Kuliah Umum MAKSI-PPAk. FEB UI, “House of Cards – a Case Study from Life Insurance Company”
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (23/10/2020) Magister Akuntansi – Pendidikan Profesi Akuntan (MAKSI-PPAk.) FEB UI mengadakan webinar Kuliah Umum, dengan topik “House of Cards – a Case Study from Life Insurance Company”. Acara ini diisi oleh narasumber Dannif Danusaputro, S.E., MBA, Direktur Utama PT. Mandiri Sekuritas, dengan moderator Prof. Dr. Budi Frensidy, Ak., CA, Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI, pada Jumat (23/10/2020), dan dibuka oleh Plt. Ketua Program Studi MAKSI-PPAk., serta Ketua Departemen Akuntansi FEB UI, Dr. Ancella A. Hermawan.
Dannif Danusaputro, memaparkan bahwa Jiwasraya merupakan salah satu perusahaan asuransi jiwa tertua di Indonesia, dengan kepemilikan penuh oleh pemerintah dan pengalaman yang mendalam. Jiwasraya telah menyediakan produk asuransi jiwa yang beragam melalui berbagai network distribusi (sistem kantor cabang, bancassurance, korporasi). Tipe produk yang ditawarkan berupa ritel, grup, korporat, dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Pendapatan premi historis Jiwasraya dalam 5 tahun terakhir, yaitu 10,21 triliun rupiah (2015), 18,08 triliun rupiah (2016), 21,92 triliun rupiah (2017), 10,66 triliun rupiah (2018), dan 3,19 triliun rupiah (2019).
Kondisi Jiwasraya saat ini, produk ritel 316.094 peserta, dengan target market masyarakat umum melalui saluran distribusi berupa agency dan captive market melalui worksite team; pensiunan dan korporasi 2,30 juta peserta, dengan target program pensiun dan proteksi melalui relationship team; dan bancassurance 17.459 peserta, dengan target masyarakat umum melalui bank mitra. Selain itu, Jiwasraya sedang mengalami kesulitan membayar hutang klaim per Agustus 2020 sebesar Rp18,8 triliun dan mengalami defisit ekuitas (insolvent).
Sambung Dannif, ada empat kategori akar masalah yang dihadapi Jiwasraya. Pertama, permasalahan fundamental berupa masalah likuiditas dan solvabilitas Jiwasraya yang sudah terjadi sejak 2008 dan tidak diselesaikan dengan solusi yang tepat, kemudian window dressing laporan keuangan akibat kebijakan reasuransi dan revaluasi aset sejak 2008 hingga 2017, serta penerbitan produk asuransi yang bersifat investasi dan bergaransi bunga tinggi untuk memenuhi likuiditas. Kedua, product mispricing berupa produk tradisional dengan skema garansi jangka panjang (sampai 14% net), model bisnis yang merugikan sepanjang usia produk, dan produk savings plan ditawarkan melalui bancassurance dengan Guaranteed Return sebesar 6% – 10,35% net p.a. selama 2008 – 2018 dengan periode pencairan setiap tahun.
Ketiga, reckless investment activities (GCG lemah) berupa saham 22,4% (Rp5,7 triliun) dari jumlah aset finansial dan hanya 5% saham LQ45, reksadana 59,1% (Rp14,9 triliun) dari jumlah aset finansial dan hanya 2% yang dikelola oleh Top Tier manajer investasi di Indonesia. Keempat, tekanan likuiditas dari produk savings plan berupa penurunan kepercayaan nasabah terhadap produk saving plan, menyebabkan naiknya pencairan dan penurunan penjualan, tidak ada backup asset yang cukup untuk memenuhi kewajiban dengan rasio kecukupan investasi hanya 28% di 2017, dan gagal bayar.
“Hal ini berdampak pada kondisi keuangan Jiwasraya yang mengalami penurunan aset sangat besar yang tidak diimbangi dengan peningkatan aset lainnya, pencadangan yang selama ini dibukukan/dicatat dalam laporan keuangan ternyata tidak mencerminkan nilai cadangan yang seharusnya dicatatkan. Sementara, Jiwasraya mengalami krisis kepercayaan dari pemegang polis sejak tahun 2018 yang berdampak pada penurunan premi dan meningkatnya piutang,” demikian Dannif menutup sesinya. (hjtp)