Peneliti LD FEB UI: Dilema WFH bagi Perempuan Karier, Ini Saran Akademisi
Hana Fajria – Humas FEB UI
DEPOK – Peneliti lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rihlah Romdoniah melakukan kegiatan penelitian LD yang dimuat media, dimuat pada news.detik.com pada laman berita, pada Rabu (26/8/2020). Berikut artikelnya.
Dilema WFH bagi Perempuan Karier, Ini Saran Akademisi
Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ketat kembali diberlakukan di Ibu Kota. Aktivitas bekerja pun ikut terdampak dengan aturan work from home (WFH) yang kembali diperketat setelah munculnya klaster COVID-19 di perkantoran.
Mungkin sebagian dari pekerja sudah mulai terbiasa dengan cara bekerja baru dari rumah tersebut. Seiring berjalannya waktu, WFH pun dimaknai hanya sekadar memindahkan tempat bekerja dari kantor ke rumah. Namun, ternyata WFH memiliki makna yang berbeda bagi para perempuan karier yang sudah menikah apalagi bagi mereka yang mempunyai buah hati.
Peneliti Lembaga Demografi Universitas Indonesia Rihlah Romdoniah mengatakan bekerja dari rumah bagi para perempuan menikah dan memiliki anak mempunyai makna lain yaitu ‘mengerjakan peran utama perempuan dan mengerjakan tugas kantor dalam satu waktu’.
Hal ini diperparah dengan liburnya berbagai kegiatan anak seperti sekolah, tempat penitipan anak dan bayi, serta anjuran tidak berkunjung ke sanak keluarga selama pandemi COVID-19.
“Selama ini pandangan masyarakat terhadap peran perempuan khususnya di Indonesia menggunakan kacamata pembagian gender yang masih tradisional. Di mana masyarakat masih memiliki pandangan bahwa perempuan memiliki peran utama sebagai istri dan ibu,” ungkapnya dalam keterangan tertulis BKKBN, Kamis (17/9/2020).
Rihlah mengatakan ketika seorang perempuan bekerja, hal tersebut juga berarti perempuan tersebut harus mampu memenuhi peran utamanya sebagai perempuan dan sebagai pekerja sekaligus.
Rihlah juga menyebutkan sebuah studi yang telah dilakukan oleh Diahhadi Setyonaluri dari Lembaga Demografi FEB UI menunjukkan bahwa perempuan bekerja di Jabodetabek, khususnya yang bekerja di Jakarta merasa berat dan kesulitan menjalani peran sebagai pekerja sekaligus ibu.
“Para ibu tidak leluasa memilih dan tidak sedikit pada akhir cerita, para ibu terpaksa meninggalkan karier demi keluarga,” ungkapnya.
Menurut Rihlah, Data Survei Angkatan Kerja Nasional Tahun 2019 menunjukkan bahwa Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Perempuan Indonesia usia 15 tahun ke atas sebanyak 55,5%. Hal tersebut memperlihatkan sebagian besar perempuan usia 15 tahun ke atas di Indonesia aktif secara ekonomi.
“Dengan begitu, tentunya pembagian peran gender yang masih tradisional sudah tidak relevan untuk tetap digunakan,” imbuhnya.
Rihlah mengatakan peran sebagai istri dan ibu bekerja membuat mereka merasakan berat dan kesulitan. Kondisi WFH saat ini memberikan mereka beban tambahan karena harus mengerjakan semuanya dalam satu waktu.
“Dengan kondisi seperti itu, tentunya para ibu yang bekerja tidak dapat mengerjakan tugas kantornya dengan optimal,” ungkapnya.
Rihlah menyebutkan seorang peneliti bernama Becker (1965) dalam karyanya A Theory of the Allocation of Time mengungkapkan setiap individu memiliki waktu yang akan dialokasikan untuk bekerja ataupun untuk kegiatan lainnya. Keputusan untuk bekerja pada dasarnya adalah sebuah keputusan tentang bagaimana menggunakan waktu yang dimiliki.
“Setiap individu dapat menggunakan waktu yang tersisa untuk aktivitas-aktivitas leisure seperti aktif dalam kegiatan sosial, budaya, mengurus rumah tangga, mengurus anak ataupun untuk berlibur sambil menjalankan hobi dari individu tersebut. Teori tersebut telah dibuktikan secara empiris dalam berbagai studi yang menunjukkan bahwa pentingnya peran dan bantuan anggota keluarga dapat menambah partisipasi perempuan bekerja,” paparnya.
