J Soedradjad Djiwandono: Apa yang Diharapkan dari BI
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (17/9/2020) Guru Besar Ekonomi Emeritus, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia merilis tulisannya yang dimuat Harian Kompas, rubrik Opini, halaman 6, berjudul “Apa yang Diharapkan dari Bank Indonesia”. Berikut tulisannya.
“Apa yang Diharapkan dari Bank Indonesia”
Akhir-akhir ini ramai dibahas berita bahwa pemerintah dan Badan Legislatif DPR sedang menyusun RUU perubahan ketiga UU No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Ada sejumlah butir yang menurut naskah yang beredar akan diubah atau diganti. Dari butir-butir tersebut ada dua perubahan yang ingin saya bahas di kolom ini. Butir-butir ini menyangkut status, tugas, dan tanggung jawab yang melekat pada kebanyakan bank sentral di dunia. Semua saya anggap sangat penting untuk keberadaan dan berfungsinya bank sentral secara efektif sebagai otoritas moneter.
Saya menyampaikan pandangan saya dengan mengacu pada latar belakang kebanksentralan dalam kacamata ekonomi moneter-perbankan atau pengalaman waktu di BI. Pengalaman tersebut menyangkut penanganan waktu Indonesia menghadapi tantangan sangat sulit, meskipun bukan paling sulit, yakni krisis keuangan Asia ( Asian Financial Crisis / AFC) 1997/1998.
Bagi Indonesia yang bersama Thailand dan Korea Selatan menjadi episentrumnya, krisis yang dimulai dari depresiasi drastis rupiah menjalar secara cepat dan sistemik menjadi krisis perbankan, ekonomi, sosial dan politik, serta akhirnya krisis total yang menumbangkan Presiden Soeharto setelah berkuasa selama 32 tahun. Saya banyak menulis tentang pengalaman tersebut dan tentang status BI yang menjadi mandiri atau independen dengan lahirnya UU No 23/1999.
Tanpa mengurangi arti aspek yang lain, saya akan memusatkan pembahasan pada dua hal pokok, yaitu perubahan fungsi dan tugas pokok serta status independen BI. Apakah arti dan implikasinya serta catatan saya mengenai perubahan-perubahan yang diusulkan tersebut.
Saya menilai motivasi penyusunan perubahan UU BI ini bermula dari langkah-langkah yang dilaksanakan otoritas fiskal dan moneter-perbankan-keuangan yang disinkronkan dan dikoordinasikan untuk menangani pandemi Covid-19. Langkah-langkah itu dalam ranah keuangan negara dan kestabilan sistem keuangan, yang timbul dari atau bersangkutan dengan kebijakan penanganan masalah yang menjadi tantangan luar biasa kesehatan masyarakat (public health) dan perekonomian nasional.
Langkah-langkah itu diberi payung berupa perppu, yakni Perppu No 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 yang kemudian diundangkan menjadi UU No 2/2020. Tampaknya peraturan perundangan ini dikeluarkan untuk memberi landasan hukum kepada langkah-langkah yang diambil Kementerian Keuangan, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mengambil tindakan yang luar biasa menghadapi tantangan luar biasa tersebut.
Mungkin ini dilakukan mengingat pengalaman masa silam, terutama penanganan krisis 1997/1998 dan sedikit banyak implikasi krisis keuangan dunia 2008 yang menimbulkan masalah hukum. Krisis 1997/1998 bersifat regional, tetapi Indonesia salah satu episentrumnya. Krisis 2008 bersifat global, tetapi episentrumnya di AS dan Eropa. Indonesia dan negara Asia hanya periferi, karena itu daya rusak krisis pertama buat Indonesia lebih besar dari yang kedua.
Pelaksanaan dari kebijakan itu sendiri harus terus dimonitor untuk mendeteksi seberapa konsekuen dilaksanakan dan efektif tidaknya dalam mencapai sasaran yang diinginkan serta ada tidaknya implikasi negatif, sebagai petunjuk sekiranya diperlukan langkah penyesuaian. Saya melihat keluarnya peraturan perundangan itu dalam kondisi dan suasana di Tanah Air sekarang ini adalah suatu langkah kehati-hatian yang wajar dilakukan. Misalnya, dalam penerapan Quantitative Easing (QE), saya mencatat, pengalaman negara-negara maju menunjukkan masih banyaknya implikasi yang belum seluruhnya dapat diatasi, sekiranya diinginkan untuk kembali pada kondisi normal sementara kondisi normal baru belum tertanam.
Pertanyaan sekarang adalah apakah RUU untuk perubahan ketiga UU BI No 23 Tahun 1999 itu langkah yang tepat untuk menyempurnakan pelaksanaan kebijakan menangani pandemi yang berlandaskan kepada UU No. 2 Tahun 2020?
Penambahan tugas kewenangan
Karena tugas BI yang hanya menyangkut kestabilan moneter dianggap terlalu sempit, diusulkan agar diperluas dengan menambahkan tugas untuk menunjang pembangunan ekonomi nasional. Ini bukan formulasi dalam pasalnya, melainkan rumusan saya setelah mempelajari perumusan di naskahnya.
Dalam persiapan lahirnya UU ini, pemerintahan Presiden Habibie mengundang sejumlah ahli kebanksentralan dari luar, yang diketuai Dr Schlesinger, mantan Presiden Bundesbank (bank sentral Jerman). Tak mengherankan dalam memberikan status mandiri (independen) kepada BI sebagai bank sentral, diputuskan mengambil pola seperti berlaku di Bundesbank. BI punya tugas dan tanggung jawab tunggal, menciptakan dan memelihara kestabilan moneter dan jadi bank sentral yang mandiri.
