universitas Indonesia (UI) melakukan penandatanganan nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI terkait peningkatan sinergi dan koordinasi. Rektor UI, Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., dan Ketua BPK RI, Dr. Agung Firman Sampurna, CSFA., menandatangani MoU tersebut di Auditorium Kantor Pusat BPK, Jakarta, pada Senin (31/8/2020).
Di dalam sambutannya, Ari Kuncoro mengatakan UI dan BPK menandatangani Nota Kesepahaman Bersama (NKB) untuk memperkuat sinergi dan koordinasi di dalam mendukung pemeriksaan, penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, serta peningkatan kapasitas kelembagaan. Sinergi antara UI dan BPK diharapkan mampu membawa hasil yang positif untuk membantu NKRI dalam menyelamatkan Bangsa Indonesia melewati cobaan pandemi Covid-19.
“Saling bersinergi diperlukan untuk mendukung dan memanfaatkan potensi masing-masing dalam mengoptimalkan kinerja dan inovasi ketika menjalankan tugas yang diberikan negara sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945. Turunan dari kerja sama yang telah diatur di dalam Nota Kesepahaman Bersama (NKB) ini akan dilanjutkan dengan Perjanjian Kerja Sama yang dilakukan oleh bidang-bidang di bawah Rektor maupun Fakultas yang ada di lingkungan UI. Sehingga, kerjasama ini bisa mengoptimalkan SDM BPK RI yang berkualitas,” ucap Ari Kuncoro.
Selain penandatanganan MoU, pada kesempatan tersebut juga dilaksanakan kuliah umum dengan topik “Peluang, Hambatan, dan Tantangan Implementasi Kebijakan Desentralisasi Fiskal di Masa Pandemi Covid-19” dengan moderator Christine Tjen, S.E., Ak., M.Int.Tax, CA., Dosen FEB UI.
Ari Kuncoro, sebagai narasumber dari UI, memaparkan bahwa konsep kebijakan survival yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi pandemi Covid-19, yakni stimulus fiskal I sebesar Rp.10 triliun, stimulus fiskal II sebesar Rp148 triliun, stimulus fiskal III sebesar Rp405 triliun, dan pemulihan ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp152 triliun.
Pemerintah pusat dan daerah harus bersinergi menerapkan konsep APBN sektoral yang berada di naungan pemerintah pusat dan bisa diimprovisasi menjadi gugus tugas (task force), yang diketuai oleh Menko Perekonomian, Ketua Pelaksana Menteri BUMN, Wakil Ketua Pelaksana KASAD, LKPP. Sedangkan, pemerintah daerah lebih menyerupai gugus tugas namun berbeda dengan pemerintah pusat.
“Pasca diterapkannya perubahan dari UU Nomor 34 Tahun 2000 menjadi UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang bertujuan untuk memperbaiki sistem pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dengan sistem closed list, penguatan perpajakan daerah (local taxing empowerment), meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah, menyempurnakan pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah, dan meningkatkan iklim usaha,” ujar Ari.
Sementara itu, PEN dilakukan untuk menyambung kembali sisi penawaran atau kapasitas produksi perekonomian dengan sisi permintaan masyarakat, sekaligus menyuntikan daya beli baru ke dalam arus melingkar pendapatan Nasional. Selain Kementerian PUPR, Perhubungan, KOMINFO, BUMN dan PDTT merupakan system integrator. Kementerian BUMN yang membawahi BULOG, transportasi, infrastruktur, dan pembiayaan juga merupakan system integrator. Selain itu, Kemendes dapat memfasilitasi UMKM terutama di pedesaan, di antaranya melalui digitalisasi rantai pasokan kota-desa yang akan membantu pemulihan ekonomi, karena 63% dari PDB dihasilkan oleh sektor ini.
“Kebiasaan baru dari kelas menengah dapat digunakan sebagai pijakan PEN di triwulan III dan IV 2020, seperti fenomena semaraknya hobi olahraga bersepeda di berbagai kota. Dampaknya akan terlihat pada sektor perdagangan dan manufaktur sebagai akibat kebutuhan baru untuk pakaian olahraga, suplemen kesehatan (vitamin), dan alat-alat olahraga. Bagi sektor pariwisata, perilaku baru ini berpotensi untuk memunculkan permintaan jasa jenis baru yang customized jemput bola dari pintu ke pintu dengan pelanggan berbasis keluarga inti atau keluarga besar. Jasa pariwisata baru ini juga menyeimbangi kesehatan, privasi, dan kodrat manusia sebagai makhluk sosial,” demikian Ari menutup sesinya. (hjtp)