HSBC Fusion UKM Outlook 2021, “Transformasi UKM Indonesia: Bangkit dan Jadi Besar”
Rifdah Khalisha – Humas FEB UI
DEPOK-(18/3/2021) Dewi Meisari, Co-Founder – Chief Editor UKMIndonesia.id dan pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI menjadi narasumber dalam acara HSBC Fusion UKM Outlook 2021 bertajuk “Transformasi UKM Indonesia: Bangkit dan Jadi Besar” pada Kamis (18/3). Dalam acara, hadir pula Francois De Maricourt (Presiden Direktur PT Bank HSBC Indonesia), Teten Masduki (Menteri Koperasi dan UKM RI), Edhi Tjahja Negara, (Direktur Wealth and Personal Banking PT Bank HSBC Indonesia), serta Hanung Harimba Rachman (Deputi Bidang UKM Kementerian Koperasi dan UKM).
Menteri Teten memaparkan bahwa 58 persen pelaku UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) butuh dukungan modal untuk mempercepat pemulihan usahanya dari pandemi COVID-19. “Saat ini, sudah banyak pelaku UMKM yang menerima bantuan produktif usaha mikro sebagai bagian dari program Pemulihan Eknomi Nasional (PEN). Per 2 Desember 2020, anggaran dana tersebut sudah terserap 26,48 triliun rupiah atau 91,94 persen.”
Dewi mengungkapkan bahwa selama pandemi, daya beli menurun sehingga banyak pelaku UMKM mulai mencari inovasi baru, seperti mengoptimalkan fitur-fitur digital, memadukan beberapa merek dan produk, serta menyesuaikan produk agar lebih relevan dengan situasi sekarang.
“Gagasan UKMIndonesia.id telah berkembang sejak 2014, tetapi kami baru meluncurkannya pertama kali pada 14 September 2017. Kami menyediakan informasi dan wawasan bisnis tak berbayar, seperti perizinan dan program pendukung. Harapannya ini akan memudahkan pelaku UMKM, sehingga mereka bisa lebih fokus dalam hal inovasi dan ekspansi,” ujar Dewi.
Sampai akhir 2020, telah ada lebih dari 15.000 anggota komunitas. Bahkan, 51 persen mendapat pelatihan daring secara gratis sebagai layanan tambahan. Prioritas utamanya mengenai literasi digital dan keuangan.
Dewi menjelaskan bahwa terbentuknya UKMIndonesia.id tentu tak serta merta tanpa alasan, “Kami memilih peran ini karena stagnasi pada struktur skala bisnis di Indonesia masih relatif kecil. Terutama pada rasio usaha besar yang hanya 0,01 persen. Masih jauh dari negara yang lebih maju, seperti Uni Eropa 0,2 persen, Jepang 0,3 persen, dan China 0,4 persen.”
“Selain itu, belum banyak pelaku usaha yang berorientasi tumbuh. Tercatat dari 100 pelaku usaha di Indonesia, hanya sekitar 3 orang yang menciptakan lapangan kerja. Pada 2018, ada tren menurun pada kontribusi ekspor UMKM Indonesia menjadi 14,37 persen. Lebih rendah dari negara lain, seperti Vietnam 17 persen, Malaysia 18,6 persen, dan Thailand 27 persen,” sambungnya.
UMKM Indonesia masih sulit naik kelas karena belum memiliki kapasitas atau kemampuan mengakses modal dan pasar. Mereka tidak berizin, berbadan usaha atau hukum, atau terdaftar resmi. Kapasitas manajemen usaha pun masih terbatas, baik dari segi pemasaran digital, keuangan, penjenamaan, kemasan, operasional, dan sebagainya.
Berdasarkan hasil evaluasi pada 3.751 pelaku UMKM secara daring, nilai rata-rata skor Indeks UMKM Naik Kelas adalah 3,45 dari skala 0-10. Aspek terendah, yakni pertumbuhan skala, legalitas dan kepatuhan, kepemimpinan, manajemen sumber daya manusia, dan manajemen pemasaran. Bukti empiris menunjukkan bahwa tantangan internal masih cukup besar.
Saat ini, UKMIndonesia.id memprioritaskan pelatihan literasi digital, melihat sekitar 8 persen anggota komunitas mengalami kenaikan omset selama pandemi karena beradaptasi dengan fitur digital (situs web, media sosial, dan e-commerce) dan produk relevan (praktis, sehat, bersih, dan alami).
Dewi berharap ingin terus memfasilitasi anggota komunitas untuk mengembangkan bisnis, merajut kolaborasi, membangun kapasitas kewirausahaan, serta mempromosikan produk UKM. Ke depannya, ia ingin UKMIndonesia.id melatih lebih banyak pelaku usaha di Indonesia. (hjtp)