Menurut Rihlah, dalam kondisi pandemi saat ini, ketika masih banyak para perempuan bekerja yang masih melaksanakan WFH, tentunya teori di atas masih relevan. Liburnya berbagai kegiatan anak seperti sekolah, tempat penitipan anak dan bayi, serta anjuran tidak berkunjung ke sanak-keluarga dapat menambah tugas mereka setiap harinya.
“Hal itu mengakibatkan waktu ibu untuk mengerjakan tugas kantor menjadi berkurang karena selain harus mengerjakan tugas domestik, ibu juga harus menjaga anaknya ketika jadwal anak biasanya berkegiatan di luar rumah,” ungkapnya.
Idealnya, ketika terdapat penambahan tugas maka harus diiringi dengan penambahan waktu. Akan tetapi Rihlah mengatakan hal tersebut tidak mungkin, karena dalam satu hari hanya terdapat 24 jam.
“Sehingga ibu bekerja memerlukan waktu tambahan yang berasal dari luar dirinya anggota keluarga untuk membantu ibu bekerja mengerjakan peran sebagai ibu maupun istri,” imbuhnya.
Rihlah memberi contoh ketika suami menggunakan waktu luangnya untuk mengambil alih tugas menjaga anak, maka istrinya dapat menggunakan waktunya secara optimal untuk mengerjakan tugas kantor. Hal tersebut tentu akan lebih efektif dan menguntungkan keluarga, karena dengan waktu yang terbatas, suami maupun istri tidak akan kehilangan waktu dalam mengerjakan tugas kantor.
Dengan demikian, pendapatan keluarga tidak berkurang karena jam kerja dari setiap orang tidak berkurang.
“Kesetaraan gender (gender equity) dapat dimaknai sebagai kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia dalam berperan dan berpartisipasi di segala bidang. Kesetaraan gender juga bukan hanya persoalan pencapaian persamaan status dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki, tetapi juga dapat bermakna sebagai persoalan pencapaian persamaan peranan,” ungkapnya.
Rihlah pun mengakui sampai saat ini, kesetaraan gender di Indonesia masih sering dipahami sebatas kesamaan perempuan untuk mendapatkan pendidikan. Kesetaraan gender tidak berarti bahwa perempuan dan laki-laki akan menjadi sama.
Konsep tersebut bermakna bahwa bahwa hak-hak, tanggung jawab dan peluang perempuan dan laki-laki tidak akan bergantung pada apakah mereka dilahirkan laki-laki atau perempuan.
“Sayangnya sampai saat ini, tidak semua aspek dapat dibuat setara. Misalnya pembagian peran dalam keluarga. Pembagian peran ini masih terikat pada pembagian peran gender yang masih tradisional, dimana perempuan yang bertugas untuk mengerjakan semua tugas domestik dan menjaga anak,” jelasnya.
Menurutnya peran perempuan dalam keluarga tersebut sering dianggap sebagai kodrat atau tugas alamiah perempuan. Anggapan ini merupakan anggapan yang keliru, karena tugas alamiah perempuan hanya hamil, melahirkan dan menyusui.
“Tugas tersebut disebut sebagai tugas alamiah perempuan karena memang tidak dapat dipindahtangankan kepada laki-laki,” imbuhnya.
Rihlah mengungkapkan di masa work from home ini, setiap anggota keluarga laki-laki tentunya melihat secara langsung bagaimana beratnya beban perempuan bekerja. Dalam waktu yang sama, perempuan bekerja perlu mengerjakan tugas kantor dan tugas domestik.
Padahal, berdasarkan konsep kesetaraan gender, idealnya tugas domestik dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.
“Jadi bukan suatu hal yang memalukan ketika suami mengambil alih tugas mencuci baju atau menyetrika dan sebagainya,” ungkapnya.
Rihlah pun berharap WFH dapat menjadi momentum masyarakat untuk melakukan refleksi, apakah pembagian tugas domestik sudah setara. Bekerja dari rumah sekaligus melakukan tugas rumah tangga tentu tidak mudah.
“Diperlukan kesepakatan antara ibu/istri dengan ayah/suami, atau bahkan anggota keluarga lain mengenai pembagian tugas domestik. Dengan cara inilah, perempuan bekerja dapat meraih kinerja optimal di tengah tugas-tugas domestiknya,” pungkasnya. (hjtp)
Sumber: https://news.detik.com/berita/d-5177297/dilema-wfh-bagi-perempuan-karier-ini-saran-akademisi