Budi Frensidy: Cemas Emas Akan Melemas
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – Senin (7/12/2020), Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal FEB UI, Budi Frensidy merilis tulisannya yang dimuat koran Kontan, rubrik Bursa – Wake Up Call, halaman 4, yang berjudul “Cemas Emas Akan Melemas”. Berikut artikelnya.
“Cemas Emas Akan Melemas”
Emas sudah lama populer sebagai sarana investasi yang aman. Investor percaya bahwa emas, selain saham dan properti, dapat memberikan keuntungan di atas inflasi. Namun kenyataannya, emas harganya naik-turun dan mempunyai beberapa kelemahan sebagai alternatif investasi.
Harga emas pernah mencapai US$ 850 per ons troi (sekitar 31,1 gram) pada awal 1980. Lalu kemudian harga turun ke rekor terendahnya di US$ 252 pada tahun 1999. Selama 24 tahun (1981-2005), emas dihargai di kisaran US$ 400 dan mulai bangkit pada periode 2005-2008.
Lalu terjadilah krisis subprime mortgage di Amerika Serikat (AS) yang membuat emas diburu orang. Harganya naik dua kali lipat hanya dalam kurung waktu tiga tahun (2008-2011) dan menembus US$ 1.900 pada akhir Agustus 2011, dengan kenaikan rata-rata 26% p.a.
Setelah itu, harga emas meredup seiring dengan pulihnya perekonomian AS. Investor meninggalkan emas dan mengalihkan dananya ke saham dan obligasi. Emas sempat ditutup pada harga US$ 1.050 per ons pada November 2015, atau merosot 45% dalam empat tahun, dari harga tertingginya di 2011 atau 13,7% per tahun.
Emas vs Saham
Selama satu abad terakhir (1920-2020) harga emas di AS naik rata-rata 4,6% per tahun. Angka ini di bawah return rata-rata saham di sana (berdasarkan indeks S&P 500) yang mencapai 6,5% per tahun. Ini belum memperhitungkan dividen yang diterima investor.
Selama 10 tahun, terakhir indeks S&P 500 melejit 202% atau 11,7% p.a. Hasil ini juga mengalahkan emas, yang hanya naik 31,4% (2,8% p.a.). Untuk kurun waktu lima tahun pun, kinerja instrumen saham lebih gemilang dengan keuntungan 78,1% (12,2% p.a.) berbanding 70,7% dari emas (11,3% p.a.).
Terlepas kesamaan dalam hal volatilitas yang tinggi dan return yang mampu mengalahkan inflasi tahunan, emas dan saham punya banyak perbedaan. Pertama, emas tidak memberikan penghasilan periodik seperti saham dengan dividennya atau properti dengan uang sewanya.
Kedua, untuk keamanan dan kenyamanan, investasi dalam emas memerlukan biaya penyimpanan (storage). Hal ini tidak ada dalam saham.
Ketiga, harga emas umumnya berhubungan terbalik dengan kondisi perekonomian, atau bersifat counter-cyclical. Artinya, saat pasar dan perekonomian bullish, harga emas cenderung tertekan. Sebaliknya, emas akan dicari dan diburu ketika terjadi ketidakpastian besar, seperti terjadinya perang atau krisis sehingga harganya akan naik.
Ini berkebalikan dengan harga saham yang bergerak sesuai kondisi perekonomian, yaitu naik ketika bullish dan turun ketika bearish. Implikasinya, emas adalah investasi yang baik untuk mereka yang sudah memiliki saham, karena berkorelasi negatif.
Keempat, spread untuk jual-beli emas relatif besar dan jauh di atas biaya transaksi saham. Selisih beli dan jual emas (spread) di PT Antam bisa mencapai belasan persen. Misal, harga beli di Rp960.000 dan jual di Rp837.000 per gram. Plus masih ada pajak pula.
Di toko emas juga tidak banyak berbeda. Bandingkan dengan biaya transaksi saham yang hanya sekitar 0,4%, yaitu untuk beli sekitar 0,15% dan jual 0,25%.
Namun, Anda dapat meminimalkan biaya transaksi emas ini dengan jual-beli di komunitas para investor pencinta emas yang sekarang marak. Konon Anda dapat membeli di harga yang sedikit lebih murah daripada harga Antam dan menjual dengan spread hanya 1%-2% dari harga beli.
Kelima, investasi emas tidak menjanjikan kemakmuran dan pertumbuhan karena tidak menggerakkan sektor riil. Dana Anda akan lebih berguna jika diinvestasikan di pasar modal, karena akan dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru melalui ekspansi usaha dan peningkatan produksi sektor riil.
Karena alasan terakhir inilah, Warren Buffett sangat tidak menyukai emas. Saya sependapat dengan dia, sehingga tidak tertarik dengan emas. Plato bahkan sudah menuliskan kelemahan ini sejak ribuan tahun lalu. “Emas yang berada di bawah atau di atas bumi tidak cukup untuk ditukar dengan kebajikan,” kata dia.
Kasus Indonesia
Bagaimana dengan return emas versus saham di Indonesia? Saham mengungguli emas dalam 20 tahun terakhir, yaitu 1.395,7% berbanding 884,8%. Namun, harga emas dalam rupiah dapat mengalahkan indeks saham dalam 5 dan 10 tahun terakhir, dengan memperhitungkan yield dividen tahunan yang mencapai 2,5% sekalipun.
Harga emas melesat 74,6% dalam lima tahun terakhir, atau rata-rata 11,8% per tahun. Sementara IHSG hanya mampu naik 28,9% atau 5,2% p.a. Untuk periode sepuluh tahun pun emas naik 111,8% (7,8% p.a.), meninggalkan emas dengan return 57,2% (4,6% p.a.).
Sebenarnya, harga emas di Indonesia tergantung dua variabel, yaitu harga komoditas tersebut dalam dollar AS dan nilai tukar dollar AS terhadap rupiah. Jika harga emas dunia naik dan kurs dollar AS menguat, harga emas dalam rupiah akan melonjak lebih tinggi. Sebaliknya, harga emas dalam rupiah akan turun jika harganya di pasar dunia merosot atau kurs dollar AS melemah.
Kinerja emas di Indonesia yang jauh lebih baik daripada kinerja emas di AS dalam 10 tahun terakhir. Ini terutama karena faktor terus menguatnya dollar AS terhadap rupiah, yaitu 47,5%, dari Rp9.562 di akhir 2010 menjadi Rp14.105 saat ini.
Ke depan, emas dapat saja menjadi lemas dengan membaiknya ekonomi AS dan dunia, seiring tersedia dan efektifnya vaksin untuk mengatasi pandemi. Emas sejatinya kurang menarik, karena tidak memberikan penghasilan periodik dan tidak menggerakkan sektor riil.
Namun, untuk tujuan diversifikasi dalam usaha menurunkan risiko, cukup bijak jika seorang investor saham mengalokasikan sebagian portofolionya dalam emas. Emas akan berkilau jika terjadi perang, depresi, resesi, atau kelesuan ekonomi, seperti yang terjadi saat ini. (hjtp)
Sumber: Koran Kontan. Edisi: Senin, 7 Desember 2020. Rubrik Bursa – Wake Up Call. Halaman 4.