FEB UI bersama Kemenko Perekonomian RI Gelar Rapat Kajian Pengembangan Ketahanan Wilayah dan Infrastruktur Vital, serta Penguatan Regulasi
Nino Eka Putra ~ Humas FEB UI
DEPOK – (14/6/2021) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) bersama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) RI, mengadakan rapat pembahasan draft laporan pendahuluan kajian pengembangan ketahanan wilayah dan infrastruktur vital serta penguatan regulasi dalam rangka pengurangan dampak bencana terhadap perekonomian nasional, pada Senin (14/6/2021).
Dalam pengantar pembukaan rapat, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang, Kemenko Perekonomian, yang diwakili oleh Asisten Deputi Ketahanan Kebencanaan dan Pemanfaatan Teknologi, menyampaikan bahwa kajian akan dilaksanakan dalam waktu 3 bulan dengan target luaran yang diharapkan adalah Kajian Awal Rencana Induk Ketahanan Wilayah dan Infrastuktur Vital terhadap Bencana, serta Naskah Akademik Regulasi Rencana Keberlanjutan Usaha (Business Continuity Plan/Area Business Continuity Plan (BCP/ABCP). Menegaskan maksud dari luaran tersebut, Asisten Deputi Ketahanan Kebencanaan dan Pemanfaatan Teknologi menuturkan bahwa, “Rencana Induk Ketahanan Wilayah dan Infrastuktur Vital terhadap Bencana disusun untuk menjawab urgensi pengembangan wilayah dan infrastruktur yang tangguh bencana. Sementara itu, penyusunan Naskah Akademik Regulasi BCP/ABCP mengacu pada science based policy, sehingga perlu diperkuat dengan kajian dari akademisi sebagai landasan ilmiah. Kajian yang dilaksanakan saat ini diharapkan dapat ditindaklanjuti untuk memperkuat ketahanan wilayah dan ekonomi terhadap bencana.”
Tim yang terdiri dari Adonis Muzanni, M.E.M., Zaäfri Ananto Husodo Ph.D., Ratih Dyah Kusumastuti Ph.D., dan Debby Paramitasari M.Dis.Mgt., mempresentasikan latar belakang kajian, bahwa secara geologis dan geografis, Indonesia berada di lokasi yang rawan terhadap bencana (alam). Tahun 2009 -2019, lebih dari 75% atau 14.761 kejadian bencana merupakan bencana hidrometeorologi dan 25% atau 4.790 adalah bencana geologi. Kemajuan teknologi, globalisasi, hingga perubahan iklim juga menyebabkan munculnya bencana-bencana jenis baru, tidak hanya bencana yang datang dari alam tetapi juga bencana nonalam seperti kegagalan teknologi, wabah/pandemi, sosial-politik, hingga dunia maya yang membahayakan identitas dan data individu (multi bencana).
Tahun 2004-2016, kerugian ekonomi Indonesia akibat bencana mencapai ±Rp. 166,6 triliun dan tahun 2017-2018 mencapai ±Rp. 67,53 triliun. Tingginya angka ini dipengaruhi salah satunya oleh tingkat kerusakan infrastruktur yang berpotensi mengganggu perekonomian secara lebih luas (regional dan nasional) serta dapat menggoyahkan dan menurunkan ketahanan wilayah.
BCP/ABCP merupakan salah satu strategi untuk membangun ketahanan kebencanaan atau resilience, yang tidak hanya bermanfaat dalam mempercepat pemulihan bisnis pascabencana, namun juga sebagai mitigasi pra-bencana yang dapat mengurangi potensi tingkat kerugian akibat bencana. Beberapa inisiatif implementasi BCP telah dilakukan di Indonesia, antara lain di sektor perbankan yang diatur berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/15/PBI/2007, mengenai Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. Selain itu, BCP di industri migas juga sudah diatur pada regulasi SKK Migas Nomor: PTK-005/SKKMA0000/2018/S0, yang mewajibkan perusahaan untuk memiliki Emergency Response Plan (ERP), Crisis Management Plan (CMP) dan BCP.
Pengumpulan data terkait studi terdahulu, penentuan dimensi, dan indikator ketahanan wilayah untuk Kajian awal Rencana Induk Ketahanan Wilayah dan Infrastruktur Vital terhadap Bencana, akan menggunakan metode Sistematic Literature Review (SLR). Untuk selanjutnya, dimensi dan indikator tersebut akan diklarifikasi oleh para pemangku kepentingan terkait, baik di Kementerian/Lembaga, praktisi/akademisi untuk melihat kesesuaiannya dengan konteks Indonesia.
Muhammad Halley Yudhistira, Ph.D., mewakili Pj. Dekan FEB UI memberikan 3 masukan untuk kajian. Pertama, pengembangan indikator resiliensi, social outcomes vs infrastructure readiness ketika dihadapkan pada isu ketersediaan data. Setiap daerah memiliki level ancaman atas bencana alam yang berbeda sehingga perlu beberapa indikator untk mempertahankan comparability. Isu komplementaritas dengan existing infrastruktur dan kontigensi antar wilayah. Kedua, definisi infrastruktur. Dampak bencana alam seringkali persisten dan sangat tergantung pada sifat dari bencana (stres dan mental health, loss in productivity, perubahan struktur ekonomi), physical vs social infrastructure, dan beyond conventional disaster. Ketiga, financing dan pelibatan pemerintah daerah. Pelibatan daerah diperlukan sebagai bagian sharing burden dan responsibility, skema financing perlu disinggung untuk menghindari ketergantungan pusat, case study jalannya lokal maintenance, dapat dijadikan pelajaran.
Melengkapi masukan untuk penyempurnaan kajian Naskah Akademik Regulasi BCP/ABCP, Ketua DRRC UI, Prof. Fatma Lestari, menyampaikan bahwa perlu memasukkan dan mengelaborasikan berbagai contoh pedoman, regulasi, dan standar yang ada baik tingkat nasional maupun internasional. Misalnya, Rencana Induk untuk ABCP dari AHA Centre. Sementara untuk ketahanan wilayah, sebagai luaran pertama kajian, dapat mengacu pada 10 poin UNDRR Disaster Resilience. Aspek kesehatan masyarakat juga perlu diperhatikan mengingat ini sebagai satu aspek utama yang diperhatikan. Ketahanan bangunan gedung dan industri dalam konteks ketahanan wilayah dapat dijadikan acuan untuk memperkuat infrastruktur vital. (hjtp)