Indonesia Australia Business Council 2021: IA-CEPA in the Midst of the Global COVID Pandemic
Rifdah Khalisha – Humas FEB UI
DEPOK – (27/7/2021) Indonesia Australia Business Council (IABC) menggelar dialog daring bertajuk “IA-CEPA in the Midst of the Global COVID Pandemic” pada Selasa (27/7). Menghadirkan Dr. Siswo Pramono (Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri RI) pada opening remarks, Kiki Verico, S.E., MRI., PH.D. (Wakil Direktur Riset LPEM FEB Universitas Indonesia) sebagai keynote speaker, dan George Iwan Marantika (Presiden Nasional IABC) sebagai pemandu acara.
Indonesia dan Australia telah menyepakati perjanjian ekonomi bilateral, Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) pada. IA-CEPA pun resmi berlaku pada tanggal 5 Juli 2020.
Dalam dialog secara daring ini, para narasumber mendiskusikan ratifikasi kerja sama ekonomi IA-CEPA antara Indonesia dan Australia yang telah berlaku secara hukum tepat setahun lalu dan dampak pandemi global COVID-19 terhadap implementasinya.
Dalam pembukaan, Siswo menganggap bahwa implementasi IA-CEPA sangat penting, tidak hanya bagi Indonesia dan Australia, tetapi bagi negara-negara yang tergabung di ASEAN pula. “Indonesia dan Australia berkomitmen untuk menjaga negara-negara ASEAN dan Oseania,” ujarnya.
Siswo mengungkapkan, “Penerapan IA-CEPA dapat memperkuat dan meningkatkan investasi ke Indonesia. Lalu, dampak IA-CEPA terhadap peningkatan perdagangan dari Indonesia ke Australia dan ke negara-negara ketiga, seperti negara-negara di kepulauan pasifik, signifikan dan strategis.”
Kemudian, Kiki mengutarakan pemikirannya mengenai kerjasama IA-CEPA berdasarkan penelitian khusus miliknya berjudul “Measuring Bilateral Economic Relation: The Case of Indonesia-Australia.”
Penelitiannya membahas sejumlah manfaat dari kesepakatan meratifikasi IA-CEPA dengan mengacu pada dua tujuan. Pertama, menilai potensi hubungan perdagangan dan investasi jangka panjang dengan kombinasi RCA (Revealed Comparative Advantage) dan CMSA (Constant Market Share Analysis) dengan ToT (Terms of Trade) dan NX (Net Export) sebagai filter. Kedua, mengukur potensi dampak dari penghapusan tarif dengan menggunakan model GTAP (Global Trade Analysis Project).
Selanjutnya, ia memaparkan kerangka logis perdagangan, yakni Foreign Direct Investment (FDI) dan Reformasi Struktural, melalui konsep sunset (matahari terbenam) dan sunrise (matahari terbit) industries sebagai pilihan rasional.
Ia menjelaskan, “Merujuk pada perbandingan indikator makro ekonomi, Indonesia dan Australia berada pada level yang berbeda. Dalam indikator makro ekonomi statis, Australia adalah negara berpenghasilan tinggi, sedangkan Indonesia baru memasuki tingkat pendapatan menengah ke atas.”
“Penelitian menegaskan adanya penurunan peran manufaktur di Indonesia. Sebanyak 56 persen manufaktur berada dalam kondisi sunset dan poor, lalu 44 persen lainnya masuk kategori sunrise dan great,” imbuhnya.
Kiki menemukan ada 23 produk dagang (HS-4) di Indonesia yang tergolong sunset dan elegance. Namun, di Australia produk tersebut tergolong sunrise sehingga cocok menerima investasi dari Australia. Selain itu, ada 17 produk di Australia yang berpotensi menerima investasi dari Indonesia karena hubungan kombinasi sunrise dan sunset ini.
Menurut perkiraan, Australia akan meraih keuntungan investasi pada produk tekstil, pakaian jadi, alas kaki, manufaktur ringan, dan sektor jasa. Sementara Indonesia memiliki potensi investasi pada tanaman biji-bijian, daging, makanan olahan dan manufaktur berat. Hasil simulasi GTAP10A menunjukkan bahwa Australia cocok untuk investasi di sektor jasa, termasuk jasa pendidikan di Indonesia.
Terakhir, Kiki menemukan bahwa kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Australia bersifat saling melengkapi dan memenuhi hubungan investasi perdagangan. Model Bilateral CEPA sangat sesuai dengan kebutuhan kedua negara, Indonesia dapat meningkatkan produktivitas manufaktur dan Australia dapat memperoleh manfaat dari hubungan sunrise hingga sunset. Dengan begitu, keduanya dapat berbagi manfaat bersama secara berkelanjutan.
Baginya, hubungan ekonomi Indonesia dan Australia tidak hanya bermanfaat bagi kedua negara, tetapi juga bagi kawasan Asia Tenggara dan Pasifik.
Adapun panelis lainnya yang turut memberikan kontribusi pemikiran adalah Sally Deane (Senior Trade and Investment Commissioner Indonesia, Austrade), Peter Fanning (Foreign Legal Counsel, Hutabarat Halim and Rekan), Noke Kiroyan (Executive Chairman and Chief Consultant of Kiroyan Partners), Rebecca Hall (Commissioner to Southeast Asia, Victorian Government Trade and Investment), serta Ben Giles (Trade and Investment Commissioner Indonesia).
Mengakhiri dialog, George menyimpulkan bahwa motivasi dan semangat dunia usaha di Australia dan di Indonesia tetap tinggi untuk meningkatkan investasi dan perdagangan antar kedua negara. Walaupun diungkapkannya, saat ini keduanya tengah menghadapi tantangan ekonomi akibat pandemi global COVID-19.