Kontraksi Dipengaruhi Inkonsistensi
Oleh: Teuku Riefky, Ekonom LPEM FEB UI
JAKARTA, KOMPAS — (5/2/2021) Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 dipastikan terkontraksi. Tekanan terhadap perekonomian terjadi akibat inkonsistensi kebijakan pengendalian pandemi Covid-19.
Badan Pusat Statistik akan mengumumkan pertumbuhan ekonomi 2020 pada Jumat ini. Sejumlah ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2020 berkisar antara minus 2 persen dan minus 2,15 persen. Adapun proyeksi pemerintah antara minus 1,7 sampai 2,2 persen.
Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), Teuku Riefky, berpendapat, kontraksi ekonomi sepanjang 2020 secara umum disebabkan langkah penanganan krisis kesehatan yang kurang efektif dan efisien. Sistem penelusuran kontak dan pengetesan tak ada perbaikan signifikan sehingga kasus Covid-19 meningkat.
Selain itu, implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah juga tak optimal. Protokol kesehatan tidak diterapkan secara ketat sehingga penyebaran Covid-19 cukup masif. Akibatnya, PSBB berulang kali diberlakukan sehingga semakin memperburuk kontraksi ekonomi.
”Secara teori penerapan PSBB benar, tetapi dalam implementasinya sangat lemah sehingga dampak yang diinginkan tidak tercapai,” ujarnya, Kamis (4/2/2021).
LPEM UI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2020 berkisar minus 2 persen hingga minus 2,1 persen. Perekonomian RI akan terus tertekan selama pandemi Covid-19 belum bisa dikendalikan dan tidak ada tanda berakhir dalam waktu dekat. Aktivitas ekonomi paling buruk terjadi pada triwulan II dan III-2020.
Riefky menambahkan, pada tahun ini, pemerintah harus berkaca dari pengalaman tahun lalu. Tanpa penerapan dan implementasi protokol kesehatan yang ketat, pola perilaku masyarakat semakin lalai.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede memproyeksikan, ekonomi pada 2020 tumbuh negatif 2,15 persen. Faktor yang mendominasi kontraksi adalah konsumsi rumah tangga dan investasi. Pandemi Covid-19 menurunkan aktivitas ekonomi dan produktivitas sektor manufaktur, perdagangan, dan konstruksi.
”Pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan terendah sejak 1999, di mana pascakrisis moneter 1998 pertumbuhan ekonomi minus 13,13 persen,” ujar Josua.
Upaya memulihkan ekonomi dari kontraksi tidak mudah. Pemerintah harus fokus mengendalikan Covid-19 dan mengoptimalkan vaksinasi dalam rangka menciptakan kekebalan komunitas (herd immunity). Selain itu, anggaran pemulihan ekonomi juga harus dimanfaatkan dan diserap optimal.
Investasi
Pemerintah meyakini investasi bisa menopang pertumbuhan ekonomi 2021. Salah satunya melalui Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Namun, desain transformasi ekonomi lewat UU sapu jagat itu perlu diperjelas dengan strategi yang terarah dan terintegrasi lintas sektor.
Badan Koordinasi Penanaman Modal menargetkan realisasi investasi pada 2021 bisa mencapai Rp 858,5 triliun dengan porsi sektor sekunder atau manufaktur sebesar Rp 268,7 triliun atau 31,3 persen dari total investasi.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal, Kamis, mengatakan, pemerintah perlu memperjelas dan menyinkronkan desain transformasi ekonomi yang diinginkan lewat berlakunya UU Cipta Kerja dan berbagai peraturan turunannya.
UU Cipta Kerja bisa menjadi daya dorong, tetapi bukan satu-satunya faktor penarik investasi yang berkualitas. Untuk itu, dibutuhkan koordinasi strategi yang kuat lintas sektor. Sinkronisasi regulasi antara kebijakan investasi, perindustrian, dan perdagangan harus sejalan, demikian pula implementasinya di lapangan.
Risiko utang
Sementara itu, di tengah kebutuhan pembiayaan yang tinggi untuk menangani Covid-19 dan memulihkan ekonomi, pemerintah masih harus menanggung risiko utang. Sampai akhir 2020, total utang pemerintah Rp6.074,56 triliun. Sebanyak 86 persen utang itu berasal dari penerbitan surat berharga negara sebesar Rp 5.221,65 triliun, sedangkan sisanya pinjaman luar negeri.
Managing Director Political Economy and Policy Studies Anthony Budiawan mengatakan, pemerintah perlu mengambil strategi lain untuk membiayai belanja negara selain dengan berutang. Jika tetap mengandalkan utang, utang pemerintah pada 2022 bisa menembus Rp 8.669 triliun, dengan rasio utang lebih dari 52 persen.
”Pada akhir 2020, rasio utang terhadap produk domestik bruto mencapai 38,68 persen. Utang meningkat tajam karena pendapatan negara turun drastis akibat pandemi, sementara kebutuhan belanja meningkat untuk pemulihan ekonomi,” ujarnya.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Jumat, 5 Februari 2021. Rubrik Ekonomi dan Bisnis. Halaman 10.