Ari Kuncoro: Pembatasan Kegiatan Masyarakat
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (12/1/2020) Profesor Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia, merilis tulisannya yang dimuat Harian Kompas, rubrik Analisis Ekonomi, berjudul “Pembatasan Kegiatan Masyarakat”. Berikut tulisannya.
“Pembatasan Kegiatan Masyarakat”
Setelah melihat dampak ekonomi dari karantina wilayah yang diterapkan di awal pandemi, beberapa negara Eropa mengubah pendekatan menjadi lebih mikro dan proporsional dengan sumber penularan. Langkah itu diambil karena masyarakat lebih kritis, bahkan sampai berdemonstrasi, setelah mengetahui dampak terhadap pendapatan dan kesempatan kerja.
Situasi kembali berubah ketika ditemukan varian virus baru yang lebih menular di Inggris, kemudian ditemukan juga di negara lain. Semula jam operasionalisasi restoran dan bar dikurangi, seperti di Inggris, Jerman, dan Spanyol. Namun, beberapa negara Eropa dan Asia, seperti Inggris, Jerman, dan Thailand, memberlakukan karantina wilayah (lock-down) karena kapasitas rumah sakit tidak cukup.
Pilihan ini tak mudah karena ada potensi kontraksi dalam, seperti pada triwulan II-2020. Pertumbuhan ekonomi yang terganggu dapat mengurangi penerimaan pajak.
Pengetatan PSBB
Indonesia berada dalam situasi yang sama. Pelajaran dari libur panjang Oktober 2020 ialah peningkatan kasus positif baru yang terlalu tinggi, yang berdampak negatif pada konsumsi masyarakat. Potensinya dalam menghambat momentum pemulihan ekonomi cukup besar karena porsi konsumsi masyarakat sekitar 59 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Dampak libur Natal dan Tahun Baru, antara lain, terlihat dari lonjakan kasus baru pada Kamis (7/1/2021), dengan 9.321 kasus harian. Belajar dari pengalaman yang lalu, pemerintah tidak menunda lagi dan segera mengumumkan pengetatan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), 11-25 Januari.
Belajar dari pengalaman PSBB ketat pada September 2020, efek kejut pengumuman diminimalkan. Penekanan kebijakan baru ini ialah pembatasan dan, bukan pelarangan. Namun kebijakan diselaraskan menjadi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Syarat masuk ke daerah yang menerapkan PPKM dijelaskan secara rinci sehingga daerah memiliki diskresi.
Dampak ekonomi
Dampak ekonomi pengetatan PSBB terhadap perekonomian Indonesia akan terjadi di triwulan I-2021. Maka, usaha mencicil pertumbuhan positif pada triwulan III dan IV-2020 penting untuk menjaga momentum pertumbuhan. Angka pertumbuhan triwulan IV-2020 belum dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) sehingga untuk menelaah dampak ekonominya hanya dapat menggunakan variabel yang bersifat melihat ke depan. Variabel itu adalah indeks manajer pembelian (purchasing manager index/PMI) dari IHS Markit dan proporsi pendapatan yang dikonsumsi (average propensity to consume/APC) dari survei indeks keyakinan konsumen (IKK) oleh Bank Indonesia.
Efek kejut pengumuman PSBB total pada September 2020 menyebabkan PMI menyeberang kembali dari zona ekspansif 50,8 pada Agustus ke zona kontraktif 47,2 pada September atau turun 7,1 persen. Perubahan nama dari PSBB total menjadi PSBB ketat serta penjelasan yang lebih rinci dari aspek mikro kebijakan itu membuat PMI naik tipis ke 47,8 pada Oktober. Baru pada November PMI kembali ke zona ekspansif dengan angka 50,6.
Pembatasan mikro untuk meminimalkan negative spillover pada arus melingkar pendapatan masyarakat, baik melalui ekspektasi penanganan Covid-19 maupun dari sisi daya ungkit sektor konsumsi dan produksi. Misalnya, logistik kebutuhan pokok tetap beroperasi 100 persen dengan pengaturan jam operasionalisasi, kapasitas, dan prosedur kesehatan masyarakat. Guna memaksimalkan daya ungkit perekonomian, konstruksi diperbolehkan beroperasi 100 persen. Untuk meminimalkan penularan, sekolah tetap dilakukan secara daring. Porsi waktu bekerja dari rumah (WFH) ditingkatkan menjadi 75 persen.
Besaran PMI pada Desember 2020 sebesar 51,3. Artinya, sudah dua bulan berturut-turut PMI melebihi angka 50, sebagai batas antara kontraksi dan ekspansi produksi. Hal ini sebagai pertumbuhan produksi sektor manufaktur tercepat kedua dalam 10 tahun survei IHS Markit.
Namun, masyarakat konsumen juga mengamati tren penanganan pandemi. Di balik optimisme sisi produksi, ada kecemasan masyarakat konsumen, terutama kelas menengah atas, terhadap kasus harian positif baru yang meningkat sejak libur panjang akhir Oktober 2020. Dampaknya, konsumen lebih konservatif, ditandai penurunan APC dari 69,4 persen pada Oktober ke 68,8 persen pada November. Artinya, daya ungkit perekonomian menurun, padahal APC sudah naik dari 68,8 pada September, sebagai dampak perbaikan tren penanganan Covid-19.
Kasus positif Covid-19 baru turun tajam dari 4.634 pada 24 September menjadi 2.696 kasus pada 1 November. Efek tertunda libur panjang pada akhir Oktober baru terlihat pada 13 November dengan 5.444 kasus positif Covid-19 baru, yang memengaruhi APC November.
Situasi yang berbeda sebelum dan sesudah pandemi membuat pengukuran pertumbuhan dalam jangka pendek akan lebih apple to apple jika menggunakan pendekatan triwulanan. Secara umum, pola pemulihan triwulan I-2021 masih berbentuk V, tetapi lebih landai. Jika PPKM dapat menimbulkan ekspektasi positif terhadap penanganan pandemi, angka APC dapat mendekati 70 persen seperti pada Oktober silam. Momentum pemulihan ekonomi pun dapat dipertahankan pada 2021, apalagi jika dibarengi program vaksinasi yang sukses.
Yang tak terhindarkan, paling tidak untuk sementara, ialah dampak terhadap perdagangan serta akomodasi dan restoran (16 persen dari PDB) yang pada triwulan I-2021 diperkirakan hanya tumbuh masing-masing 2,85 persen dan 1,6 persen secara triwulanan. Namun, jika PMI dapat dipertahankan di atas 51, pertumbuhan manufaktur non-migas (17,6 persen dari PDB) dapat secara parsial mengompensasinya. Maka, proyeksi pertumbuhan ekonomi 2021 mungkin lebih konservatif mendekati median 4 persen ketimbang perkiraan sebelumnya. (hjtp)
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 12 Januari 2021. Rubrik Analisis Ekonomi. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.