Artinya, tak dibenarkan adanya intervensi dari pihak eksekutif ataupun legislatif terhadap BI sebagai bank sentral. Status kemandirian bank sentral sebagai pemegang otoritas moneter menjadi conventional wisdom baru di Asia dan negara-negara lain karena pengalaman pahit AFC, di mana kebanyakan bank sentral di negara berkembang Asia, termasuk Indonesia, mempunyai bank sentral atau otoritas moneter yang merupakan bagian dari pemerintah.
Menurut saya, penambahan tugas BI sebagai otoritas moneter yang menunjang pembangunan ekonomi nasional bukan saja wajar, melainkan sebaiknya demikian. Bahkan, saya sudah beberapa kali menulis ataupun menyampaikan dalam berbagai fora sebagai pembicara yang membahas permasalahan ini sejak lahirnya UU No 23 Tahun 1999.
Saya berkali-kali mencari tahu tentang permasalahan ini sejak diundangkannya peraturan perundangan tersebut. Namun, biasanya memperoleh jawaban bahwa tugas itu secara implisit ada, BI tak bisa mengabaikan sasaran pembangunan, baik itu menyangkut pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, penghapusan kemiskinan, pemerataan bahkan di era sejak dimulainya development decade, perubahan iklim, maupun era digital. Saya awam ilmu hukum, tetapi saya berpendapat ketentuan hukum itu tak dapat didasarkan secara implisit saja. Ketentuan yang demikian penting harus eksplisit, malah spesifik dan jelas agar tak menimbulkan masalah dalam interpretasi pelaksanaannya. Ketentuan yang jelas juga penting untuk akuntabilitas lembaga itu.
Tentang independensi BI
Sepanjang yang saya tangkap dari naskah yang bisa dibaca ataupun diskursus yang berkembang, saya melihat bahwa, antara lain karena ada pendapat yang mengatakan bahwa kemandirian BI sudah keterlaluan, seperti negara dalam negara, maka dalam RUU dicantumkan ketentuan untuk mengoreksi status kemandirian itu. Buat saya ini suatu prinsip, suatu hitam putih, atau ada atau tidak. Tak ada beda secara prinsip antara mengurangi dan menghilangkan status kemandirian.
Dengan kata lain, dalam RUU dimasukkan ketentuan untuk menghilangkan kemandirian BI sebagai otoritas moneter dengan mengalihkan tugas dan kewenangan menyusun dan mengimplementasikan kebijakan moneter ini kepada suatu lembaga baru, Dewan Moneter (DM).
Sepertinya mengambil dari ketentuan lama (UU No 13/1968 tentang Bank Sentral), disesuaikan dengan kondisi sekarang, diusulkan DM beranggotaan Menkeu (anggota merangkap ketua), satu atau lebih menteri ekonomi lain, Gubernur BI, satu anggota Dewan Gubernur BI, dan Ketua Komisaris OJK.
Saya juga banyak menulis ini karena ikut merasakan bagaimana keterbatasan ruang gerak kami di BI waktu ikut menangani krisis keuangan 1997/1998. Semua kebijakan moneter dan perbankan serta pengawasannya yang masih ada di BI waktu itu termasuk kebijakan restrukturisasi perbankan, disusun dan dibahas sampai jadi keputusan DM terlebih dulu sebelum dapat dilaksanakan BI.
Karena itu, menurut saya, pengambilan status independensi BI dan mengalihkan tugas kewenangan otoritas moneter ke DM yang diketuai Menkeu akan membawa risiko kurang efektifnya sektor moneter-perbankan menunjang sektor riil dalam perekonomian nasional. Sebaliknya, BI yang independen seperti ditunjukkan dalam kebijakan dalam menghadapi pandemi, yakni burden sharing (berbagi beban) dengan Kemenkeu sebagai otoritas fiskal juga telah berjalan melalui pelaksanaan QE oleh BI.
Mengenai kemandirian BI, saya ingin menekankan bahwa dari pengalaman kebanyakan perekonomian di dunia maupun BI saat penanganan krisis keuangan 1997/1998, kemandirian bank sentral sebagai pemegang tanggung jawab dan tugas otoritas moneter sangat diperlukan. Selain itu, kemandirian juga tak menafikan kerja sama, koordinasi, maupun sinkronisasi kebijakan bersama lembaga-lembaga lain karena kemandirian yang melekat pada lembaga-lembaga disertai pertanggungjawaban, akuntabilitas yang harus ketat dipatuhi.
Ibarat menghadapi pandemi Covid-19, orang mengenakan masker untuk melindungi orang lain dari penularan, sekiranya kita jadi agen penular. Karena itu, apabila semua melakukannya, akhirnya semua menjadi terlindung dari bahaya penularan, semuanya saling melindungi. Kemandirian yang disertai akuntabilitas tak menghalangi kerja sama dan sinkronisasi kebijakan, tetapi justru lebih menjamin hasil optimal buat semua.
Mengenai tugas dan tanggung jawab pembangunan, bukannya untuk meniru negara lain, tetapi saya ingin menekankan bahwa bahkan negara yang ekonominya paling maju dan paling kaya, AS, otoritas moneternya, The Fed, masih punya tanggung jawab pembangunan, dirumuskan secara umum yang intinya menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi ataupun kesempatan kerja penuh. Indonesia yang masih emerging sudah selayaknya mempunyai bank sentral yang salah satu tugas pokoknya adalah menunjang pembangunan nasional.
Kalau ini diartikan sebagai menambah pekerjaan BI sebagai otoritas moneter, agak aneh bahwa tambahan tugas ini diberikan dengan menurunkan statusnya sebagai lembaga mandiri, ibarat seseorang disuruh kerja ekstra, tetapi diturunkan pangkatnya. (hjtp)
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Kamis, 17 September 2020. Rubrik Opini. Halaman 6.