Siklus Besar Komoditas
Oleh: Prof. Ari Kuncoro, Ph.D., Rektor Universitas Indonesia
KOMPAS (23/3/2021) – Baru-baru ini lembaga keuangan Goldman Sachs membuat pernyataan menarik bahwa pandemi Covid-19 memicu siklus besar komoditas global baru. Indeks komoditas Bloomberg secara tahunan sampai dengan Maret 2021 naik 11 persen, sedangkan secara kumulatif meningkat 40 persen dalam 52 pekan terakhir.
Hal ini mirip dengan situasi pascakrisis keuangan Asia pada 1998-1999. Saat itu Indonesia terdampak parah karena permintaan yang tertahan. Saat krisis, masyarakat menahan konsumsi dan fokus belanja dasar, seperti sandang dan pangan. Masyarakat pun menahan pengeluaran barang-barang tahan lama, seperti perjalanan wisata.
Setelah krisis berakhir, masyarakat melampiaskan keinginan tertahan yang mendorong perekonomian keluar dari resesi. Daya beli didukung suntikan siklus besar komoditas periode 2004-2012 yang surplusnya didaur ulang ke sektor-sektor non-traded good atau non-ekspor, seperti properti, perdagangan, dan jasa-jasa lainnya. Begitu kuatnya ledakan ini sehingga krisis keuangan global tidak dapat menghentikannya. Sebaliknya, efek permintaan tertahan dari krisis keuangan global memperpanjang siklus sampai 2012-2013.
Tiga komoditas besar
Ada tiga komoditas yang memimpin the new commodity supercycle ini (Home [2021]). Pertama, minyak yang diwakili West Texas Intermediate (WTI). Pandemi membuat stagnan harga minyak internasional. Euforia vaksin mendorong pedagang dan spekulan di negara-negara industri membongkar minyak. Akibatnya, harga minyak WTI yang sejak awal September 2020 tertahan pada 40-an dollar AS per barel pada pertengahan Desember 2020. Harga minyak menguji pasar, apakah memiliki fundamental menembus 60 dollar AS per barel.
Pemangkasan produksi negara-negara OPEC dan spekulasi di pasar komoditas berjangka terkait dengan mulusnya pemulihan ekonomi dunia turut mendongkrak harga minyak mentah.
Komoditas berikutnya adalah tembaga. Harga tembaga saat ini sekitar 9.000 dollar AS per metrik ton atau hampir mencapai titik tertingginya pada 2011. Kenaikan harga didorong pembukaan kembali perekonomian negara-negara industri dan stimulus fiskal di Amerika Serikat. Permintaan masyarakat terhadap barang-barang elektronik dan kendaraan diperkirakan melonjak.
Faktor berikutnya adalah pergeseran ke arah kendaraan listrik. Kendaraan listrik membutuhkan empat kali lebih banyak komponen berbasis tembaga dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar fosil. Asosiasi tembaga internasional memperkirakan permintaan akan naik dari 185.000 ton pada 2017 menjadi 1,74 juta ton pada 2027 (Kimani [2021]).
Dampak terhadap Indonesia
Seperti pola angsa terbang, pergerakan tiga besar komoditas itu akan mengerek harga komoditas lain. Hal ini dapat diamati dari neraca perdagangan Indonesia. Kinerja ekspor membaik sejak November 2020. Data Badan Pusat Statistik, neraca perdagangan Indonesia surplus 2,44 miliar dollar AS pada Februari 2021. Adapun akumulasi surplus pada Januari-Februari sebesar 3,96 miliar dollar AS.
Surplus disebabkan perbaikan harga komoditas, seperti minyak kelapa sawit yang naik 39,59 persen dibandingkan dengan Februari 2020. Sementara harga karet dan batubara naik masing-masing 45,49 persen dan 28,24 secara tahunan. Surplus neraca perdagangan nonmigas dapat menutupi defisit neraca migas yang pada Januari-Februari 2021 mencapai 1,11 miliar dollar AS.
Indonesia adalah pengimpor bersih minyak sehingga kenaikan harga minyak cenderung memperburuk neraca perdagangan. Namun, efek berantai harga komoditas membuat surplus neraca perdagangan dapat dipertahankan. Surplus penting sebagai faktor penyangga rupiah yang selama ini ditopang arus modal masuk portepel. Pada Januari Februari 2021, modal bersih masuk 8,5 miliar dollar AS sehingga neraca pembayaran masih sehat. Prospek pemulihan ekonomi AS akibat stimulus fiskal membuka peluang pergeseran modal portofolio global yang diwaspadai karena berpotensi meningkatkan arus modal keluar.
Repetisi
Siklus komoditas global 2004-2012 turut mengangkat Indonesia dari kontraksi ekonomi 1997-1998 sebagai akibat krisis keuangan Asia. Apakah akan terjadi lagi?
Harga minyak internasional pun kini naik-turun dalam jangka pendek mengikuti irama vaksinasi dunia. Penundaan vaksinasi AstraZeneca di delapan negara Eropa sambil menunggu tinjauan Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) munurunkan WTI sekitar 7 dollar AS dalam sepekan. Setelah EMA menyatakan AstraZeneca aman dan efektif, harga merangkak menjadi sekitar 60 dollar AS.
Terlalu dini menyimpulkan siklus besar komoditas ini akan mengulangi pola 2004-2012 di Indonesia. Selain menghasilkan pertumbuhan rerata 5,6 persen per tahun, dampak positif siklus itu adalah berkembangnya kelas menengah Indonesia. Namun, rasio gini juga meningkat, dari 0,346 pada 2006 menjadi 0,399 pada 2014.
Masih harus dilihat, apakah siklus komoditas besar baru akan memicu belanja kelas menengah. Walau setidaknya, hal ini akan menjadi daya dorong tambahan bagi perekonomian yang sudah mendapat stimulus bantuan sosial bagi masyarakat dan sektor produktif usaha mikro, kecil, dan menengah, serta program vaksinasi.
Ada sisi positif jika bonanza komoditas tidak sebesar periode 2004-2012. Efek tekanan ekspor komoditas yang sedang meledak terhadap sektor-sektor lain, khususnya manufaktur yang berpotensi ekspor, akan berkurang. Peluang fenomena yang dikenal sebagai Penyakit Belanda (Dutch disease) akan lebih kecil sehingga proses pemulihan ekonomi secara sektoral akan lebih seimbang.
Sumber: Harian Kompas. Edisi: Selasa, 23 Maret 2021. Rubrik Umum. Halaman 1 bersambung ke Halaman 15.